Jarak kampus dengan rumah cukup jauh. Aku membutuhkan waktu setengah jam untuk berjalan dari rumah menuju jalan raya.
Setelah sampai di jalan raya, aku masih harus menunggu kedatangan pak sopir angkot biru yang bertuliskan GL atau LG.
‘Falina, nanti aku ke kosmu, ya.’
Pesan singkat itu belum juga dibalas olehnya, mungkin Falina masih tidur. Maklum, dia aktivis sejati. Malamnya berdiskusi di warung kopi. Rapat menghantui. Sementara aku hanya mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang kuliah pulang).
Seperti biasanya, aku selalu menjadi penghuni gelap di kos-kosan. Terutama mereka yang kosnya dekat dengan kampus. Falina salah satunya, dia selalu setia menampung keberadaanku di kamarnya, bahkan tak jarang gadis gembul itu meminta agar aku mengunjungi kamarnya, sekadar melepas lelah.
*
Satu jam telah berlalu. Angkot yang aku tumpangi telah sampai di tujuan akhir, tapi Falina belum juga membalas pesan singkatku. Ah, sepertinya Falina belum juga bangun dari tidurnya. Perkuliahan baru akan dimulai satu setengah jam yang akan datang. Alhasil, aku memutuskan untuk tetap mengunjungi Falina.
Jalan yang aku lalui dari tempat pemberhentian angkot ke kosnya Falina cukup dekat.
“Assalamualaikum, Falina …. ” Aku membuka pintu, tapi ternyata terkunci dari dalam.
“Assalamualaikum, Falina …. ” Aku mengulangi salam. Kali ini terdengar suara kunci. Falina membuka pintu menyambut kedatanganku dengan rambut acak-acakan dan mata terpejam yang dipaksa untuk tetap terjaga.
“Eh, kamu kenapa, Falina? Kenapa jadi bengkak gitu mata Kamu?” tanyaku kepada Falina.
“Aku semaleman nangis, ini aja baru tidur tadi abis sholat Subuh,” jawab Falina merapikan tempat tidurnya, mempersilakan aku duduk di dekatnya.
Aku hanya diam, tanpa berkomentar. Membiarkan Falina sendiri yang bercerita tentang masalahnya, tanpa memaksa.
“Aku, sedih, Sa … aku ditinggalin sama Eldi, dia sekarang udah balikan sama mantan pacarnya, bukan cuma balikan Sa … orang tuanya udah dateng ke rumah mantannya itu, mereka udah tunangan.” Falina menutupi wajahnya dengan selimut.
Kontan aku tertawa terbahak-bahak mendengar curahan hati Falina.
“Kamu kok malah ketawa?” Falina menyibakkan selimutnya. Kembali bercerita. “Salahku juga si, waktu itu nggak mau diajak ke rumah Eldi, nemuin ibunya. Padahal si Eldi udah aku daur ulang, tadinya nggak pernah sholat, sekarang udah rajin. Tadinya bantah sama ibunya, sekarang udah mau minta maaf. Eh, si mantan seenak jidat ngambil Eldi.” Falina kembali menangis.
“Udah, nggak pantes Kamu itu nangisin Eldi, dari awal aku juga nggak suka kamu deket sama Eldi, cuma aku diem aja, orang jatuh cintakan susah dinasehati,” tuturku berusaha menenangkan hati Falina.
“Aku sebel aja, Sa, emang dia nggak bisa bilang kalo udah punya Falina sebagai kekasih hatinya? pastikan orang tuanya bakal paham dan menghargai pilihan hati anaknya. Emang dasar Eldinya aja yang kepengen balikan sama si mantan!”
Aku kembali tertawa terbahak-bahak, ini pertama kalinya aku melihat Falina menangis perihal lelaki. Biasanya dia menangis karena ingin pulang, merayu ayahnya yang menganjurkan Falina untuk tetap berada di kampus.
“Kamu kok ketawa terus si, Sa?” protes Falina.
“Lagian kamu lucu, nggak biasanya nangisin cowok, ‘kan kamu yang suka ninggalin cowok.”
“Mungkin ini balasannya ya, Sa,” ucap Falina.
Aku sebenarnya juga pernah berada di posisi Falina, ditinggal menikah ketika masih kasmaran. Alasannya, dia ingin segera menikah dan tak sanggup lagi menungguku menyelesaikan pendidikan. Alhamdulillah, aku berhasil berdamai dengan masa lalu. Menangisinya hanya sesaat seperti Falina, lalu tersadar jika masa depan masih panjang.
“Mendingan sekarang kamu siap-siap ke kampus, sebentar lagi kita masuk, mata kuliahnya Pak Sony, kita cuma dikasih toleransi lima menit.” Aku letakan handuk di pangkuan Falina.
“Enggak deh, aku nggak masuk aja.”
“Hilih, ngapain si enggak masuk, cuma gara-gara si Eldi. Udahlah sekarang kita fokus aja kuliah, selesai nanti langsung nikah, pasti sekarang ayahmu udah nyiapin calon suami.”
“Mataku sembab, Sa, aku malu.”
“Sekarang kamu mandi, ya … nanti ke kampus pake kacamata aja buat nutupin mata kamu yang sembab.”
Falina menuruti saran dariku. Gadis gembul itu menuju kamar mandi. Sedangkan aku menguasai tempat tidurnya. Ah, cinta. Kau datang di waktu yang tak tepat, hanya sekedar singgah dan meninggalkan luka.
*
“Kamu yakin nggak mau make kacamata?” tanyaku.
“Iya, nggak papa.” Falina telah selesai mandi dan bersiap diri ke kampus. Dia tidak jadi memakai kacamata, percaya diri dengan mata sembabnya.
Kami jalan terburu-buru, tak ingin telat. Berlarian kecil menuju kampus.
“Kamu masih mau nangisin Eldi?” candaku.
“Enggak, Sa, aku nangisin dia cukup tadi malem aja. Nggak ada gunanya juga nangisin si Eldi.”
“Kalo Eldi tau-tau minta balikan lagi kamu mau?”
“Ogah! memangnya dia kira aku cewek gampangan, seenaknya datang dan pergi. Aku nggak mau pacaran lagi, udah cukup sakit hatinya. Bener kata kamu, aku mau fokus kuliah aja, sekarang masih belum waktunya kasmaran, sekarang waktunya skripsian.”
Oleh : Iis Muala Wati (Mahasiswi Prodi Hukum Keluarga Islam, Universitas Muhammadiyah Malang)