Gerakan Muhammadiyah dalam Wacana Multikulturalisme

gerakan muhammadiyah

Modernis.co, Malang – Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di  dunia. Kebenaran pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun  geografis yang begitu  beragam  dan luas.  Sekarang  ini, jumlah pulau yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik  Indonesia (NKRI) sekitar 13.000 pulau baik skala besar maupun kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari  300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda.

Selain  itu, mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam  seperti Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu serta  berbagai macam aliran kepercayaan  keragaman. Kebhinekaan atau  multikulturalisme merupakan salah satu realitas utama yang dialami  masyarakat dan kebudayaan Indonesia di masa silam, lebih-lebih lagi  pada masa kini dan di waktu-waktu mendatang.

Terlepas dari pro dan kontra yang ada, multikulturalisme merupakan fakta yang tergelar di hadapan, sebab masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang heterogen dan multikultur dengan beragam etnis dan budaya. Dalam kondisi demikian, yang dibutuhkan bukanlah monokulturalisme tetapi multikulturalisme,  bukan pembauran tetapi pembaruan, bukan ko-eksistensi tetapi pro-eksistensi, bukan sikap eksklusif melainkan sikap inklusif, bukan bukan separasi tetapi interaksi.

Bukan juga kemajemukan demi kemajemukan, atau kemajemukan sekedar warna-warni, tetapi kemajemukan yang dibangun di atas landasan multi kutluralisme yang partisipatorik dan emansipatorik. Dengan bahasa lain, keragaman seharusnya menjadi alat integrasi bangsa apabila sejak dini kesadaran multikultural telah mapan dan menjadi bagian dari komitmen bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di Muhammadiyah sendiri, secara internal, sebetulnya  multikulturalisme sejak awal telah menampakkan wajahnya. Hal ini  terjadi ketika Muhammadiyah sejak tahun 1920-an telah meluas dan  berkembang ke luar wilayah Yogyakarta, dan kemudian bersentuhan  dengan budaya lokal dan tradisi setempat yang tercermin pada sikap,  watak, dan kebiasaan orang-orang yang masuk menjadi anggota  atau pimpinan Muhammadiyah. Karena itu, Muhammadiyah di  Jawa berbeda dengan Muhammadiyah di Sumatera atau daerah lain.

Proses itu dipandang fenomenal karena memerlukan sikap terbuka,  kreativitas, moderat, toleran serta keberanian warga Muhammadiyah  untuk bereksperimen, membuang sekat-sekat primordialisme  dan mereduksi label-label ideologis lainnya.

Keterlibatan warga Muhammadiyah ini dalam gerakan multikulturalisme patut dilihat  lebih jauh, karena mereka dianggap telah bekerja pada tataran gagasan  maupun tataran praksis. Secara konseptual, mereka diasumsikan  telah berhasil membahasakan prinsip-prinsip multikulturalisme berdasarkan perspektif Islam. 

Penyebab Terciptanya Multikultural

Masyarakat  Indonesia  memiliki  agama  dan  kepercayaan  terhadap  Tuhan  Yang  Maha  Esa  yang  berbeda-beda. Tiap-tiap agama dan kepercayaan tersebut memiliki tata cara beribadah yang berbeda-beda  pula. Berkaitan dengan perbedaan identitas dan konflik sosial muncul tiga kelompok sudut pandang yang  berkembang  (Sudharto,  S.  (2012,  Isnaini,  M),  yaitu:  Pertama, Pandangan  Primordialisme.  Kelompok  ini  menganggap perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras, agama merupakan sumber  utama  lahirnya  benturan-benturan  kepentingan  etnis  maupun  budaya.

Kedua,  Pandangan  Kaum Instrumentalisme.  Menurut  mereka,  suku,  agama,  dan  identitas  yang  lain  dianggap  sebagai  alat  yang  digunakan  individu  atau  kelompok  untuk  mengejar  tujuan  yang  lebih  besar  baik  dalam  bentuk  materiil  maupun nonmateriil.

Ketiga, Pandangan Kaum Konstruktivisme. Kelompok  ini beranggapan  bahwa identitas  kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas bagi kelompok  ini dapat  diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial.

Ketika Kerajaan Mataram ambruk, posisi Kotagede  kemudian berubah menjadi sentra kegiatan ekonomi masyarakat.  Saudagar-saudagar besar banyak bermunculan dari kawasan ini. Secara  jenial, masyarakat saudagar merupakan kelas masyarakat yang sangat terbuka.

Karakter keterbukaan ini menjadikan masyarakatnya mudah  dirasuki paham-paham atau nilai-nilai eksternal baru. Sehingga,  ketika Muhammadiyah sudah berdiri, apresiasi dan dudukangan  banyak bermunculan dari masyarakat Kotagede.

Lebih-lebih ketika  Kiai Amir, tokoh karismatik yang juga saudagar, memilih berhidmat  di Muhammadiyah. Sampai saat ini Muhammadiyah kemudian mengalami  dinamika internal yang sangat pesat, dari sisi kuantitas maupun  kualitas. Dominasi Muhammadiyah terlihat di berbagai lini dan  segmen kehidupan sosial masyarakat Kotagede. Karena fakta inilah,  Kotagede kemudian menjadi salah satu kutub penting bagi gerakan.

Membumikan Wacana Multikulturalisme

Muhammadiyah di Yogyakarta, tentunya setelah Kauman. Menggeliatnya Muhammadiyah di Kotagede cukup memicu  kontroversi dan pertanyaan besar. Masalahnya, kendati sebagian besar  masyarakat Kotagede berprofesi sebagai pedagang yang berkarakter

terbuka, namun identitas kultural yang melekat pada daerah  ini, bagaimana pun juga, sangat sukar diberantas. Persoalannya,  bagaimana Muhammadiyah yang menawarkan puritanisme mudah  diterima masyarakat secara taken for granted. Mitsuo Nakamura,  seorang Islamisis asal Jepang membaca fenomena ini sebagai paradoks.

Ketika Muhammadiyah akhirnya bisa diterima oleh masyarakat  Kotagede hal tersebut menandakan bahwa organisasi ini berhasil  mengatasi persoalan kesenjangan antara isu yang ”dijualnya” dengan  realitas masyarakat. Jika Muhammadiyah akhirnya mengalami

pertumbuhan di masa sekarang, di tengah corak dan warna masyarakat  yang pluralistik, maka hal tersebut juga menandakan keberhasilan  Muhammadiyah secara internal dalam menyelaraskan antara visi  pembaharuannya (tajdid) dengan realitas kultural yang berurat berakar dalam kehidupan sosial masyarakat (turas).

Dalam catatan Nakamura, paradoks tersebut mencakup dua poin. Pertama, ketika warga Kotagede secara serta merta menerima gerakan Muhammadiyah yang menawarkan pembaharuan.  Artinya, mereka sangat cepat untuk meninggalkan dan menanggalkan kepercayaan lamanya yang penuh dengan nuansa kejawen (bid’ah  dan khurafat). 

Kedua, ketika banyak pedagang besar dan pengrajin  Kotagede yang juga mendukung gerakan Muhammadiyah,  Nakamura melihat fenomena ini sebagai paradoks yang disebabkan oleh sifat pedagang sendiri yang merupakan kelompok berkarakter  individualis dan melulu melihat segenap persoalan dalam kerangka untung-rugi.

Oleh: Edi Pramono (Aktivis IMM dan BEM UMM Kabinet Karya Nyata)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment