Modernis.co, Malang — Belakangan pertelivisian, media cetak maupun online kita riuh dengan pemberitaan politik. Terlebih para politisinya juga asal nyangkem, gak peduli etis dan tidaknya dalam bercakap-cakap. Belakangan ada yang sesumbar mau potong leher jika bla-bla. terlepas dari apapun, sesumbar dalam politik adalah kebodohan dan salah kaprah dalam mencerdaskan kehidupan politik anak bangsa.
Oh iya, for your information (fyi) ya sodaraku. Dulu juga ada kelakuan politisi kita yang sesumbar terjun dari monas jika bla-bla. Bahkan ada juga yang mau potong kuping jika bla-bla. Alhasil, semua itu hanyalah sensasi yang berhasil bikin ribut anak bangsa yang susah payah nagih janji, eh tak juga dilunasi. Sakitnya tuh disini, Roma!
Pro dan kontra memang lazim terjadi. Mengingat tidak akan ada dua pandangan yang sama dalam membela kepentingan politik meski di lisan sama tetap berlainan di hati. Terlebih pilpres 2019 adalah soal cerita pertandingan ulang pemilihan dan yang tidak kalah penting adalah wani piro bayarannya (afwan) biar tak tusuk gambar raimu di bilik suara. Haha
Ngomongin politik memang asik karena berbagai sudut bisa dicari-cari alasan pembenarnya. Asal rajin liat tipi dan baca berita online di media masing-masing calon eh salah, bener sih. Kita bakalan pinter nyerocos bikin analisa politik. Tak perlu kuliah soal politik lama-lama dikampus. Toh di zaman era post truth sarjana politik bisa kalah argumentasi sama pemilik pengalaman (masyarakat awam) yang masih menikmati senyum meski dihimpit sama yang berduit. Astaga!
Beberapa waktu yang lalu temen saya ngechat ngajakin ngopi ditempat dimana biasanya kami menghabiskan malam sebagai pengacara (pengangguran banyak acara). “Bos, politik itu apa?” tanyanya polos mengawali nongkrong malam itu. Saya merasa aneh bercampur kaget mengingat selama ini dia gak pernah komen urusan politik, kalau urusan pasangan dia sering curhat dari A ke Z balik lagi Z ke A hehe
Saya jelaskan dengan singkat bahwa politik itu manipulasi kepentingan dan tujuan yang membuatnya mulia. Dia tertarik ngebahas politik setelah membaca buku yang saya kasih pinjam karangan Alfan Alfian Wawasan Kepemimpinan Politik (2016) dan kebetulan pamannya akan bertarung dalam pileg 2019 mendatang. Alasan terakhir bikin kaget saya hilang dan kamipun ngobrol ngalor-ngidul sambil rokokan bahas kelemahan capres-cawapres.
Obrolan politik jelang pilpres 2019 memang mendominasi percakapan publik. Karenanya, yang paling sengit bekerja adalah timses masing-masing pasangan. Akan tetapi kita gak perlu khawatir, mereka didukung oleh aliran dana yang besar dengan segala keperluannya. Kita juga gak perlu gundah soal asupan gizi mereka. Karena kita harus berprasangka baik bahwa dana itu untuk membesarkan perut dan memenangkan pertarungan untuk menaikkan berat badan masing-masing. Hati-hati loh ses-timses ntar gendutan jadinya malas kerja loh kamu.
Mayoritas masyarakat melihat politik harus memiliki dampak secara langsung tanpa berbelit-belit dalam buaian retorika Bang Rocky Gerung, Om Fadli Zon, Mas Ali Ngabalin dan Bung Adian Napitupulu yang selama ini sering berisik di tipi-tipi. Mereka gak butuh, itu dia masalahnya, Gas! Kamu bener-bener gak tau kan?
Siapapun yang tinggal di NKRI adalah pemilik hak politik yang sama dan tidak dapat kita pandang lebih rendah hanya karena agama, ras, intonasi bicara dan raut muka yang seram. Untuk dua alasan terahir senagaja saya masukkan karena saya pernah diprotes dianggap tidak sopan karena kurang mesem pas lagi nyangkem hehe. Maklum putra Gayo, Bro!
Dalam rangka ngobrolin politik maka masing masing dari kita gak perlu terlalu serius apalagi emosian, toh hanya sekedar ngomongin bukan untuk nyari calon kan? eh nyalon caleg maksudnya. Kalau untuk nyaleg ya beda lagi ceritanya, Mas Bro!, butuh kematangan dalam segala hal karena kekuasaan yang ideal harus diserahkan kepada orang-orang yang memiliki visi kepemimpinan yang mumpuni sertan poin-poin kebaikan lainnya.
Baik akhlaknya, baik juga nyangkemnya dan gak mesohan, baik integritasnya, teruji komitmennya, luas wawasannya dan yang lebih penting lagi besar finansial yang dipunya. Mengingat zaman masyarakat di bawah pengaruh kapitalisme global ini modal cangkem aja gak cukup, bisa gak dipilih dan ditinggal begitu saja karena dicap politisi partai kere, kan ngeri!
Di beberapa grub whatsapp yang saya ikuti. Antar barisan pendukung kedua pasangan copras-capres sering berbalas pantun dengan santun penuh kedewasaan tapi ada juga yang sundul-sundulan mempertahankan idola pilihannya masing-masing biar gak kebobolan ditendang oleh serangan komenan dari kubu lawan.
“Kiai Ma’ruf itu panutan umat Islam, hormati beliau dengan tidak mencoblosnya pada saat pemilihan”, ada juga yang bilang “Prabowo prestasinya apa, ngurusin istri aja gak becus apalagi ngurusin negara” perdebatan dengan model yang sama banyak di temui di grub-grub whatsap dan berbagai lini media sosial. Jadi siap-siaplah geleng-geleng dan anggukan kepala karena komenan netizen bukan kaleng-kaleng dahsyatnya.
Perdebatan politik yang ada merupakan salah satu indikator bahwa masyarakat Indonesia sudah bebas dan melek ngomongin politik. Tanpa ada sekat-sekat yang membatasi meski soal kualitas perlu kita perbaiki lagi, terimakasih reformasi. Kebebasan itu diekspresikan dengan ragam komentar, meme dan bahkan video parodi yang bikin suasana politik menjadi lucu, tapi tak jarang juga menjengkelkan.
Tetapi meski begitu. Mari kita beri saran kepada para timses lebih umumnya kepada barisan pendukung yang yang ngelakoni politik. Agar jangan sampe jotos-jotosan atau bikin tantangan yang aneh-aneh ya, dulurku! Potong kuping, potong leher, potong lidah, gantung diri, jalan kaki Surabaya-Jakarta, gak realistis mas brokuh. Atas nama rasa persaudaraan yang beda pabrikan karena beda ibu saya harus bilang semua itu bohong dan kebahlulan yang nyata. Astagfirullah!
Mending ngasih tantangannya yang keren dan memberi manfaat kepada yang lainnya. Semisal ngasih fee penulis biar makin produktif dan bertaji ngritiknya, ngajakin anak-anak kosan yang seret keuangan traktiran makan siang, bantu pendanaan anak-anak aktivis omek yang lagi ngadain DAD, LK, DM. atau diklat perkaderan yang sejenis. Selain bermanfaat juga bernilai pahala loh itu. Ayo kita ngomongin dan ngelakoni politik lebih beradab bukan memilih cara biadab yang justru gak berguna itu.
*Oleh Adi Munazir, S.H. (Aktivis IMM dan Advokat Pancakusara Law Office)