Modernis.co, Malang – Beberapa waktu lalu sebelum dan setelah memperingati sebuh hari besar bagi umat Islam, yakni hari raya Idul Fitri 1444 H, dihebohkan dengan sebuah peristiwa pengancaman oleh seseorang di media sosial yang ditujukan kepada penganut atau warga sebuah organisasi kemasyarakatan besar di Indonesia yakni organisasi Muhammadiyah. Beliaulah Andi Pangerang (AP) Hasanudin, seorang peneliti di sebuah Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) yang menulis sebuah argumentasinya pada sebuah unggahan di media sosial, terkait dengan metode yang digunakan dalam penentuan 1 Syawal antara beberapa organisasi Islam di Indonesia dengan pemerintah, sehingga memunculkan sebuah perbedaan hasil yang didapatkan dalam penentuannya.
Sebagaima kita ketahui bahwa pemerintah menetapkan 1 Syawal 1444 H adalah jatuh pada hari sabtu tanggal 22 April 2023 yang juga organisasi Nahdlatul Ulama pun meyakini dan menetapkannya pada tanggal tersebut. Berbeda dengan Muhammadiyah maupun organisasi lain dalam memutuskan 1 Syawalnya yang jatuh pada hari Jumat tanggal 21 April 2023 atau sehari sebelum dengan yang ditentukan oleh pemerintah. Oleh karena sebuah perbedaan hasil dan pemutusan tersebut, menjadikan sedikit kegaduhan yang dirasa dibesar-besarkan lebih-lebih di media sosial. Padahal jika kita cermati dalam penentuan 1 Syawal maupun 1 Ramadhan yang berlalu pun, pemutusan yang dilakukan oleh Pemerintah kadang tidak sama atau berbeda.
Ancaman pembunuhan yang dilakukan oleh saudara AP Hasanudin dan ditujukan kepada warga Muhammadiyah adalah sebagaimana yang dituliskannya di media sosial Facebook, dengan nama AP Hasanuddin yang menanggapi komentar sebuah akun yang bernama Thomas Djamaluddin yang mengatakan seolah warga Muhammadiyah tidak mau patuh dengan keputusan pemerintah, ditambah lagi meminta menggunakan fasilitas guna pelaksaan sholat ied, adapun komentar yang dituliskan oleh saudara AP Hasanuddin adalah sebagaimana berikut
“Perlu saya HALALKAN GAK NIH DARAHNYA semua muhammadiyah? apalagi muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda Kalender Islam Global dari Gema Pembebasan? BANYAK BACOT EMANG!!! SINI SAYA BUNUH KALIAN SATU-SATU. SILAKAN LAPORKAN KOMEN SAYA DENGAN ANCAMAN PASAL PEMBUNUHAN!!! SAYA SIAP DIPENJARA. SAYA CAPEK LIHAT PERGADUHAN KALIAN!!!”. Demikianlah yang dituliskan oleh saudara AP Hasanuddin tanpa menambah maupun menguranginya.
Muhammadiyah sendiri dalam menyikapi kegaduhan tersebut, dianggap sangat bijak jika kita melihat langkah-langkah yang ditunjukkan baik sebagai organisasi maupun warga persayarikatan (pengikut). Langkah yang diambil oleh Muhammadiyah pun dengan melaporkan serta mengawal kasus tersebut, sehingga ada sebuah tindakan yang diambil oleh para penegak hukum sebagaimana hukum yang telah disepakati dan dilakukan.
Sikap Muhammadiyah dalam hal ini adalah sangat mencerminkan sebagai organisasi yang taat terhadap hukum atau mengindahkan sebuah hukum, dan sekaligus menjadi sebuah bukti bahwa Muhammadiyah adalah bernaung pada negara Indonesia. Demikian juga dengan sikap yang ditunjukkan oleh warga persyarikatan yang tidak merespon secara berlebihan, sehingga tidak ada sebuah sikap pengancaman balik bahkan sebuah kekerasan yang bisa saja dilakukan didasari oleh rasa ketersinggungan maupun kemarahan, yang secara tidak langsung mencerminkan sebagai warga persyarikatan dengan melakukan hal senada yang dilakukan oleh saudara AP Hasanuddin itu sendiri.
