Modernis.co, Kediri – Ulasan singkat ini hendak melakukan review singkat terhadap seorang filsuf Prancis bernama Bleise Pascal. Utamanya terkait pemikirannya tentang le pari (pertaruhan).
Pascal hidup sekitar tahun 1623-1662. Anak dari seorang ayah bernama Etiene Pascal. Karyanya yang terkenal adalah The Lettres Provinciales (Surat-surat ke Daerah). Risalah ini berisi pembelaan Pacal terhadap pemimpin gerakan jansenisme yang diadili karena pikiran-pkirannya yang dianggap berbahaya waktu itu.
Kemudian, The Pensees. Adalah salah satu karyanya yang berisi pembelaan terhadap agama kristen terhadap orang-orang yang tidak percaya akan keberadaan Allah (tuhan kristen). Dan, masih ada beberapa karyanya yang lain yang tidak perlu saya sebutkan di sini.
Dalam sebuah riwayat, awalnya Pascal bukanlah seorang yang tertarik dengan agama. Namun, pada usianya yang ke 23, dia menemukan titik balik setelah mengalami peristiwa religius. Sejak itu dia menjadi sangat inten terhadap kehidupan religius. Pikiranya banyak dicurahkan untuk persoalan religius.
Bahkan salah stau filsafatnya adalah tentang le coeur. Semacam intuisi atau dalam bahasan sederhanyan adalah hati. Dimana le coeur menurutnya punya kemampuan yang lebih tinggi dari pada rasio. Dengan le core manusia bisa menemukan tuhan yang tidak dapat ditemukan dengan rasio. Singkat kata, Pascal adalah seoranag filsuf yang religius.
Disini, saya akan ulas secara singkat dan sederhana pikiran Pacal tentang pertaruhan. Dalam filsafatnya tentang pertaruhan ini, apa yang dipertaruhkan? Yang dipertaruhkan adalah keberadaan Allah. Menurut Pascal, ada dan tidak adanya Allah adalah sebuah pertaruhan, jika bukan perjudian. Dalam hal ini, pertaruhan dilaukan antara orang-orang yang percaya akan adanya Allah ( orang-orang theis) dan orang-orang yang tidak percaya akan adanya Allah (atheis).
Mengapa perlu bertaruh? Pertama, kita tidak dapat membuktikan adanya Allah. Argumen tentang keberadaan Allah, apapun bentuknya, adalah argumen metafisika. Kebenarannya hanya ada dalam pikiran. Kita tidak bisa mengkonfirmasi kebenaran semacam itu pada level faktual. Begitu pula argumen tidak adanya Allah. Juga bergerak pada level metafisika. Keduanya sama-sama tidak bisa dikonfirmasi pada level faktual.
Kedua, kepercayaan jelas bergerak pada level metafisika. Dia bersifat intersubjektif. Ini hanya ada dalam pikiran. Pikiran tidak bisa diintervensi. Kita tidak bisa melarang seseorang untuk percaya akan Allah atau untuk tidak percaya akan adanya Allah.
Kedua hal di atas yang mebuat kita mesti bertaruh terkait ada dan tidak adanya Allah. Tidak menjadi persolaan di posisi mana anda berada. Anda adalah peserta dari pertaruhan ini. Jika nanti, ternyata Allah ada, maka orang-orang yang percaya akan adanya Allah, merekalah pemenangnya. Dan tentu, mereka akan hidup bahagia bersama Allah yang mereka yakini. Dan dalam hal ini orang-orang yang tidak percaya akan adaya Allah akan rugi.
Sebaliknya, jika ternyata Allah tidak ada, maka orang-orang yang tidak percaya akan adanya Allah itulah pemenangnya. Dan tentu mereka yang percaya akan rugi karena telah menyia-nyiakan hidup mereka untuk sesuatu yang ternyata tidaka ada. Ini adalah pertaruhan yang cukup adil bagi kedua belah pihak.
Kita mulai dari kepribadian seorang Pascal. Harus diakui bahwa dia adalah seorang filsuf yang religius. Bahkan dalam sebuah riwayat dia pernah mendaftar menjadi biarawan gereja. Dia juga seorang yang cerdas. Itu dapat dilihat dari ketertarikan Pascal kecil terhapa ilmu-ilmu eksakta. Kecerdasannya itu salah satu modalnya untuk menjadi filsuf kenamaan.
Dedikasi pascal terhadap kristen tidak dipungkiri. Itu yang membuat dia harus memutar otak untuk membangun argumen yang membela Allah, tuhan kristen. Argumen pertaruhan, sebetulnya adalah benteng yang sangat kuat untuk bertahan. Kita mestI akui bahwa secara faktual kita tidak dapat mebuktiakn keberadaan tuhan maupun ketiadaan tuhan. Argumen pertaruhana dalah argumen untuk mempertahankan keberadaan tuhan di dalam keyakinan, paling tidak terhadap serangan orang-orang yang tidak meyakini.
Bagi saya, pascal adalah orang yang gigih dalam mempertahankan keyakinan dengan rasio. Bukan mempertahankan rasio dengan keyakinan. Itu dua hal yang sangat berbeda. Yang pertama mesti dilakukan dengan kepala dingin. Sementara yang kedua bisa saja dilakukan dengan kepala meledak-ledak. Sederhananya, dia menjadikan filsafat sebagai benteng keyakinan.
Bagi seorang muslim, beranikah kita ikut bertaruh dalam papan catur yang disipkan Pacal? Kita dan Pascal tertaut rentang yang cukup jauh. Selama rentang itu, kita sudah mengalami berbagai macam pengalaman. Diskursus dunia sudah berkembang jauh sedemikian rupa.
Iklim pemikiran global sudah sangat berbeda dengan era dimana Pascal hidup. Sebut saja freedome of religoin mislanya, adalah diskursus yang sekarang sudah sangat mapan sebagai benteng atas kepercayaan. Hari-hari ini, kita berhak meyakini tuhan di bawah payung freedome of relogoin. Ini juga semacam benteng yang mirip dengan benteng Pascal.
Terlepas dari apa yang diyakini itu ada atau tidak, orang bebas-bebas saja menganut meyakininya. Memang, freedome of relogoin adalah diskurus yang lahir dari iklim liberalisme modern. Namun, bagi saya, Pacal juga adalah seorang perintis freedome of relogoin yang kita nikmati dewasa ini.