Refleksi Hari Buruh Internasional

khusnul Khuluq aktivis imm dan intelektual muda muhammadiyah

Modernis.co, Kediri – Siang tadi, saya baru ingat. Bahwa besok tanggal merah. Ya, tanggal 1 Mei. Hari buruh internasional. Meskipun waktunya sudah sangat mendesak. Tinggal besok hari itu tiba. Namun belum terlambat. Untuk  sekedar melakukan refleksi singkat.

1 Mei diperingati sebagai hari buruh internasional. Ini berawal dari dekade-dekade awal tahun 1800an. Di mana para buruh bekerja hingga 19 sampai 20 jam sehari. Ya. Itu mereduksi kemanusiaan. Sebuah sistem yang mereduksi kemanusiaan. Industrialisme mereduksi kemanusiaan.

Mereka mulai sadar bahwa jam kerja yang begitu panjang itu tidak betul. Hingga mereka, para buruh itu membentuk serikat-serikat. Untuk menghimpun kekuatan. Dan menuntut agar jam kerja dikuragi.

Singkat kata, tahun 1880an, tuntutan Federation of Organized Trades and Labour Union, serikat buruh di Amerika di kabulkan. Dan mulai diberlakukan tanggal 1 Mei. Itu tahun 1886. Ya, tuntutan itu berisi  8 jam kerja dalam sehari. Di luar itu, terhitung lembur.

Artinya, 1 Mei adalah simbol kemenangan bagi kelompok buruh. Karena tuntutannya telah dikabulkan. Dan mulai berlaku tanggal itu. Mereka tidak perlu bekerja lebih dari 8 jam sehari. Kemudian, Konggres Sosialis Dunia tahun 1889 menetapkan peristiwa di Amerika itu sebagai hari buruh sedunia. Artinya, 1 Mei adalah simbol kemajuan dalam konteks perburuhan.

Lalu, apa yang sudah kita capai pada 1 Mei tahun ini? Ya, kita sedang dilanda pandemi. Ekonomi merosot. Pemutusan hubungan kerja meningkat. Otomastis kemiskinan terus meningkat. Ekonomi tersendat-sendat. Kehidupan di luar sana semakin sulit. Jika salah dalam penanganan, akan semakin memperburuk keadaan.

Dalam konteks yang lebih radikal, undang-undang cipta lapangan kerja mungkin membawa bencana. Dalam konteks pekerjaan tentunya. Sangat tampak bahwa undang-undang itu sengaja disusun untuk kepentingan investor. Alih-alih untuk kepentingan buruh domestik. undang-undang itu hendak membabat habis kekayaan domestik. Semua atas nama investasi.

Mislanya, pasal 122 RUU Cipta Kerja, yang pada intinya hutan boleh dijadikan bendungan. Artinya, hutan bisa dibabat habis atas nama investasi. Tanpa kajian AMDAL. Termasuk juga lahan pertanian. Bisa diubah menjadi jalan tol. tanpa AMDAL.

Masih dalam Pasal 122, yang pada intinya jika rumah kita digusur karena proyek pemerintah, atau proyek pengusaha, kita tidak bisa menuntut ganti rugi. Kita mesti menerima uang ganti yang diberikan, berapapun jumlahnya.

Pasal 170, bahwa undang-undang bisa diganti dengan Peraturan Pemerintah. logika ini jelas menjungkirbalikkan teori ilmu perundang-undangan. Jika ini disahkan, artinya pemerintah secara legal bisa melanggar undang-undang. Untuk kepentigan investasi.

Dua pasal itu saja membuat mata terbelalak. Betapa regulasi yang disusun itu tidak berpihak pada rakyat. Alih-alih pada buruh pekerja. Belum lagi soal percutian yang ditiadakan. Semua tidak berpihak pada rakyat, alih-alih pada buruh pekerja.

Sejak awal, RUU ini telah menuai kritik. Dari banyak kalangan. Juga penolakan. Namun, pembahasannya terus dilakukan. Bahakan setelah pandemik merengsek ke wilayah domestik. Kabarnya penggodokan RUU itu masih diteruskan.

Sebuah kemuduran yang luar biasa. Dalam konteks pemanusiaan. Bukan soal jam kerja. Tapi lebih dalam dari itu. Perebutan kedaulatan ekonomi. Suatu sistem ekonomi yang justru mempeburuk posisi pekerja.

Karena itu, undang-undang ini sering diplesetkan menjadi undang-undang cilaka. Karena revisi terbarunya akan membuat para pekerja benar-benar cilaka.

Mungkin iya, dengan undang-undang itu pertumbuhan ekonomi akan naik. Tapi jalas. Yang menikmati bukan penduduk domestik. Tapi para pemilik modal kelas kakap.

Hari-hari ini, para investor sedang mulai beroperasi untuk megeruk kekayaan dalam negeri. Sangat kasat mata, bahwa ndang-undang itu disusun untuk memuluskan agenda tersebut.

Singkat kata, alih-alih sebuah kemajuan, 1 Mei tahun ini bagi kita adalah sebuah kemuduran yang luar biasa. Dalam konteks ekonomi dosmestik. Maupun dalam konteks perburuhan. Lebih jauh dari itu adalah kemunduran dalam konteks keadilan sosial.

Oleh : M. Khusnul Khuluq (Human Right Defender, Pegiat filsafat, Kader Muda Muhammadiyah)

M. Khusnul Khuluq
M. Khusnul Khuluq

Muhammad Khusnul Khuluq, S.Sy., M.H. Alumnus Jurusan Syariah Universitas Muhammadiyah Malang tahun 2015. Peraih The Asia Foundation Scholarship of Master Program on Syaria and Human Right Studies.

Leave a Comment