Mungkin sebuah sikap yang di implementasikan oleh warga atau masyarakat di pedesaan dalam momentum lebaran kali ini, terhadap sebuah adanya perbedaan bisa dijadikan sebuah referensi dalam menyikapi adanya sebuah perbedaan. Sebuah desa yang terletak di Kabupaten Lamongan Jawa Timur, kurang lebih 15 kilometer jaraknya dari laut pantai utara. Desa yang bernama Karangwungu Lor, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan adalah masyarakatnya bisa dikatakan sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi kedamaian dan kemanan dalam kehidupan bermasyarakat maupun beragama.
Sebuah desa yang masyarakatnya adalah penganut dua Organisasi Islam besar di Indonesia, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Dalam momentum lebaran beberapa waktu yang lalu (1444 H) masyarakat desa tersebut terpecah atau berbeda dalam pelaksanannya. Masyarakat satu (Muhammadiyah) melaksanakan lebaran pada hari Jumat sedangkan satunya (Nahdlatul Ulama) melaksanakannya pada hari Sabtu atau sehari setelahnya.
Perbedaan perayaan tersebut menjadikan perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat pada momentum lebaran kala itu. Bagaimana tidak, ketika warga Muhammadiyah sudah lebaran sedangkan warga NU masih melaksanakan puasa yang terakhir, dan tidak hanya cukup sampai disitu. Pelaksanaan malam takbiran pun secara otomatis berbeda, dan dalam melaksanakan tradisi salam-salaman (kluputan) pun akan mengalami perbedaan juga. Namun sebuah sikap yang di implementasikan masyarakat desa tersebut, tanpa adanya sebuah himbuan bahkan sebuah peringatan baik dari petinggi organisasi maupun pemerintahan desa.
Implementasi sikap menghargai sebuah perbedaan dimulai ketika warga Muhammadiyah yang tidak mengeraskan (speaker) malam takbiran dikarenakan warga NU masih melaksanakan sholat tarawih, berlanjut pagi hari ketika warga Muhammadiyah berbondong-bondong untuk melaksanakan sholat ied, yang secara otomatis menutup sebagian jalan desa yang digunakan untuk pelaksaan sholat ied dan tidak ada sikap penolakan atau apapun itu.
Bahkan terlihat beberapa warga NU setempat yang berjaga dan berkegiatan di luar rumah ketika jamaah Muhammadiyah meninggalkan rumah untuk melaksanakan sholat ied. Sampai pada setelah sholat ied, yang dilakukan warga Muhammadiyah adalah bergegas kembali ke rumah dan meniadakan tradisi kluputan pada hari itu juga kecuali kepada keluarga terdekat, untuk dialihkan keesokannya. Agar bisa merayakan secara bersama-sama dengan seluruh warga masyarakat dalam momentum lebaran kali ini.
Sebuah sikap dan nilai yang dijunjung tinggi oleh warga desa Karangwungu Lor yang di implementasikan pada momentum lebaran kali ini, merupakan sebuah perbedaan pelaksanaan dan perayaannya tidak menghalangi semangat keagamaan dan persatuan. Namun semangat dan toleransi dalam beragama yang ditunjukkan oleh masyarakat tersebut, sebagai refleksi sekaligus referensi kita semua dalam memaknai adanya sebuah perbedaan.
Sekaligus dengan sebuah sikap dan nilai yang ditunjukkan tersebut, merupakan sebuah modal yang sangat berharga dalam kehidupan berbengsa dan bernegara yang memiliki makna bahwa menyikapi sebuah perbedaan, tidak sepatutnya dengan menggunakan sebuah ancaman atau intimidasi dalam sebuah perlakuan.
Oleh: Bevy Yoga Kharisma, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang