Modernis.co, Malang – Sejak menyebarnya virus corona yang membuat panik seluruh dunia. Stres yang ditimbulkan membuat pikiran orang semakin liar. Berbagai asumsi mencoba menjawab dalang di balik pandemi global ini menggunakan teori konspirasi.
Awalnya, banyak yang menduga ini terjadi akibat kebocoran dari laboratorium wuhan yang berubah menjadi senjata biologis mematikan. Bos Microsoft, Bill Gates juga sempat menjadi sorotan karena dituding “merencanakan” pandemi global karena ramalannya 5 tahun lalu dalam seminar Ted Talks terbukti benar.
Podcast Deddy dan Young Lex, serta debat online Jerinx dengan salah satu influencer, dr. Tirta juga sempat meramaikan dunia maya membahas konspirasi peran elit global yang diduga menjadi dalang dibalik pandemi.
David Laudden, Ph.D, profesor dari Universitas Georgia Gwinnett, dalam artikelnya di Psychology Today, mengungkap alasan seseorang membuat teori konspirasi adalah upaya mencari kepastian. Sesuai dengan naluri alamiah manusia. Tidak harus jawaban yang benar, tetapi jawaban yang menghibur kita atau yang sesuai dengan sudut pandang dunia masing-masing.
Pola penjelasan dalam teori konspirasi biasanya berusaha menolak “narasi yang sebenarnya” dengan menciptakan sebuah asumsi alternatif. Dikembangan dari beberapa informasi terkait, yang disusun sehingga menjadi narasi baru. Informasi yang terkandung dalam teori konspirasi belum bisa dikatakan faktual.
Sebab, pembuktian kebenarannya masih lemah dan sarat akan pemalsuan. Oleh karenanya, teori konspirasi banyak ditemukan dan berkembang hanya dalam forum-forum diskusi. Hampir tidak ada media resmi yang menggunakan informasi rujukan dari teori konspirasi.
Lantas apa yang membuatnya kian populer dan banyak yang mempercayainya? Dr. Mike Mood, psikolog dari Universitas Winchester, Inggris berpendapat, stres menjadi faktor penyebab orang mudah percaya pada teori konspirasi.
Teori konspirasi menjadi masuk akal, ketika seseorang tidak mampu menguasai diri sepenuhnya saat stres melanda. Dr Myrto Pantazidari Institut Internet Universitas Oxford, Inggris, menambahkan bahwa orang-orang yang mengalami trauma kolektif juga berpeluang besar terpengaruh teori konspirasi.
Beberapa faktor yang mendorong seseorang untuk membuat dan mempercayai teori konspirasi karena ada kebutuhan psikologis yang tak terpenuhi. Kebutuhan tersebut adalah epistemik, yakni kebutuhan seseorang akan pengetahuan yang lebih akurat. Kemudian ada eksistensial, yakni kebutuhan seseorang akan rasa aman dan nyaman.
Seperti contoh, hasil riset membuktikan bahwa teori konspirasi akan dipercaya oleh orang ketika dirinya merasa cemas dan tak berdaya. Demikian yang dikatakan oleh, prof. Karen Douglas, seorang psikolog sosial dari University Of Kent, dalam artikel Sky News.
Dalam tulisannya yang lain, Douglas, dkk. mengungkapkan bahwa teori konspirasi ada dan berkembang dalam komunitas online. Teori konspirasi tidak dapat diminati oleh seluruh orang. Karena tidak semuanya mau mempercayai teori konspirasi. Bagi mereka yang sudah percaya, mereka akan saling membagikan “bukti-bukti” konspirasi dalam komunitas online mereka saja.
Artinya internet berperan penting membuat mereka semakin homogen dan radikal (Douglas, dkk., 2019). Ekosistem di ranah digital yang semakin memperparah pengaruh teori konspirasi adalah filter bubble dan echo chambers. Filter bubble adalah kondisi dalam dunia digital di mana konten/topik yang disajikan dalam timeline mengikuti hal-hal yang sedang digemari oleh penggunanya.
Konten/topik yang kontra dengan kita, dikurangi keterpaparannya. Ini merupakan konsekuensi dari peran algoritma yang menyebabkan kita lebih terpapar konten yang sejalan dengan pemahaman pribadi. Hal ini lah yang membuat orang semakin nyaman dan enggan lepas dari internet. Karena ia mendapatkan afirmasi atas apa yang ia yakini. Echo chamber bisa dibilang efek dari filter bubble.
Echo chamber secara tidak langsung memiliki fungsi untuk memperkuat apa yang sudah diyakini. Girad Lotan (2014), seorang profesor dari New York University sedikit menggambarkan fenomena echo chamber ini. Sesuai namanya, echo chamber hanya memantulkan balik suara atau pandangan yang sepemahaman. Orang saakan-akan mengisolasi orang dari pandangan lain yang berbeda. Fenomena ini banyak ditemui saat masa kampanye Pilpres dan Pilkada.
Efek nyata dari echo chamber salah satunya adalah pembakaran menara jaringan internet 5G oleh sejumlah orang tak dikenal di Birmingham, Liverpool, Dan Merseyside. Tindakan itu diduga akibat meyakini teori konspirasi bahwa virus corona dapat tersebar melalui jaringan 5G.

Di dalam negeri, musisi Jerinx SID menantang untuk menyuntikkan virus corona pada dirinya karena meyakini bahaya virus ini hanya sebatas konspirasi elite global. Teori tersebut menganjurkan kita untuk beraktivitas seperti biasa seolah tak ada apa-apa. Efeknya jelas, penyebarannya sulit untuk dikendalikan dan angka kematian perlahan-lahan mulai naik.
Para ahli yang menghimbau tindakan mereka, akan langsung dinilai sebagai bagian dari teori konspirasi. Penelitian lain menunjukkan bahwa penganut teori konspirasi punya kecenderungan meminjam teori-teori konspirasi dari kelompok konspiratif lain pada topik yang berbeda.
Bisa dibilang ini semacam cocoklogi untuk mengembangkan/menguatkan suatu teori konspirasi. Tentu saja ini membuat semacam siklus tiada henti ketika membahas teori-teori konspirasi. Apalagi, para pendukung teori konspirasi juga secara aktif mencari forum/ruang diskusi dengan anggota yang sepaham.
Di Indonesia, ini bisa dilihat dari menjamurnya teori-teori konspirasi di berbagai media sosial. Bukannya hanya menjadi bahan obrolan bagi yang sepaham, tapi juga turut merekrut orang-orang awam.
Oleh: Alvin Rayhan Mahardhika (Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang)