Modernis.co – Baca pelan-pelan sambil nyeruput ngupi.
Ini hipotesis pertama : Setiap orang Islam pada dasarnya adalah NU, sebelum berubah menjadi Muhammadiyah, al Irsyad, LDII, Salafi atau lainnya.
Ini hipotesis kedua: NU struktural dan dilembagakan sejak tahun 1926. NU kultural telah ada semenjak Walisongo bahkan sebelumnya.
Menjadi NU itu mudah. Cukup hanya membaca ushali sebelum shalat, baca sayidina saat tahiyat, baca qunut saat shalat subuh dan Yasinan berkumpul bersama tetangga setiap malam Jumat.
Hal mana dibilang tidak ada tuntunan dan tertolak karena ada indikasi bid’ah. Bagi saya, orang-orang NU itu memiliki kesabaran tingkat dewa apalagi para ulamanya.
Berbagai kritik ditujukan pada tata cara amalan ibadah yang mereka lakukan dengan berbagai stigma—tidak membuat NU melemah malah justru berbalik memperkuat posisi NU sebagai jamiyah yang diterima luas sebagai model mainstream keberagamaan yang kenyal dan dinamis dan diterima semua kalangan dan lapis masyarakat.
Meski dibilang bid’ah dan tidak dilakukan Nabi saw—Majelis dzikir mereka penuh sesak. Ada puluhan bahkan ratusan ribu jamaaah dalam berbagai Majelis—ironisnya Majelis yang di isukan bid’ah ini justru mengalahkan Majelis-Majelis yang mengklaim paling sunah sekalipun. Sebuah paradoks ditengah ambigu. Buah kesabaran NU cukup efektif.
Tidak tanggung-tanggung—ada puluhan bahkan ratusan amalan yang dituduhkan bid’ah, bahkan sampai pada tahapan syirik—tapi mereka tetap bersabar dan istiqamah menjalankan tanpa surut—saya patut pujikan dengan tulus.
Fahri Ali menyebut bahwa ‘NU berhasil membumikan ajaran langit dalam bahasa sehari hari—sementara Prof Zamakhsyari Dhofier menyatakan bahwa ‘ajaran Islam tumbuh berdampingan seiring sehaluan dengan tradisi.
Hefner jelas menulis: Pada tahap ini telah terjadi Islamisasi budaya dan adat yang dilakukan dengan teramat cerdas—konsep dan strategi dakwah Walisongo menjadi rujukan dan model ideal dalam dakwahnya, imbuhnya dalam sebuah riset tentang adat dan tradisi Islam sebagai media.
NU adalah jam’iyah—keseluruhan umat—merepresentasi inklusifitas. Karena sifat gerakannya yang jam’iyah, maka tradisi perbedaan adalah hal biasa. Orang NU biasa berbeda dalam hal cara dan soal-soal teknis—Imam Syafi’i berikhtilaf dengan gurunya Imam Malik sebanyak 5. 679 ikhtilaf—dengan watak seperti itu, maka karakter NU adalah terbuka dan toleran pada setiap perbedaan dan ikhtilaf.
Paham keberagamaan NU tidak pernah membuat definisi rigid terhadap hal yang tidak i’tiqadi—atas dasar itu maka NU membuka ruang yang luas dan terbuka untuk berkreasi dan cara beribadah secara inovatif terhadap yang bersifat ghairu mahdhah. NU justru kreatif membuat ‘bid’ah sosial’—yang membikin cara beragamanya segar dan tidak monoton.
Cara beragama demikian tentu melahirkan sikap inovatif yang sarat spiritualitas, karena menggunakan tradisi dan adat sebagai alat atau media dakwah. Yang oleh sebagian yang lain justru kerap dipertentangkan atau diberi stigma bid’ah atas dasar tiadanya tuntunan—hal mana bagi NU tak perlu dalil, sebab ini hanya soal teknis yang tidak bersentuhan dengan ibadah generik yang butuh otentisitas sebagai syarat diterimanya satu amalan.
Atas dasar inilah, maka setiap orang Islam pada dasarnya adalah NU sebelum ia berubah—NU tidak mengubah apalagi melawan tradisi yang ada—sebaliknya menjadikanya sebagai alat atau media bahan dasar membangun peradaban Islam yang kenyal dan fleksibel.
Oleh: KH. Nurbani Yusuf (Pegiat Komunitas Padhang Makhsyar Malang/Kiayi Muhammadiyah Malang)