Modernis.co, Jakarta – Pendidikan merupakan sebuah proses pendewasaan demi terciptanya manusia seutuhnya untuk menuju humanisme kemanusiaan. Dengan kata lain pendidikan hakekatnya adalah proses memanusiakan manusia. Karena merupakan hasil pemikiran yang dilakukan oleh dan untuk manusia guna mencapai aktualisasi diri di dunia.
Namun kini, lembaga-lembaga pendidikan tidak lagi menjadi aktor penerus generasi bangsa yang berperan baik. Disadari atau tidak, lembaga pendidikan kita telah melakukan sebuah penyelewengan (berselingkuh) dengan para penanam modal, para penguasa industri dan preman pasar. Aneh dan uniknya itu semua dilakukan oleh para ahli/ilmuan untuk melenggangkan birahi intelektualnya.
Pendidikan telah dicemari oleh industrialisasi tentang hasil dan proyeksi. Maka kita mengenal penanam modal yang beroperasi di lingkungan lembaga pendidikan bagaikan perusahaan yang setiap tahunnya memproduksi manusia-manusia pekerja yang siap memenuhi kebutuhan produksi para pengembang kapitalis.
Maka tidak heran saat ini kita banyak mengetahui istilah “pasar” dalam dunia pendidikan untuk memasarkan lembaganya. Kini pendidikan bukan lagi menjadi pencetus sumberdaya unggul untuk menjawab tantangan zaman, tapi lebih kepada budak-budak yang berprestasi demi kedudukan, jabatan dan materi.
Sebenarnya istilah di atas tidak terlalu menjadi persoalan untuk didiskusikan, tapi dengan permasalahan itu semua generasi kita tidak menjadi masyarakat Indonesia bermutu , memiliki sumber daya manusia yang mumpuni dalam mengisi kemerdekaan di Indonesia, lebih-lebih akhirnya malah mendorong pada kejumudan dalam berfikir karena menghamba pada harta dan kekayaan belaka.
baca juga: Etos Pendidikan Kita
baca juga: Muhammadiyah dan Pendidikan Berkemajuan
Sangat disayangkan jika pendidikan kita kini hanya menjadi penjual untuk memasarkan produk, padahal manusia memiliki kebutuhan dan keinginan untuk berkembang menjadi lebih baik dengan cara berfikir. Dalam hal ini penulis teringat dengan sebuah pernyataan seorang Rocky Gerung yang pernah bekata bahwa “ijazah merupakan tanda kalau sesorang pernah sekolah, bukan tanda dia pernah berpikir”.
Penulis setuju dengan ungkapan tersebut, karena output yang dihasilkan oleh manusia harus dinilai dan dirasa bermanfaat bagi manusia yang lain dan itu dihasilkan dari pemikiran yang matang. Tidak berguna sebuah teori, konsep, ilmu dan wacana dari orang yang berijazah bila tidak berujung manfaat bagi orang lain.
Pendidikan kita harusnya lebih progresif mengajak pada humanism yang hakiki, berfikir kritis dan dialogis, memperdebatkan untuk mencari solusi bukan sekedar menyalahkan. Karena pendidikan merupakan instrumen utama dalam mentranformasikan pengetahuan dan membentuk kesadaran sosial budaya, ekonomi, politik dan agama, dan yang paling utama adalah terbentuknya paradigma kritis dalam membaca dan mengekspresikan perilaku dalam masyarakat, serta menciptakan manusia yang merdeka.
Manusia merupakan pemelihara dan pengembang yang menjaga fitrah kemanusiaanya yang telah ada dan menjadi potensi baginya sejak lahir. Kebebasan untuk berkembang dan berpikir progresif termasuk bebas dalam mengaktualisasikan diri dalam mengisi dan membentuk sejarah manusia sendiri sebagai subjek harus terus diwacanakan, bukan justru kebebasan itu dibungkam dan dibuat tidak berdaya oleh kebijakan proyeksi pasar dan status sosial.
Bebas dari segala bentuk penindasan, bebas dalam berinteraksi demi kemajuan dan bebas berfikir untuk kebaikan, bukan dibatasi oleh ideologi kapitalis yang mencekam. Dari sini kita harus membudayakan pendidikan berdaya-memberdayakan, menghentikan penindasan atas nama pendidikan dan mengentaskan manusia menuju dunia yang lebih adil dan makmur.
Oleh: Amir Rifa’i, Pemerhati Pendidikan