Pertengkaran Pasca Pilpres

adi munazir pengacara

Modernis.co, Malang – Pencoblosan pemilihan presiden (pipres) dan pemilihan legislatif (pileg) 2019 selesai dilakukan (17/04). Apresiasi kepada pemerintah dan penyelenggara, dalam hal ini KPU dan Bawaslu belum merata dan bahkan tidak terdengar. Antar elit masih terjadi saling gesek dan saling lempar narasi menjatuhkan sehingga menjalar kepada barisan pendukung. Secara umum masyarakat belum merdeka dari polarisasi dukungan pilihan politik meski hari pencoblosan sudah lewat berbilang hari.

Pilpres 2019 adalah pemilihan secara langsung ke empat yang didahului oleh pilpres 2004, 2009, 2014 sejak Reformasi dikumandangkan. Jika kita amati sejarahnya, maka tahun 2019 adalah rezim pemilihan umum (pemilu) paling sengit, paling dramatis, paling menyedot tenaga dan fikiran. Dari agenda lima tahunan itu kita saksikan secara telanjang dan vulgar bagaimana kepentingan dipertandingkan dengan sangat keras di ring tinju demokrasi langsung ala Indonesia.

Mengarahnya dua pasangan capres dan cawapres juga dipengaruhi oleh besarnya presidential threshold (ambang batas presiden) yang mensyaratkan akumulasi 25 % suara sah nasional atau 20 % suara anggota DPR yang duduk di senayan. Prasyarat ini menyebabkan partai partai yang baru menetas (PSI, Berkarya, Perindo, Garuda) harus tersingkir sebelum pertandingan dimulai dalam mencalonkan capres atau cawapres.

Usaha menggugat melalui Judicial Review (JR) untuk menurunkan atau bahkan menghapus syarat itu bukan tidak pernah dilakukan. Mahkamah Konstitusi (MK) masih konsisten dengan putusannya bahwa ambang batas presiden yang diatur dalam pasal 222 Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu adalah konstitusional sehingga tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar (UUD).

Klaim Kemenangan

Pertengkaran yang paling menggemaskan sekaligus meresahkan publik adalah soal klaim kemenangan dari masing-masing pasangan capres-cawapres. Baik kubu 01 dan 02 sama-sama secara gagah dan meyakinkan menyatakan kemenangan berdasarkan versi masing-masing.

Tercatat Prabowo mendeklarasikan kemenangan lebih awal dengan klaim kemenangan 62 % berdasar hasil akumulasi C1 yang didapat dari tim Internal Badan Pemenangan Nasional (BPN). Tak mau ketinggalan Tim Kampanye Nasional (TKN) juga mendeklarasikan kemenangan Jokowi berdasarkan quick count dengan alasan untuk meyakinkan barisan pendukungnya.

Peristiwa serupa memang pernah terjadi pada 2014 silam, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mendeklasrasikan kemenangan Jokowi-Jusuf Kalla dengan hasil quick count yang dirlis oleh 7 lembaga survey. Adapun Koalisi Merah Putih (KMP) melaksanakan sujud syukur kemenangan Prabowo-Hatta berdasarkan hasil quick count empat lembaga survey.

Klaim kemenangan yang dilakukan oleh elit koalisi menandakan bahwa ada ketidakpercayaan pada proses pemilu yang sedang berlangsung dan ini merupakan dampak post truth yang hinggap dan membahayakan proses demokrasi. Klaim kemenangan inilah sebagai awal dari pertengkaran pasca pilpres yang bergemuruh dengan sangat keras.

Narasi Kecurangan

Institusi yang paling brutal di gempur oleh publik adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) khususnya dari pendukung Prabowo. Lembaga ini menjadi bulan-bulanan karena dianggap tidak bergerak pada jalur yang semestinya. Tudingan menyakitkan adalah soal tampilan situng real count KPU yang dianggap identik dengan quick count enam lembaga survey (SMRC, CSIS, Poltracking, LSI Denny JA, Charta Politika, Indo Barometer).

Posisi perolehan suara kemenangan yang bergerak pada angka 54%-55% untuk pasangan Jokowi-Ma’ruf dan kekalahan Prbowo-Sandi pada posisi 44%-45%. Perolehan itu dianggap sebagai hasil perselingkuhan dengan lembaga-lembaga survey. Selain itu, salah input data (human error) C1 dari 813.350 TPS (sumber situng KPU) yang dilakukan oleh KPU secara berulang-ulang menjadi masalah besar yang dianggap menguntungkan pasangan capres tertentu.

Narasi kecurangan yang disemburkan memang menjadi bagian yang tak dapat dielakkan oleh KPU sebagai penyelenggara. Ada banyak peristiwa yang menyebabkan opini publik menjadi sangat liar dan menyerang penyelenggara dengan sangat brutal. Narasi kecurangan tersebut telah menyebabkan para komisioner KPU dibawah ancaman pemidanaan dan tekanan luar biasa dari publik.

Kematian Penyelenggara

Pilpres dan Pileg yang dihelat secara bersamaan telah menghasilkan banyaknya angka kematian. Tragedi kematian ini sudah melebihi angka 500 orang yang diakibatkan oleh kelelahan para petugas di lapangan. Lagi-lagi, pemilu 2019 diangap sebagai penyelenggaraan pemilu paling buruk sepanjang Indonesia diproklamirkan kemerdekaannya.

Tentu bukan menyalahkan siapa-siapa atas kematian penyelenggara. Tragedi ini adalah tanggung jawab bersama yang harus dipikul tanpa harus dibebankan kepada salah satu pihak. Mengingat belum ada preseden yang baik terhadap pelaksanaan pemilu serentak yang sangat kompleks ini.

Tawaran rekonsiliasi yang hadir dari kubu petahana menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses sengitnya kompetisi pemilu. Ada Luhut Binsar Panjaitan yang dikenal dengan menteri segala urusan yang diutus oleh Jokowi untuk menemui Prabowo.

Memang ada kesan bahwa rekonsiliasi yang ditawarkan Jokowi telah mengobarkan opini publik bahwa perkelahian parah sedang terjadi. Padahal secara umum suasana perkelahian dalam artian fisik tidaklah terjadi. Hanya argumentasi bersayap yang selama ini mengudara dan membesar dengan kehadiran informasi yang melimpah di media mainstream dan non mainstream.

Jubir BPN Dahnil Anzar Simanjuntak menyebut bahwa rekonsiliasi belum diperlukan karena tidak terjadi konflik akan tetapi hanya kompetisi yang belum usai. Meskipun begitu kita harus merawat persatuan sebagai bagian dari bentuk tanggung jawab terhadap keluarga besar NKRI ini. Terhadap kompleksnya masalah pasca pilpres ini. Maka mari mengingat kembali nasihat cerah dari Buya Syafii Ma’arif agar kita sama-sama mengendorkan emosi. Mari juga bersepakat untuk tidak bertengkar lagi karena pada 22 Mei 2019 mendatang hasil real count KPU adalah batas terahir kompetisi sengit ini.

*Oleh : Adi Munazir (Aktivis IMM dan Konsultan Hukum Pancakusara Law Office)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment