Merdeka Ber-Muhammadiyah

nurbani yusuf

Modernis.co – Jangan menilai ke-Muhammadiyahan kader lain, tak baik untuk kesehatan —pada Muhammadiyah aku serahkan sepertiga hartaku : buat dua masjid, satu mushala dan satu rumah tahfidz dari jerih payah harta sendiri.

Muhammadiyah bukan milik pengurus, sekelompok atau keluarga apalagi perseorangan. Muhammadiyah adalah federasi pemikiran dan gagasan, tutur Prof Din. Dan Buya Syafi’i menyebut Muhammadiyah adalah “rumah besar”. Jadi, siapapun boleh berkhidmad di Muhammadiyah tanpa halangan.

Berkhidmah di Muhammadiyah adalah soal selera atau semacam teste —bergantung perspektif dan cara pandang. Makin cerdas, makin leluasa menikmati lezatnya pikiran maju Kyai Dahlan, ibarat makanan, ia bisa mengeksplore dalam berbagai menu.

Tapi bisa juga malah sebaliknya. Yang ia tahu dari Muhammadiyah hanya soal tidak pakai qunut saat shalat subuh, tidak baca sayidina, tidak baca usholi, tidak tahlilan atau tidak-tidak yang lain. Betapa sempitnya memandang. Jadi biarkan saya menikmati Muhammadiyah dengan cita rasa yang saya sukai. Ini rumah besar, jadi kita merdeka ber-Muhammadiyah.

Di Persyarikatan Muhammadiyah, saya adalah penikmat. Sesekali menjadi aktivis. Kadang urunan untuk menghidupi, beberapa kali yang lain, gantian saya yang dihidupi. Begitulah dialektika berjalan dan saya menikmati.

Pertanyaan besarnya adalah: bagaimana ber-muhamadiiyah itu? Sejauh yang saya pahami, tidak ada cammon platform yang rigid, sebab itu setiap kita bebas bereksplor—ada banyak ruang bisa berkreasi sesuka hati. Jangan bikin aturan yang tidak-tidak cukup dengan AD dan ART yang kita sepakati bersama. Ini organisasi sukarela, boleh datang dan pergi sesuka hati.

Siapapun boleh menjadi Muhammadiyah tanpa keharusan mengikuti model— dari cara berpikir hingga cara berpakaian. Boleh memberi sebanyak-banyaknya atau mendapat sebanyak-banyaknya. Boleh bekerja sekeras-kerasnya atau tidur sepulas-pulasnya.

Siapapun boleh memuja Habib Rizieq yang meledak-ledak atau saya yang gandrung dengan pikiran-pikiran sosialis Islam Ali Syariati atau Karen Amstrong yang eksotik dan lebih paham Islam ketimbang orang Islam sendiri. Saya juga penikmat pikiran spiritual inklusif Prof. Amin Abdullah dan pikiran maju Pak Lek tercinta Prof Malik Fadjar yang melampaui jaman. Saya juga bertadzim pada pak AR Fakhruddin yang zuhud dan sederhana.

Saya menjadi sangat puritan ketika ketemu kawanan pemuja liberalisme atau tiba-tiba saja saya menjadi sangat liberal ketika bertemu kawanan puritan yang ortodoks. Sebagai penikmat, saya melahap pikiran-pikiran Kyai Dahlan yang eksotik dan dinamis kemudian saya mengunyah dan mengeksplore dengan cita rasa yang saya maui. Seperti nikmatnya menghisap cerutu atau aroma kopi. Bagi saya, Muhammadiyah itu anti mapan, anti mainstream bukan mengekor apalagi taqlid. Lebih baik jadi kepala kucing daripada ekor harimau.

Buya Syafi’i Ma’arif menyebut Muhammadiyah sebagai rumah besar —Prof Din mengatakan federasi pemikiran atau federasi gagasan dan saya menyebutnya etalase tempat semua kita berkhidmad dan berlomba berbuat bajik.

Saat pertama kali digagas oleh Kyai Besar Ahmad Dahlan—tak sedikit yang melawan, gagasannya dibantah karena menabrak mapan. Yang saya suka dari kyai Dahlan adalah jiwa mudanya — pikiran dan gagasannya yang tak pernah tua.

Kyai Dahlan meninggalkan konsep, gagasan atau ideologi yang diwariskan — juga menawarkan perubahan, pemajuan dan modernisasi yang bisa dicandra dalam berbagai pikiran dan amal. Dan saya milih keduanya sekaligus sejauh yang saya mampu.

Setiap kita boleh paparkan ‘amal saleh baru’ semacam etalase untuk menikmati pikiran maju Kyai Dahlan— itulah ‘fastabiqul khairat’ dalam makna luas yang dinamis. Bukan berebut ruang dan merasa paling, tapi berlomba bikin amal baru. Ini rumah besar hendaklah berlapang-lapang jangan berdesak desak.

Oleh: KH. Nurbani Yusuf (Pegiat Komunitas Padhang Makhsyar Malang/Kiayi Muhammadiyah Malang)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment