Modernis.co, Malang — Diskriminasi gender (re: jender) adalah bukan sesuatu yang baru di abad 21 ini bahkan sudah ada bertahun-tahun sebelum masehi. Fenomena semacam ini dapat banyak kita jumpai di negara-negara berkembang seperti India, Afghanistan.
Bahkan di negera maju seperti UEA bahkan Australia dengan bentuk yang bermacam-macam, entah itu dalam bentuk pembatasan pendidikan, ruang lingkup pekerjaan yang sempit, dan masih banyak lagi. Hal ini dapat kita tinjau dari hasil pencarian dengan Google tentang women discrimination atau gender inequality.
India merupakan negara berkembang yang paling sering disorot tentang diskriminasi gendernya terhadap perempuan. Sebenarnya perempuan memegang peran dan posisi yang unik dalam kultur negara ini. Banyak dewi yang dipuja memiliki gender perempuan, seperti Saraswati sebagai dewi pengetahuan dan seni, Durga yang merupakan dewi cantik berkulit kuning dengan banyak tangan, dan Lakshmi yang melambangkan kesuburan, kesejahteraan dan merupakan ibu dari alam semesta.
Namun dalam kehidupan bermasyarakat perempuan tidak seharusnya independen. Sejak kecil perempuan-perempuan India sudah harus dihadapkan dengan diskriminasi. Masyarakat lebih senang menyambut kehadiran bayi laki-laki daripada perempuan. Dan diskriminasi berlanjut pada ranah pendidikan, pekerjaan dan pergaulan di lingkungan masyarakat.
Tidak berbeda jauh, di Indonesia sendiri masih banyak lapisan masyarakat yang menerapkan patriarki dan masih ada paradigma think manager-think male dimana laki-laki ditempatkan sebagai dominansi atas perempuan dalam peran kepemimpinan, politik, otoritas moral, dan hak sosial. Hal seperti ini lahir dari banyak faktor (Azliani,2018). “Laki-laki tidak boleh menangis, lemah! Seperti perempuan,”, tidak asing bukan? Perkatan tersebut juga turut membantu dalam maraknya diskriminasi terhadap perempuan padahal menangis tidak bisa dijadikan tolak ukur atas lemah atau tidaknya seseorang.
Kemudian laki-laki menganggap dirinya sebagai sosok yang lebih kuat secara fisik dan psikis, sejak kecil orang tua mendidik anak laki-laki dengan bermain bola dan mobil-mobilan sedangkan anak perempuan bermain “mengasuh” boneka, dan apabila perempuan ikut bermain bola akan disebut sebagai tomboy.
Dalam kultur tradisional pun memasak, mengasuh, dinikahkan, bahkan dipingit adalah hal yang menjadi ciri khas dari diri seorang perempuan. Perempuan tidak dianjurkan untuk menempuh pendidikan seperti laki-laki karena dianggap perempuan tidak perlu ilmu yang tinggi untuk hanya sekadar mengasuh anak dan suami dirumah.
Meskipun begitu, pemerintah sudah mulai memperhatikan peran dan fugnsi perempuan di masyarakat dengan adanya perubahan penggunaan istilah wanita yang berasal dari Bahasa sansekerta dengan arti “yang dinafsui” menjadi perempuan dengan kata dasar empu yang berarti dipertuan atau dihormati. Dan dewasa ini norma yang cenderung terjadi adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan telah berubah seiring dengan perkembangan secara bertahap perihal keluarga yang berkesetaraan (Abererombie,2015).
Pernyataan Women are Better Manager juga sudah diungkapkan oleh Carol Smith, seorang wakil direktur dari Elle Group pada Juli 2009. Ia menyatakan bahwa seorang pemimpin perempuan mampu menjadi penasihat, mentor bahkan mampu sebagai pengambil keputusan yang rasional. Dibandingkan dengan laki-laki yang masih menonjolkan sikap egois dan acuh tak acuh.
Menurutnya, yang perlu diperbaiki adalah sistem rekrutmen pada perusahaan agar tidak terjadi penyempitan wilayah kerja yang mengatasnamakan keperempuanan. Beranjak dari pernyataan ini mata dunia mulai menyorot peranan perempuan dalam ranah ekonomi, sosial, serta pendidikan. Bahkan perempuan mulai diperhitungkan sosoknya untuk menjadi seorang pemimpin.
Lalu, bagaimana Islam memandang kedudukan serta peran perempuan? Bisa dikatakan tidak ada perbedaan kedudukan atau status antara perempuan dan laki-laki. Allah menciptakan manusia, perempuan dan laki-laki dari unsur yang sama seperti yang tertulis dalam Al-Quran surah An-Nisaa ayat 1, yang artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”
Dalam Islam, perempuan pun dianggap sebagai partner atau kawan kaum laki-laki dalam kebajikan.Peran dan kewajiban perempuan sama halnya dengan yang dimiliki oleh laki-laki, hal ini tertulis dalam Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 71, yang artinya:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah beserta Rasul-Nya, mereka itu akan di beri rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Allah pun memberikan kesempatan dalam hal pendidikan serta karir juga ganjaran yang sama pada perempuan maupun laki-laki, tertulis dalam Al-Quran surah An-Nahl ayat 97, yang artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
dan pada surah At-Taubah ayat 122, yang artinya:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Tidak ada perbedaan derajat antara perempuan dan laki-laki dalam hal apapun. Ikatan erat antara perempuan dan laki-laki didefinisikan jelas dalam al-quran dengan redaksi kesetaraan: “Wanita-wanita(para istri) itu adalah pakaian bagimu sebagaimana kamu semua adalah pakaian bagi mereka,”. Pun sebagai Abdullah juga khalifah dalam Al-Quran tidak merujuk kepada salah satu jenis kelamin(gender), bangsa, atau kelompok etnis tertentu. Mereka akan mempertanggungjawabkan perannya dalam posisi yang sama dihadapan Allah kelak. Yang membedakan hanya peran secara biologis saja.
*Oleh : Esamada Rose Nursaputri (Aktivis IMM Revivalis UIN Malang)