Modernis.co, Malang – Bermula dari sabda baginda Nabi saw : “Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka,” HR. An Nasa’i atau yang semisal.
***
Lantas siapa berhak atas otoritas yang punya kewenangan untuk menilai dan mem-validasi ? Siapa berhak menentukan bahwa ini perkara baru yang diadakan atau perkara lama yang dilembagakan. Bagaimana jika kemudian ada semacam kelompok ‘korektor’— dengan fungsi menilai semua amalan umat Islam sebagai institusi yang otoritatif.
Salah satu sisi negatif dari jargon kembali kepada al-Quran dan as-Sunah adalah seseorang akan merasa paling benar sendiri, paling nyunah sendiri –kemudian mudah menyalahkan siapapun yang tidak sepandangan.
Kelompok ini juga merasa paling berkewenangan mengeluarkan ‘sertifikat’ sunah dan bid’ah, dengan skema indikator yang mereka buat sendiri. Jadi ibadah apapun yang bakal dikerjakan harus mendapat sertifikasi sunah dulu kalau tak ingin dinyatakan bid’ah karena dikategorikan perkara baru yang tertolak. Lantas apa umat Islam perlu membentuk lembaga macam ini ?
***
Meski dengan nada guyon pernah saya katakan: memang antum pernah meninggalkan al-Quran dan as-Sunah sehingga harus kembali ?
Saya tak akan melacak sejak kapan jargon ini mulai digemakan, untuk apa dan kenapa harus ada?
Pendek kata jargon ini telah menjadi prototype sekelompok tertentu yang menganggap semua umat Islam jauh menyimpang dari al-Quran dan menyelisihi Nabi saw sebagai pembawa risalah.
Kemudian lahir sikap merasa benar sendiri. Sehingga harus diluruskan karena menyimpang, harus dibenarkan karena terbenam subhat dan di murnikan karena tercampur ajaran sesat. Sikap sedemikian inilah yang kemudian banyak melahirkan konflik, selisih bahkan pertengkaran sepanjang abad tiada henti.
Etno-Religion adalah sikap merasa benar sendiri yang kemudian direcah dalam firqah-firqah yang terus mengecil tapi fanatik. Sebab ada kecenderungan ekslusif tidak menerima keberadaan orang lain yang bukan segolongan dan meniadakan kebenaran yang bukan dari kelompok atau manhajnya.
Kelompok ini telah memborong semua kebenaran agamanya dan tidak menyisakan sedikitpun buat yang lain kecuali mengikutinya. Seakan hanya kelompoknya yang memegang ororitas kebenaran dan berhak memberi ‘sertifikat’ sunah dan bid’ah atas amalan yang dikerjakan umat Islam. Memang antum siapa ?
Kenapa kita tidak bergotong-royong saja dan masuk surga secara kolektif, bukan malah menggiring opini teman seiman masuk neraka dengan stigma yang dibuat prematur.
Oleh: KH. Nurbani Yusuf (Pegiat Komunitas Padhang Makhsyar Malang/Kiayi Muhammadiyah Malang)