Modernis.co, Jakarta — Budaya literasi dalam masyarakat merosot hingga tingkat kemampuan mamahami suatu hal pada nalar merosot pula dibawah rata-rata. Dalam era globalisasi ini masyarakat dibuai dengan segala sesuatu yang instant sehingga setiap nalar tak terlatih untuk diasah. Sekalipun dilakukan pengasahan, nalar mengalami kesulitan menangkap hal yang disampaikan. Maka terbentuk nalar yang tumpul dan diri yang apatis terhadap lingkungan.
Masyarakat ini dikenal dengan sebutan “generasi nunduk” yang mana setiap tingkah lakunya tak jauh – jauh dari smartphone. Entah apa yang dilakukan dalam ponsel itu yang pasti banyak mudhorot nya.
Sering kita tanya dalam hati, mengapa negara kita susah bersaing dengan negara – negara lain, apa ada yang salah dalam sistem perikehidupan rakyat kita ? seberapakah strata pendidikan, kemampuan, dan penguasan ilmu pengetahuan yang dimiliki, inovaasi dan rekayasa teknologi yang sudah kita buat, apa yang telah dihasilkan karya-karya monumental putra-putri bangsa indonesia saat ini, semua itu menggelitik di sanubari para kaum cerdik pandai yang merumuskan dari titik mana kita mau mulai membenahi bangsa kita.
Ternyata para penggiat pendidikan sepakat bahwa pintu gerbang penguasaan ilmu adalah dengan banyak membaca. Sebab dengan membaca dapat membuka jendela dunia. Ketika jendela dunia sudah terbuka, masyarakat akan lebih mampu melihat ke luar, sisi – sisi apa yang ada dibalik jendela tersebut. Sehingga cara berfikir masyarakat kita akan maju dan keluar dari zona kemiskinan menuju kehidupan yang sejahtera.
Rendahnya minat baca pada masyarakat sangat mempengaruhi kualitas bangsa Indonesia, sebab dengan rendahnya minat baca, tidak bisa mengetahui dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi didunia, dimana pada akhirnya akan berdampak pada ketertinggalan bangsa Indonesia.
Peradaban suatu bangsa ditentukan oleh kecerdasan dan pengetahuannya, sedangkan kecerdasan dan pengetahuan dihasilkan oleh seberapa ilmu pengetahuan yang didapat, informasi yang didapat baik dari lisan maupun tulisan. Semakin banyak penduduk suatu wilayah yang haus akan ilmu pengetahuan semakin tinggi peradabannya.
Tak berkhayal jauh, dalam suasana kelas yang begitu fokus terhadap dosen yang sedang menerangkan, mahasiswa pun masih sempat membuka smartphone nya untuk sekedar membuka akun instagram atau line nya. Dari sini terbukti bahwa memang buku yang telah dirancang sedemikian rupa, di desain sedemikian rupa, bahkan semenarik itu, menjadi tidak menarik lagi dimata masyarakat ini. Sehingga tingkat pengetahuan masyarakat hanya sebatas apa yang ia baca melalui artikel atau berita – berita singkat dari berberapa website.
Konyolnya, masyarakat borjuis pun rela merogoh kantongnya hingga jutaan demi game yang digemarinya. Disini perlu ditumbuhkan lagi upaya literasi sehingga masyarakat tidak melulu terfokus atau bergantung pada ponselnya.
Padahal, budaya suatu bangsa biasanya berjalan seiring dengan budaya literasi, faktor kebudayaan dan peradaban dipengaruhi oleh membaca yang dihasilkan dari temuan – temuan para kaum cerdik pandai yang terekam dalam tulisan yang menjadikan warisan literasi informasi yang sangat berguna bagi proses kehidupan sosial yang dinamis. Dan dalam budaya profetik pun sudah mengharuskan untuk selalu membaca, dengan sabdaNya pada kalimat “iqra”. Lantas apa lagi yang menjadikan kita malas membaca sedang “iqra” sudah menjadi perintahNya?.
Lingkungan hidup sekitar dapat mempengaruhi minat baca, karena secara tidak langsung lingkungan sekitar lah yang membentuk kebiasaan kita. Demikian pula dengan adanya generasi serba instant, dimana semua orang dalam menjalankan segala sesuatunya serba ingin cepat tanpa proses yang baik, padahal, membaca sebuah buku baik dari yang tipis sampai yang tebal, semuanya pasti membutuhkan proses membaca.
Generasi milenial juga bergantung pada game online, padahal, ini sangan berpengaruh dalam penurunan minat baca, dengan adalan fantasi demikian minat baca jadi semakin berkurang karena otak sudah di monopoli oleh fantasi tersebut. Dengan adanya beberapa faktor itu akan mengkilangkan hal yang paling penting dan paling berpengaruh pada perkembangan diri yaitu minat dalam diri. Jika minat itu tak kunjung muncul, selesai sudah dunia perbukuan pada zaman yang akan datang.
Analisis saya, masyarakat tidak berkeinginan untuk membaca karena mereka tidak tahu apa yang harus dibacanya dan bagaimana bisa mengetahui isi buku itu secara instant. Padahal banyak sinopsis dari sebuah buku yang telah di publikasi di warta elektronik. Tapi tetap saja pikiran mereka dimonopoli oleh kenyamanan fantasi dunia hiburan pada warta elektronik itu.
Penulisan artikel ini merujuk pada kader IMM yang saat ini tak jauh berbeda dengan masyarakat terurai diatas. Dalam era milenial ini, kaderpun berubah nama menjadi kader milenial. Maka perlu adanya upaya peningkatan ghiroh membca pada kader sehingga kader tak miskin pengetahuan, serta mampu berdialektika dengan baik.
Maka dengan ini pembudayaan membaca merupakan langkah awal untuk mengembangkan budaya literasi. Sedikitnya mereka perlu dipaksa untuk membaca buku, bukan sekedar membaca artikel – artikel pendek pada suatu website, sehingga sedikitnya dari apa yang mereka ketahui menimbulkan rasa penasaran pada diri dan mendorong keinginan untuk membaca buku selanjutnya.
Selanjutnya ada budaya resume pada setiap kader untuk mereview apa yang telah mereka baca sehingga pengetahuan yang mereka dapat itu tertanam, dan melekat pada pikiran mereka. Lalu dapat juga dilakukan kegiatan meresensi buku, yangmana bermanfaat untuk mengasah intelektual, karena dengan melakukan resensi, kita dapat mengetahui kelebihan serta kekurangan buku tersebut bahkan sekaligus mengkritisi dan memberi masukan buku tersebut.
Kita juga dapat membandigkan dengan teori atau wacana yangf diungkapkan penulis dari lain buku. Selain itu manfaatnya lagi ayitu dapat memahami secara mendalam isi buku yang diresensi, sehingga tidak mudah lupa dan dapat sebagai bahan diskusi.
Dengan meresensi, kita dapat sedikit demi sedikit memulai membuat karya tulis ilmiah sehingga apa yang kita baca bisa di publikasi dan dapat bermanfaat bagi orang lain pula. Kemudian lebih dalam lagi untuk diarahkan pada fase kegiatan bedah buku.
Secara harfiah, tak ada pengertian dari bedah buku namun bedah buku atau biasa disebut sebagai resensi buku ini secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan mengungkapkan kembali isi suatu buku secara ringkas dengan memberikan saran terkait dengan kekurangan dan kelebihan buku itu menurut aturan berlaku umum.
Bedah buku ini bermanfaat untuk mengedukasi para kader agar bisa lebih kritis dan berhati – hati dalam menanggapi segala materi yang ada dalam buku tersebut. Selain itu, kader dapat belajar mengenai bagaimana membuat suatu karya tulis ilmiah.
Hemat saya bedah buku ini cocok untuk meningkatkat minat baca kader, karena kader akan mampu untuk terus berfikir dan berkreatifitas dengan menuangkan pokok pikirannya pada forum itu.
Bedah buku sebagai finalisasi dalam upaya pengembangan budaya literasi karena ketika kader sudah mampu untuk melakukan bedah buku, berarti akder itu telah mampu memahami dengan baik apa isi dalam buku itu dan mampu mengasah nalar dengan terus mengkritisi isi buku serta berkemampuan mendoktrin audiens untuk mengikuti alur berfikirnya.
*Oleh : Yesa Novianti Putri Ashari (Ketua Bidang Kader PK IMM Hukum Universitas Muhammadiyan Jakarta).
Daftar Pustaka
1. www.gramedia.com
2. gpmb.perpusnas.go.id (karya Priyo Sularso)