Modernis.co, Makassar – Setelah sekian lama kita berkawan sebagai teman sekantor, aku akhirnya mengajakmu makan malam di sebuah restoran. Aku ingin kita berada di dalam suasana yang menyenangkan, agar perikatan hati kita terasa semakin spesial.
“Eh, semalam, aku melihat perayaan ulang tahun pernikahan ayah dan ibumu di televisi. Mereka tampak sangat bahagia. Apa kau tak ingin segera menjalani kehidupan rumah tangga seperti mereka?” singgungmu kemudian, saat kita tengah duduk berhadapan dan bersantap, ketika aku masih menunda untuk menyatakan maksud pertemuan kita.
Aku lantas mendengkus gemas. “Tentu saja aku ingin.”
Kau pun tersenyum. “Aku juga,” timpalmu.
Aku sontak tertawa pendek.
Sesaat kemudian, kau kembali bertanya, “Apa kau tidak ingin menjadi aktor seperti ayahmu?”
Aku lekas menggeleng.
“Kenapa?” sidikmu.
Aku lalu meneguk air putih, kemudian menjawab sekenanya, “Aku merasa tidak punya bakat menjadi seorang pemeran. Apalagi, aku memang tak ingin hidup di dalam dunia rekaan dan dunia nyata sekaligus.”
Wajahmu pun tampak merengut, seperti kecewa. Kau lantas menuturkan tanggapanmu tanpa menaruh tanya pada arti alasanku, “Sayang sekali. Padahal kau punya wajah yang tampan.”
Seketika, aku nyaris tersedak atas pujianmu. Seingatku, baru kali ini kau menyampaikan penghargaan lugas atas rupaku, dan itu membuatku tersanjung. Supaya berimbang, aku pun balik menyinggungmu, “Kau juga cantik. Kenapa tidak jadi aktris?”
Kau sontak tersipu. Kau lantas berpikir-pikir, kemudian membalas dengan jawaban menggoda, “Karena ibumu bukan aktris.”
Aku pun tertawa mendengkus mendengar silatan pikiranmu. Aku paham maksudmu, tetapi aku masih belum mau memperturut kemanjaanmu.
Hingga akhirnya, kita kembali berkhidmat dengan santapan kita masing-masing.
Diam-diam, aku merasa kasihan atas sangkaanmu yang salah. Aku pun mulai menganggapmu sama dengan kebanyakan orang, yang hanya menilai kehidupan selebritas seperti apa yang tampak di layar kaca. Padahal, aku sebagai anak seorang aktor terkenal, memahami betul bahwa kehidupan nyata seorang pesohor, sama peliknya dengan kehidupan nyata orang-orang biasa.
Aku memang tidak pernah menceritakan kepadamu kalau aku hidup di dalam keluarga yang tidak baik-baik saja. Aku tidak ingin menceritakan soal itu, sebab kau juga tampak telah terbuai tipuan seperti penonton yang lain. Karena itu, kau pasti tidak akan memercayai bahwa hubungan ayah dan ibuku sama sekali tidak harmonis, bahkan mereka sering bertengkar.
Tetapi aku memang semestinya merahasiakan permasalahan orang tuaku darimu. Apalagi, aku merasa tak tega untuk menghancurkan khayalanmu tentang hubungan cinta yang indah. Kupikir, kau berhak memiliki cita-cita tentang rumah tangga yang harmonis, sebagaimana yang engkau lihat pada hubungan ayah-ibuku di layar kaya, atau pada hubungan ayah-ibumu di dunia nyata.
Akhirnya, atas rahasiaku, kau tidak akan tahu bahwa aku kehilangan minat untuk menjadi seorang aktor akibat sikap ayahku terhadap ibuku. Pasalnya, aku merasa tak kuasa untuk menanggung akibat dari popularitas yang ternyata mampu merusak hubungan dengan orang terdekat. Aku takut kalau dunia peran, juga mengubah watakku menjadi sosok yang lain.
Kini, aku hanya bisa mengenang kehidupan yang menyenangkan ketika ayahku belum tersohor, ketika ia hanyalah seorang figuran tanpa peranan yang pasti, sehingga ia masih sering menghabiskan waktu di rumah. Pada masa-masa itu, kami tampak begitu bahagia, meski kami hidup di dalam keluarga yang sederhana, dan tanpa sorotan kamera.
Tetapi seiring waktu, perekonomian kami semakin mengkhawatirkan. Kami hanya bertumpu pada penghasilan ayahku sebagai pemeran, sedangkan ia tak kunjung mendapatkan peran yang terpandang. Ia hanya sesekali terlibat dalam proyek film, dan itu hanya sebagai pemeran pembantu protagonis. Ia tak juga menjadi pemeran utama bertarif tinggi, meski ia telah berusaha keras.
Lama-kelamaan, tabungan ayahku pun susut demi menutupi kebutuhan kami sehari-hari. Pada saat yang sama, peruntungannya dalam dunia peran malah semakin mengecewakan. Tak pelak, ia jadi kelimpungan mengatasi beragam persoalan yang membutuhkan pendanaan. Akibatnya, ia jadi sangat sensitif dan mudah emosi hanya karena perkara-perkara sepele.
Akhirnya, hari demi hari, ayah dan ibuku kerap berselisih karena persoalan ekonomi. Tak jarang, mereka terlibat pertentangan mulut atau pertengkaran fisik. Dan kegaduhan itu senantiasa baru akan berakhir setelah ibuku menangis, atau setelah ia mendapatkan luka lebam di tubuhnya. Lalu tanpa jera, mereka akan kembali beradu pada kesempatan-kesempatan selanjutnya.
Seiring waktu, aku pun melihat perangai ayahku semakin berubah. Ia yang dahulu bersikap lembut dan humoris, perlahan menjadi pemurung dan pemarah. Hingga akhirnya, di tengah perubahan wataknya itu, ia pun mendapatkan peran utama untuk lakon antagonis dalam sebuah proyek film yang prestisius. Ia seolah mendapatkan peran yang pas untuk wataknya yang baru.
Pada hari kemudian, atas kemampuannya memerankan tokoh antagonis secara baik, film yang ia bintangi berhasil mendulang sukses. Orang-orang pun sontak memujinya sebagai aktor yang hebat. Bahkan tak sedikit penghargaan yang ia peroleh dari satu peran antagonis itu. Hingga akhirnya, namanya menjadi tenar, hingga proyek filmnya semakin banyak untuk tarif perannya yang semakin mahal.
Namun popularitas dan pendapatan ayahku, ternyata tidak berdampak baik pada kehidupan kami sekeluarga. Kami memang berkecukupan dalam soal materi, tetapi kami tetap berada di dalam hubungan yang tidak harmonis. Pasalnya, ayahku tetap berperilaku kasar, seolah jiwanya telah menyatu dengan jiwa peran antagonisnya. Karena itu, tak ada lagi bedanya ia di dalam dunia nyata dan ia di dalam dunia rekaan.
Tetapi sebagai pemeran yang profesional, ayahku tetap lihai bersandiwara, terutama untuk menyamarkan kenyataan di dalam keluarga kami. Setiap kali ada wartawan hiburan yang hendak merekam kehidupan kami, maka ia akan tampil sebagai sosok protagonis yang penuh kasih sayang kepada ibuku. Pada saat yang sama, atas tekanannya, ibuku pun akan tampil dengan raut bahagia sebagai istri seorang aktor ternama.
Atas semua kepalsuan ayahku, orang-orang pun tak akan tahu perihal kenyataan kehidupan kami di dalam rumah. Para penonton hanya akan menilai bahwa keluarga kami baik-baik saja. Termasuk juga engkau, yang lahir dan tumbuh bahagia di dalam kehidupan keluarga pengusaha, yang tak paham soal trik pencitraan di depan kamera, tentu tak punya sangkaan negatif terhadap kehidupan keluargaku.
Akhirnya, karena anggapan itu, aku merasa tidak perlu menjelaskan kenyataan keluargaku kepadamu, atau kepada siapa pun. Setidaknya, dengan begitu, kau dan orang-orang mendapatkan gambaran yang baik perhal keharmonisan di dalam keluarga, meskipun keharmonisan ayah dan ibuku itu hanyalah kepalsuan semata.
Tetapi malam ini, aku akan mengesampingkan prahara antara ayah dan ibuku. Sebagaimana yang telah kurencanakan sebelumnya, aku akan menyatakan perasaanku, sembari mengajakmu untuk menyongsong kehidupan rumah tangga kita yang penuh bahagia, tanpa adegan-adegan palsu di depan kamera.
Namun setelah kita menyelesaikan santapan, dan sebelum aku benar-benar menyatakan maksud hatiku, tiba-tiba, kau menangis.
“Kau kenapa?” tanyaku, bingung.
Kau lantas menyeka air matamu, kemudian bercerita, “Minggu depan, ayah dan ibuku akan mendapatkan putusan hakim tentang hubungan mereka.”
Seketika pula, aku terkejut, kemudian menagih penjelasan, “Apa yang terjadi dengan mereka?”
Kau tampak semakin bersedih. “Mereka akan bercerai.”
Aku pun terheran. “Kenapa bisa?” tanyaku, tak habis pikir.
“Hubungan mereka sudah lama bermasalah. Mereka sering bertengkar karena persoalan yang sepele. Mereka tampak tidak lagi bisa harmonis seperti dahulu,” terangmu, sambil terisak. “Akhirnya, mereka sepakat untuk bercerai, agar aku dan adik-adikku tidak tumbuh dengan terus menyaksikan pertengkaran-pertengkaran mereka.”
Aku pun terenyuh mengetahui kenyataan di dalam keluargamu.
Kau lalu berusaha merekahkan senyuman, kemudian menuturkan harapanmu, “Karena kenyataan itulah, aku selalu berkhayal-khayal untuk hidup di dalam keluarga yang harmonis seperti keluargamu. Karena itu pula, aku selalu mengimpikan untuk membangun rumah tangga yang bahagia seperti rumah tangga ayah dan ibumu, kelak.”
Sontak, aku merasa tersentuh mendengar harapanmu atas keluguanmu. Karena itulah, sesaat kemudian, aku lalu merogoh kantong celanaku untuk mengambil sebuah cincin yang akan kusematkan di jari manismu, sebagai tanda perikatan kita menuju bahtera rumah tangga yang kita impikan.
Namun tiba-tiba, ponselku berdering. Aku lantas menengok dan mendapati nama seorang tetanggaku sedang memanggil.
Aku pun menjawab dengan penuh tanya, “Halo.”
“Hai, kau harus ke rumahku sekarang,” kata sang tetanggaku.
“Apa yang terjadi?” tanyaku, penasaran.
“Ibumu sedang di rumahku. Ia lari dari rumahmu karena ayahmu mabuk dan memukulinya,” terang sang tetangga.
Seketika, perasaanku menjadi kacau. Aku lantas menutup telepon, dan kebingungan untuk menjelaskan apa-apa kepadamu.***
Oleh: Ramli Lahaping. Bloger (sarubanglahaping.blogspot.com). Berdomisili di Kota Makassar. Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi) atau Instagram (@ramlilahaping).