Multikulturalisme Muhammadiyah Kotagede

multikulturalisme muhammadiyah

Modernis.co, Malang – Indonesia merupakan negara yang paling kaya asetnya, keberagaman bahasa, budaya, suku bahkan alamnya. Keberagaman ini nyata adanya, dan tidak bisa di pungkiri  tidak ada negara seperti negara di Indonesia. ragam budaya, hingga organisasinya. Salah satu organisasi terbesar di indonesia adalah Muhammadiyah.

Adanya muhammadiyah memberi dampak yang banyak kepada bangsa Indonesia, muhammdiyah memiliki peran penting dalam berbagai hal Dari permasalahan rumah tangga hingga permasalahan politik pemerintahan, muhammadiyah memiliki peran penting dalam ruang lingkup tersebut.

Muhammadiyah dan kota gede

Kota gede merupakan salah satu tempat yang tidak bisa dipisahkan dalam sejarah  lahirnya Muhammadiyah, karena awal mula terbentuknya dan lahirnya Muhammadiyah dari kota kesultanan jogja ini, awal mula berdirinya Muhammadiyah mendapatkan perlawanan dan penolakan karena membawa hal yang baru dan bertentangan dengan budaya yang di anut masyarakat Islam di Kotagede, akan tetapi lambat laun masyarakat sadar dan dapat menerima Muhammadiyah dengan sendirinya, dari masyarakat inilah Muhammadiyah berkembang dan memunculkan faham faham  yang berbeda-beda terhadap muhammadiyah. Seperti:

Muhammadiyah puritan adalah kelompok radikal Muhammadiyah yang dalam prinsip-prinsip pemikiran keagamaannya sangat tekstualis. Sebagian besar Muhammadiyah jenis ini banyak terlibat dalam partai-partai Islam seperti PKS, PBB dan PPP. Selain partai, mereka juga ada yang terlihat dalam lingkaran ormas-ormas Islam radikal, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Pemuda Ka’bah, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), hingga Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Wajah kelompok ini terbilang sangat keras.

Tidak jarang mereka melancarkan aksi penolakan dan labelisasi atas kelompok lain yang tidak sejalan dengan mereka. Tak jarang kecaman terhadap kegiatan- kegiatan kemasyarakatan yang sudah mendarah-daging (islam abangan) yang tidak sesuai pemahaman mereka, seperti shalawatan, tahlilan, slametan, hingga upacara-upacara adat yang menandakan momen-momen tertentu dalam kalender Jawa. Mereka, disinyalir sebagai salah satu titik poin pasiva neraca Muhammadiyah di balik activa neracanya yang meliputi ranah pendidikan dan agenda purifikasinya yang tergolong sukses.

Adapun Muhammadiyah kiri adalah para aktivis Muhammadiyah yang sangat kritis melihat persoalan ketimpangan sosial. Mereka seringkali menjalankan peran oposisi terhadap status quo yang dalam sepak terjang mereka, mengkritik orang lain tanpa pandang bulu. Sasaran kritik mereka tidak jarang justru orang- orang Muhammadiyah sendiri, pada disaat yang bersamaan kebetulan menjadi birokrat.

Mereka juga tidak sepakat dengan para pengurus Muhammadiyah yang memberlakukan biaya sangat tinggi kepada sekolah-sekolah yang dikembangkan Muhammadiyah. Umumnya, Muhammadiyah jenis ini dapat dijumpai dalam berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang banyak bermunculan di Yogyakarta, tidak terkecuali di Kotagede.

Adapun Muhammadiyah liberal adalah mereka yang dikenal memiliki wacana keislaman yang bebas dan kontekstual. Kebanyakan, aktivis Muhammadiyah jenis ini adalah mereka yang pernah sekolah di Luar Negeri atau para kaum muda yang banyak belajar wacana- wacana filsafat. Tidak sedikit dari mereka yang terlibat dalam perkumpulan dengan fundrising asing dalam pembiayaan kegiatan mereka.

Secara kuantitatif, jumlah mereka sangat kecil dibandingkan, Muhammadiyah puritan. Sebab selalu  ada  stigmatisasi  dan penghakiman sepihak, seperti dituduh kafir, murtad, dan lain sebagainya. Meskipun memiliki pandangan liberal, tidak sedikit dari mereka yang memilih bungkam ketimbang mempublikasikan hasil- hasil pemikirannya yang berisiko mendapat kecaman dan labelisasi kafir dari aktivis Muhammadiyah puritan atau Muhammadiyah mayoritas.

Sementara Muhammadiyah moderat adalah kelompok tengah yang lebih akomodatif dan bijak atas perbedaan. Mereka tidak terjebak dalam tekstualisme dalam  memahami  keagamaan,  sebagaimana juga tidak terbuai dengan nalar liberalistik. Aktivis Muhammadiyah jenis ini bisa dijumpai, dalam konteks kepartaian, dalam Partai Amanat Nasional (PAN).

Kelompok ini sering menjadi pihak penengah ketika terjadi ketegangan dan konflik antara komponen Muhammadiyah yang lain. Secara konsisten mereka memanifestasikan apa yang menjadi semangat Kiai Ahmad Dahlan dalam membangun karakteristik warga Muhammadiyah.

