Modernis.co, Jakarta – Sistem pendidikan nasional masih mengalami berbagai masalah, diantaranya adalah masalah “uang” atau mahalnya harga belajar. Sehingga kita tahu, hanya golongan tertentu saja yang dapat menikmati pendidikan dengan baik.
Alih-alih memberikan fasilitas yang memadai dan kualitas pengajar dari berbagai perguruan ternama, nyatanya siswa dituntut untuk mendapatkan pengetahuan berdasarkan apa yang dibutuhkan oleh pasar, dalam konteks ini negara berperan sebagai agen dalam jual beli.
Yang terjadi adalah muncul anggapan bahwa sekolah sama dengan mencari kerja. Dan itu nyata terjadi di dunia pendidikan kita saat ini. Meminjam sebuah istilah -education for profit- nya Martha C. Nussbaum (2009), pendidikan telah terkotakkan oleh ideologi pasar, di mana orientasi pendidikan lebih ke arah profit seeking.
Padahal, pendidikan harusnya menjadikan siswa lebih baik dalam berfikir untuk memecahkan masalah, juga lebih dari sebuah transfer ilmu pengetahuan.
Pendidikan juga merupakan proses menyadarkan manusia dari ketidakadilan yang kerap kali terjadi di masyarakat. Namun seringkali kebebasan siswa dalam praktik sekolah pun biasanya terhenti atas adanya pandangan bahwa siswa ini sekedar menerima ilmu dari tenaga didik.
Sedangkan jauh daripada itu, sistem pendidikan yang tidak membebaskan, membuat siswa menjadi terpatok sebagai penerima ilmu saja, harusnya lebih daripada itu pendidikan bisa memberikan ruang bagi siswa untuk berpikir kritis terhadap keadaan sosial dan masyarakat di luar sekolah. Tapi ah sudahlah, ini sudah terjadi. Kembali kepada pembahasan awal tentang pasar dalam pendidikan atau pendidikan adalah pasar.
Sebagaimana pengertianya pasar merupakan proses transaksional yang bertujuan memenuhi kriteria kebutuhan dan keinginan konsumen sehingga calon konsumen terdorong untuk memiliki produk yang ditawarkan sesuai dengan harga yang diberikan.
Namun yang terjadi dan telah menjadi anggapan dalam masyarakat kita, bahwa sekolah sama dengan mencari kerja. Pendidikan dianggap sebagai strategi dalam mendapatkan status untuk lulus persyaratan ketika ingin melamar pekerjaan. Secara garis besar pernyataan tersebut tidaklah salah, tapi menjadi buruk ketika lembaga pendidikan hanya dijadikan alat untuk mencari pekerjaan saja.
Maka yang terjadi saat ini adalah sebuah potret ketika seseorang lulus dari universitas, maka yang ia pikirkan adalah untuk bekerja. Dan yang ditanyakan oleh masyarakat adalah “kerja dimana sekarang? Berapa gajinya? dan pertanyaan yang serupa.
Bahkan lebih buruknya ketika sebuah kampus tidak mengikuti orientasi pasar, maka yang akan terjadi adalah anggapan bahwasanya kampus tersebut sakit atau bernilai rendah. Sehingga yang terjadi adalah sebuah institusi pendidikan akan berlomba-lomba menonjolkan Corporation Values yang berorientasi kepada pekerjaan.
Oleh karena itu, jika orientasi pendidikan sudah terseret oleh ideologi pasar, maka pendidikan sudah kehilangan ruh nilai-nilai humanisme nya. Hingga akhirnya banyak masyarakat yang beranggapan bahwa fakultas atau jurusan tertentu lah yang mampu menghasilkan profit dan berorientasi pasar yang akan laku.
Sedangkan, jurusan atau fakultas yang non-profit seperti yang mencakup sosial humaniora, filsafat, antropologi, sastra atau bahkan agama tidak akan laku. Yang menjadi pertanyaan akhirnya adalah, dimana sebenarnya pendidikan itu? Dan masih pentingkah pendidikan itu? Semoga bermanfaat.
Oleh: Amir Rifa’I (Pemerhati Pendidikan)