Menyehatkan Nalar Kritis Kita, Pembelaan untuk Ali Muthohirin

ali muthohirin

Modernis.co, Surabaya – Waktu pemilu yang kian dekat, membuat tensi politik makin panas. Ucapan salah satu tokoh reformasi Amin Rais tentang people power menjadi salah satu pemicu kondisi kian memanas. Menurut saya ini kondisi yang wajar dan lumrah mengingat ruang politik adalah ruang pertarungan gagasan secara terbuka. Pertarungan terbuka adalah ciri bahwa demokrasi kita sehat.

Sebagai kader yang hidup dilingkungan kaderisasi Muhammadiyah saya merasa ada hal yang janggal dengan publik politik kita, terutama di Muhammadiyah. Wacana tentang people power yang disampaikan Ayahanda Amin Rais (AR) seharusnya bisa menjadi bahan pertarungan gagasan, bukan berubah menjadi ruang pembunuhan karakter bagi para pengkritiknya.

Ada beberapa catatan saya terkait hal tersebut, terutama terkait bagaimana salah satu ketua PP Pemuda Muhammadiyah Ali Muthohirin (AM) dihujat dan dicaci maki karena sikapnya yang berbeda dengan AR.

  1. Apa yang disampaikan AM tentang kritik dia tetang wacana people power harusnya dipandang sebagai pertarungan gagasan secara terbuka. Hal tersebut harus diposisikan dalam kontek memyehatkan nalar publik, lawan wacana dengan wacana, bukan dengan menyerang figur personal dengan kasar dan nir-adab.
  2. Terlepas bahwa AM adalah 01 dan AR adalah salah satu tokoh sentral 02, harusnya hal tersebut tidak dipersoalkan toh faktanya kedua kubu sedang memanfaatkan kebesaran Muhammadiyah untuk dukungan elektoral pilpres.
  3. Mari memposisikan Pak AR sebagai guru bangsa. Guru yang senantiasa menjadi mentor politik bagi generasi muda. Pak AM adalah tokoh politik, gagasan dan ucapannya harus diposisikan sebagai bagian dari strategi politik. Maka ketika ada generasi muda yang mencoba berbeda gagasan dengan beliau jangan dianggap sebagai anak yang tidak tahu adab dan sopan santun tetapi itu bagian dari mengapresiasi ruang publik demokrasi. Saya tidak bisa membayangkan, jika ruang publik kita mati dari dialektika/kritik karena alasan junior dilarang mengkritik senior.
  4. Publik harusnya melawan kritik dengan kritik yang berfokus pada inti wacana “people power” bukan sibuk menghujat dan mencaci maki personal.
  5. Mari mengembalikan ruang publik demokrasi dengan dialog/kritik yang keras dengan berfokus pada wacana bukan hinaan.
  6. Apa yang terjadi hari ini membuat saya mengingat sebuah pandangan Hanna Arendt. Dia mengatakan bahwa ketertarikan orang terhadap narasi yang melibatkan emosi tidak melulu berhubungan tinggi-rendahnya pendidikan. Ketidak berpikiran yang dimaksud tidak sama dengan kebodohan. “Ia cuma wujud dari absennya pemikiran kritis,” Hal tersebut relevan dengan kondisi tersebut. Semoga kita menjadi bagian dari manusia yang mampu menjaga nalar sehat kita.Nalar yang adil dan jauh dari kebencian.

Mari bersama-sama menyehatkan nalar publik dengan dialektika

*Oleh : Khoirul Anam (Ketua Korkom IMM Universitas Muhammadiyah Surabaya Periode 2016-2017)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment