Muhammadiyah Menuju Elite Filantropi

nurbani yusuf

Modernis.co, Malang – Muhammadiyah, selalu identik dengan gerakan kaum modernis, tumbuh di daerah perkotaan dan pusat-pusat perdagangan, dan kalangan pesisir terpelajar. Sebagai gerakan yang tumbuh di kalangan terdidik ada kesan elitis dan membatasi diri sehingga dikenal pula kurang populis.

Jargon kembali pada Al Quran dan As sunah semakin menabalkan dirinya menjadi gerakan perlawanan terhadap kemapanan dan segala bentuk penyimpangan. Maka dalam beberapa kasus, Muhammadiyah sering tidak ramah dengan budaya dan adat, jika tak boleh dibilang melawan, yang diindikasikan dengan penyerangan nyata terhadap takhayul, bid’ah dan khurafat.

Image bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan purifikasi atau pemurnian juga kerap menjadi picu lahirnya selisih kecil-kecil yang merangsang reaksi sebagian ulama yang merasa terancam dan puncaknya adalah dengan mendirikan Nahdhatul Ulama sebagai antitesis Muhammadiyah.

Witherington, Nakamura, Daniel S Lev, dan beberapa peneliti lainnya menggarisbawahi bahwa Muhammadiyah tumbuh sebagai gerakan pembaharuan dan kemoderenan yang paling menarik disepanjang sejarah pertumbuhan pergerakan Islam, bahkan Witherington menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan yang “diberkati”. Namun sebagai gerakan kaum modernis Muhammadiyah jauh dari aktivitas massa, tutur Nakamura, berbeda dengan kompetirtornya NU yang lebih kental dengan pengerahan mobilisasi massa.

Aktivitas Muhammadiyah sering dilakukan di ruang-ruang kecil, aula atau gedung-gedung. Bahkan aktivitas yang dipilih pun juga berbeda misalnya mendirikan sekolah, rumah sakit, universitas, bank dan lain sebagainya hal mana pernah diharamkan oleh kompetitor utama NU karena dianggap menyerupai orang kafir.

Mesti belakangan semua yang dulu pernah diharamkan mereka terima pelan-pelan yang oleh Gus Dur disebut kemenangan dialektik Muhammadiyah atas NU.

Terjadi perubahan signifikan pada tubuh pergerakan Muhammadiyah yang semula dikenal sulit dan menghindar dari gerakan mobilisasi massa, pada lima tahun terakhir juga mulai tertarik dengan beberapa alasan, dua kegiatan terakhir pengerahan massa Aisiyah yang sukses mengumpulkan lebih 25 ribu masa perempuan di masjid Al Akbar Surabaya cukup mengejutkan.

Dan terakhir saat MILAD ke 104 di Bangkalan tempat Syaichona Kholil guru para pendiri NU dilahirkan dan mengajar. Sungguh menjadi bukti bahwa Muhammadiyah juga mulai tertarik. Ribuan bus, kendaraan pribadi, angkot, truk, sepeda motor dan puluhan ribu jamaah berjalan kaki adalah sebuah pemandangan yang tak biasa. Stadion yang berkapasitas 17 ribu penuh ditambah puluhan ribu lainnya merayap diluaran,

Muhammadiyah kian menabalkan dirinya sebagai gerakan filantropi dengan trisulanya MDMC, LAZISMU dan gerakan pemberdayaan umat yang dulu dikenal dengan majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem. Aset yang berkembang menjadi puluhan triliun dari rumah sakit, universitas, tempat rekreasi, dan semua yang dilakukan adalah hasil “urunan” anggota.

Tradisi urunan atau infak menjadi ciri utama gerakan hingga hari ini. Karena itu Muhammadiyah tidak silau meski kompetitornya berusaha menyalip dengan menadatangani MoU dengan James Riyadi dengan sistem siwalan. Berbagai rumah sakit dan pendidikan lainnya, boleh saja mereka menyamai dalam hal jumlah tapi ada satu hal yang mereka tidak dapatkan yaitu prestige dan daya tawar atau nilai jual.

Muhammadiyah punya daya tawar tinggi yang barangkali lebih mahal dari ratusan rumah sakit atau universitas yang dibangun dengan jalan kerjasama Siloa. Lebih dari itu semua keberadaan rumah sakit bertaraf internasional dan universitas berbasis akademik yang mendunia di Muhammadiyah memiliki akar tradisi kuat kebawah hingga massa akar rumput, bukan seperti sulapan yang datang dari elitenya, itulah yang membedakan.

Bahkan MILAD di Bangkalan kali ini kian menabalkan gerakan filantropi dimaksud, rela berjalan kaki berkilo-kilo dengan menumpang pada bus-bus umum tanpa AC para dosen, pengusaha, dokter, guru, politisi, pedagang, karyawan urap menjadi orang biasa tanpa mengeluh, ibu tua dan cucunya berikut seluruh keluarganya tumpah, mereka urunan menyewa kendaraan, bus-bus umum, kereta api, mobil pribadi dan sepeda motor, itulah gerakan filantropi yang dirindukan di Barat, Jepang bahkan Amerika sekalipun.

Jika organisasi sebesar MUHAMADIYAH yang banyak dihuni para elite dan basis massa super kuat menjadi filantropi .. mungkin tidak saja Indonesia, dunia juga akan segera di genggaman. Dan ini pula yang menyebabkan ketakutan dan kecemasan mereka yang tidak menginginkan MUHAMADIYAH sebagai gerakan filantropi. Hanya yang “miyayeni” saja yang wegah dengan acara beginian.

Oleh : Nurbani Yusuf (Pegiat Komunitas Padhang Mahsyar Malang/Kiayi Muhammadiyah Malang)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan fikiran-fikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment