Ta’awun, Formulasi Membangun Negeri

adi munazir pengacara

Modernis.co, Malang — Muhammadiyah baru saja memperingati hari kelahirannya (18/11). Ada tema menarik yang diusung pada milad ke 106 kali ini yaitu seruan ta’awun untuk negeri.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti dalam artikel singkat yang berjudul ‘Apa Itu Ta’awun?’ (Republika.co.id/2018) menjelaskan bahwa Ta’awun adalah ajaran dasar dan akhlak Islam.

Secara etimologis ta’awun diserap dari bahasa arab yang berarti tolong-menolong. Dalam artian yang luas ta’awun dapallah dipahami sebagai ajaran gotong-royong yang merupakan role model kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana yang sudah dicontohkan berabad lamanya oleh nenek moyang kita.

Dalam kaitannya dengan membangun negeri (Indonesia). Ta’awun menjadi sebuah keharusan yang dibutuhkan bangsa saat ini. Ada banyak pertentangan dan perdebatan tak substansial yang dipanggungkan oleh anak bangsa bertendensi kepentingan pragmatis semata yang sesungguhnya tidaklah tepat mewakili semangat membangun Indonesia yang berkelanjutan.

Pembangunan Indonesia jelas ditujukan untuk menyelesaikan kesenjangan sosial yang masih menjadi hantu menakutkan bagi bangsa besar ini. Ada banyak duka dan tangis yang semestinya kita hentikan secara gotong royong sebagai bentuk hubbul wathon (cinta negeri) terhadap Indonesia. Ta’awun pada dasarnya merupakan warisan mulia yang memberi spirit perbaikan dan perubahan kearah yang lebih nyata.

Formulasi ta’awun memang telah nyata ditunjukkan ormas Islam seperti Muhamamadiyah (1912), Nahdhatul Ulama (1926), Persis (1923), Hidayatullah (1973) dan kelompok-kelompok lainnya. Ormas-ormas tersebut telah mewujudnyatakan ta’awun dari konsep iman berbasis agama menjadi aksi sosial kemasyarakatan sebelum, saat dan pasca kemerdekaan dalam membangun Indonesia.

Kehadiran organiasi yang berbasis agama tersebut merupakan pondasi kokoh bagaimana Indonesia dibangun tanpa memperdulikan aspek kesukuan, agama dan etnisitas tertentu. Basis agama justru menjadi dasar berbangsa dan bernegara yang berpengaruh dan mewarnai segala lini kehidupan.

Ta’awun dari dari sayap organisasi kepemudaan (OKP) juga memiliki peran srategis. Artikulasi ta’awun memang terlihat sebagai kelompok penekan (pressure group) dalam mengawal kebijakan yang salah bidik. Sekaligus kelompok pengawas (controlling group) terhadap pemangku jabatan. Organisasi seperti IMM (1964), HMI (1947), GMNI (1954), PMKRI (1947), PMII (1960), GMKI (1950), KAMMI (1998) dan organisasi sejenis adalah bagian dari pengejawantahan dari ta’awun ditingkat mahasiswa dalam memberi respon isu-isu nasional yang mewakili jeritan tangis rakyat.

Sadar atau tidak, Indonesia sedang dicabik oleh perseteruan simbolik yang menghilangkan semangat kekeluargaan. Identitas masih menjadi barang laku untuk dipasarkan secara luas. Terlebih untuk kepentingan jelang laga pilpres 2019.  Akibatnya anak negeri mudah marah dan kalap seketika tanpa menggunakan akal sehat dalam menghadapi permasalahan.

Muhammadiyah dan NU sebagai dua arus utama Islam Indonesia sebenarnya telah memberi pelajaran berharga kepada kita bahwa ta’awun ditujukan untuk membangun Indonesia bukan untuk merusaknya. Kedua ormas tersebut telah menujukkan komitmen bahwa Indonesia harus dibesarkan dengan tindakan nyata bukan retorika belaka.

Seruan ta’awun kepada anak negeri tidak boleh parsial dalam domain  golongan semata. Seruan itu harus ditujukan secara universal kepada seluruh masyarakat Indonesia. Bahwa ada harapan baik yang sedang dituju jika bahu-membahu, saling rangkul, tolong-menolong, saling memberi yang dipupuk sebagai kesadaran.

Belajar dari sejarah. Ta’awun dalam bentuk saling memahami juga ditunjukkan pada saat anak bangsa saling memberi konsepsi terhadap dasar dan bentuk Negara diawal-awal Negara ini dibangun. Terjadi peristiwa komprimistis antara golongan religious dan golongan nasionalis yang menghasilkan konsensus ideology Pancasila.

Pada sisi sejarah yang lain, para pemuda telah melakukan ta’awun dalam bentuk bahu-membahu mengusir penjajah sebagai musuh bersama. Pertempuran Surabaya (1945), Pertempuran Lima Hari Semarang (1945), Pertempuran Ambarawa (1945), Bandung Lautan Api (1946), Serangan umum 1 Maret Yogyakarta (1949) dan pertempuran lainnya adalah beberapa contoh bagaimana semangat ta’awun dikobarkan.

Dari peristiwa tersebut, ta’awun tidak bisa dilepaskan dari rantai perjalanan sejarah Indonesia yang telah membumi dalam garis perjuangan para pemudanya. Rentetan peristiwa yang telah terjadi menunjukkan kepada kita bahwa perjuangan dalam membangun negeri berjalan atas dasar ta’awun dengan berbagai cara dengan satu visi kebangsaan yang sama.

Dalam konteks hari ini ta’awun merupakan formulasi apik yang memberi dampak secara langsung. Hal ini didukung oleh semangat gotong royong yang masih kental dijaga. Untuk menuju perbaikan negeri maka diperlukan kerjasama antar elemen yang ada. Dalam hal ini Muhammadiyah, NU, OKP dan Pemerintah serta masyarakat umum lainnya haruslah bersinergi secara apik dan berkelanjutan. Membangun Indonesia secara sadar dan sukarela dengan membawa bendera kepentingan keindonesiaan dan kebangsaaan.

Konsepsi ta’awun juga sangatlah relevan dalam membangun negeri. Mengingat kapitalisme dan neo-liberalisme sebagai dampak dari arus globalisasi mendominasi di segala lini kehidupan. Baik dalam urusan politik maupun ekonomi. Maka diperlukan ta’awun sebagai terjemahan dari adagium a faith in action (keimanan dalam tindakan). Yang merupakan basis keindonesiaan dalam membantu negara mewujudnyatakan cita-cita anak negeri.

*Oleh : Adi Munazir, S.H (Advokat Pancakusara Law Office)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment