Modernis.co, Malang – Jargon akal sehat tak kalah nyaring di banding jargon kembali pada Al Quran dan as Sunah. Sekian lama Purifikasi dibenam, saatnya akal-sehat (pembaharuan-tajidid) ditimbang kembali. Perubahan dimulai dari titik ini.
Diterimanya pikiran-pikiran dan pandangan kaum Sofiis semoga menjadi pintu masuk atau akad baik bagi filsafat dan pikiran terbuka di jamiyah Muhammadiyah yang selama ini ditabukan, demikian kata sebagian cendekiawan muda Muhammadiyah setengah bertepuk sambil bersiul menyambut kegembiraan.
Dua hal yang ‘diharamkan’ Muhammadiyah semenjak berdirinya Majelis Tarjih: Pertama Filsafat dan Kedua Thariqat atau Tasawuf. Filsafat sudah mendapat penghalalan. Tasawuf menunggu giliran. Semula, Ahli filsafat disebut Zindiq atau liberal yang menggunakan logika atau akal sehat untuk menafsir agama. Ahli tasawuf disebut ahli bid’ah karena banyak melakukan mal-praktik dalam beribadah berupa paham sinkretis, kultus dan amalan wirid yang ditengarai banyak menyimpang dari sunah sahihah.
Semangat purifikasi tidak memberi ruang bagi failasuf dan ahli suluk di Muhammadiyah, pemikir dan pelakunya bahkan diusir dan di jauhkan, tanpa jaminan pengampunan atau garansi boleh kembali bila bertobat.
Muhammadiyah juga dikenal tak ramah dengan ahli kalam bahkan menyebut kaum ahlu ra’yu sebagai perusak aqidah, yang harus dijauhkan. Manhaj Kalam Muhammadiyah lebih dekat dengan Muhammad bin Abdul Wahhab tak pernah bersinggungan dengan Al Maturidy atau Al Asya’ari, dua nama yang sangat populair dikalangan Nahdhiyin sebagai arbitrasi atas konflik dan seteru tajam Qadari (Mu’tazili) dan Jabari (Jahamy) yang melahirkan konfergensi atau bentuk kompromi: ahlu sunah wal jamaah.
Pendulum Muhammadiyah mulai bergeser. Mungkin pula jenuh. Atau bisa juga bangun dari jumud yang dibungkus tajdid. Tapi itu semua tak penting. Ke-bersedia-an jamiyah Muhammadiyah berinteraksi dan membenarkan pandangan-pandangan kaum sofis-semi atheis adalah kemajuan yang menggembirakan meski masih harus di klarifikasi, apakah berdasar semangat inklusifitas atau alasan politis yang hanya ingin mendapat pembenaran, memang masih perlu di-validasi. Tapi lumayan setidaknya jamiyah Muhammadiyah mulai ramah dengan filsafat.
Namun secara generik dapat diterangkan bahwa ada kerinduan dan kegelisahan warga Persyarikatan yang rapat disimpan. Terbiasa rutin, stag dan tidak lazim berbeda pendapat, meski berpayung modernis. Dan katub itu terbuka dengan hadir nya kaum sofis. Meski dengan alasan yang menurut saya sangat politis. Katub itu terbuka bermula dari kampus yang dibenarkan ramai.
Berharap tumbuh kesadaran inklusif sebagai ciri organisasi modern. Kehadiran kaum sofis semoga bukan sekedar kebutuhan politis terbarukan, semacam pembenaran atas sikap oposisi yang sedang diperankan. Meski harus di uji seberapa betah warga persyarikatan mampu bertahan dan berinteraksi dengan kaum sofis-semi atheis. Wallahu taala a’lm
Oleh : Nurbani Yusuf (Pegiat Komunitas Padhang Mahsyar Malang/Kiayi Muhammadiyah Malang)