Muhammadiyah abangan adalah para aktivis Muhammadiyah yang tidak terlalu memperhatikan aspek prosedural dan simbolistik. Bagi mereka, Muhammadiyah hanya sebatas pergaulan sosial, selebihnya lebih menampilkan perilaku masyarakat Jawa yang njawani.

Mereka, meskipun mengaku Muhammadiyah, tetap mentradisikan apa yang menjadi kebiasaan orang-orang Jawa, seperti melaksanakan upacara adat di bulan Sura dan di bulan Ruwah, menjalankan tradisi tahlilan, dan memercayai mitos-mitos yang umumnya dipegang dan diyakini masyarakat Jawa, semisal kepercayaan tentang hari baik.

Ragam itulah yang menghiasi khazanah Kotagede Yogyakarta. Maka bisa dikatan kota ini kota yang dinamis.Dari Multikularisme yang ada di kotagede maka dalam muhammadiyah memiliki tiga pandangan yang berbeda ada yang menilai positif, ada yang menilai negatif, ada juga yang berada di tengah-tengah.

Dalam hal ini ada beberapa pandangan orang-orang muhammadiyah terhadap multikulturalisme yaitu:

Yang pertama pandangan orang yang menganggap multikulturalime membawa nilai positif adalah kaum nasionalis dan liberal. Menurut kelompok ini dengan adanya multikulturalisme  bisa menjadi tolak ukur atau cerminan untuk menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Kelompok ini berpendapat bahwa multikulturalisme merupakan aset bangsa dan negara yang patut disyukuri, oleh karenanya tidak ada alasan untuk menolaknya.

“Hadirnya kelompok-kelompok lain di sekitar muhammadiyah justru dapat menjadi mitra kompetitif yang sangat baik dalam pengembangkan organisasi. Mereka bisa menjadi mitra dialog dan cermin untuk melihat capaian-capaian prestasi kita. Tanpa mereka justeru kita seperti pendekar dalam dunia persilatan. Seluruh kesaktian jadinya akan sia-sia.

Ada beberapa alasan mengapa multikulturalisme  dinilai positif yaitu:

Yang pertama, Multikulturalisme merupakan peninggalan sejarah yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat.

Yang kedua, Multikulturalisme bisa dijadikan ajang dialog antara satu golongan dengan golongan yang lain.

Yang ketiga, Multikulturalime sebagai bukti bahwa masyarakat berada dalam kompetisi kehidupan yang sehat.

Kedua, yaitu golongan yang menilai multikulturalisme ini merupakan unsur negatif dari hidup bermasyarkat. Golongan yang berpendapat seperti ini biasanya berasal dari kalangan puritan. Walaupun perbedaan-perbedaan ini merupakan peninggalan sejarah yang tidak bisa dihindari, namun golongan ini tidak bisa menilai positif keberagaman. Khususnya dalam hal agama dan kepercayaan.

            “Dalam Islam, kemurnian akidah merupakan persoalan utama yang bersifat wajib. Kalau akidahnya saja tidak murni alias penuh dengan TBC (tahayul, bid’ah, churafat), maka belum bisa disebut Muslim dalam arti yang sebenarnya. Agama non-Islam dan ajaran kejawen merupakan ajaran sesat, sebab dalam keyakinan mereka tidak bersih dari unsur TBC tersebut. Muhammadiyah dari dulu berusaha menyentuh mereka agar kembali kepada ajaran Islam yang benar seperti ajaran murni Nabi Muhammad SAW”

Bagi kelompok muhammadiyah yang menilai multikulturalisme suatu yang negatif, mereka tidak menyetujui bahwa perbedaann, dan keberagaman (akidah) ini merupakan aset besar bangsa. Melainkan lahan dakwah yang harus di tangani dan di berantas oleh Muhammadiyah.

Sebagaimana yang sering terdengar masyhur di telinga kita, Muhammadiyah berselogankan ‘Amal Ma’ruf Nahi Mungkar. Oleh sebab itu, menyikapi multikulturalisme ini  mereka menggap bahwa hal ini merupakan kesempatan untuk menegakkan syiar-syiar islam. berfaham keras terhadap kelompok tersebut (Multikulturalis).

            Ketiga, merupakan kelompok jalan tengah. Tidak seperti kelompok liberal ,  yang menggap positif multikulturalisme dalam bermasyarakat sampai mendewa dewakannya, ataupun tidak sekolot dan seekstrim seperti yang kedua, yang berpendapat bahwa multikulturalisme adalah aib, dan menilai negatif atas keberagaman yang di miliki bangsa ini.

Golongan jalan tengah atau reformis, yang berpikir maju dan bijak golongan ini menggap multikultural merupakan sebuah rahmat yang patut disyukuri, juga adakalanya multikultural menjadi sebuah petaka yang harus dihindari, tergantung posisi multikulturalisme tersebut.

Oleh: Almalia Rosyadah (Aktivis Forsifa dan Hizbul Wathan UMM)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment