Kesetaraan Gender dalam Kepemimpinan

gender dalam kepemimpinan

Modernis.co, Mataram – Perkembangan pemikiran bagi kaum perempuan dari tahun ketahun mengalami perkembangan yang signifikan dengan zaman sekarang. Hal ini terlihat semakin banyaknya kaum perempuan yang ikut dalam kanca politik maupun organisasi yang dapat keterwakilan bagi kaum perempuan di berbagai jenis kegiatan di tengah-tengah masyarakat.

Dalam kaitan ini telah banyak wanita yang berhasil meraih jabatan- mulai dari yang rendah sampai posisi puncak dalam suatu lembaga atau negara. Bahkan sejarah telah mencatat beberapa wanita yang jaya di panggung politik dan menduduki jabatan menteri, wakil presiden hingga presiden.

Bahkan sudah banyak perempuan menjadi ketua pengadilan, baik tingkat kabupaten maupun provinsi bahkan pusat. Kenyataan ini, telah muncul polemik di kalangan umat Islam, khususnya para ulama, dan organisasi islam lainnya yang berkaitan dengan pandangan Islam terhadap keberadaan wanita dalam jabatan-jabatan strategis di sektor publik itu.

Polemik ini berawal dari pandangan tentang perbedaan struktur biologis antara laki-laki dan wanita yang berimplikasi ada peran yang diembannya dalam masyarakat. Dari struktur anatomi biologis, wanita dianggap memiliki beberapa kelemahan yang lebih banyak dibandingkan dengan kaum laki- laki normal.

Oleh karena itu, anatomi biologi laki-laki sangat memungkinkan menjalankan sejumlah peran utama dalam masyarakat (sektor publik) karena dianggap lebih potensial, lebih kuat dan lebih produktif. Organ reproduksi dinilai membatasi ruang gerak wanita, karena secara kodrati mereka akan hamil, melahirkan dan menyusui.

Sedangkan laki-laki secara kodrati tidak memiliki fungsi reproduksi tersebut. Perbedaan itu melahirkan pemisahan fungsi dan peran serta tanggung jawab antara laki-laki dengan wanita. Dalam hal ini laki-laki dipandang cocok berperan di sektor publik sedangkan wanita dipandang cocok berperan di sektor kerumahtanggaan.

Peran Perempuan dalam Analisis Gender

Ada dua perbedaan kehidupan sosial yang nyata bagi laki-laki dan perempuan, lingkungan masyarakat sebagai tempat pertama bagi laki-laki, dan perempuanlah yang akrab dengan lingkungan rumah tangga hubungan diantara keduanya adalah tidak langsung.

Penafsiran yang diberikan kepada biologis perempuan menyebabkan kerugian mereka pada semua tingkat masyarakat bukan keadaan biologis mereka sendiri. Perempuan di manapun umumnya kurang dikenal dan kurang berwenang dalam adat. Penafsiran inilah yang mengikat mereka untuk hanya mengasuh anak-anak dan tetap dalam lingkungan rumah tangga.

Di Indonesia, pencantuman peranan perempuan dalam pembangunan bangsa mulai pada GBHN 1978 sampai sekarang, yang mengamanatkan bahwa perempuan mempunyai hak kewajiban serta kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

Namun sampai saat ini partisipasi perempuan belum berjalan sesuai dengan potensi yang dimilikinya, bahkan cenderung menempati posisi terbelakang. Adapun yang menyebabkan perempuan kurang berpartisipasi dalam arena politik, yaitu :

1) Secara kultural dan diperkuat oleh interpretasi agama perempuan berada di posisi subordinat terhadap laki-laki, masih dianggap sebagai makhluk yang berada di bawah kepemimpinan laki-laki, sehingga dalam pengambilan keputusan, berkaitan dengan kehidupan sosial, politik ekonomi maupun kehidupan pribadi itu sendiri umumnya perempuan tidak memiliki hak suara apalagi hak untuk mengambil dan menjalankan keputusan;

2) Akses perempuan terhadap ekonomi dan informasi sangat kecil. Ini mengakibatkan kesulitan bagi perempuan untuk meningkatkan posisi tawarnya dalam setiap rumusan kebijakan dan pengambilan keputusan;

3) Sejak dihancurkannya gerakan perempuan di masa orde baru, kemudian segera disusul dengan doktrin pencitraan perempuan yang dipaksakan.

4) Rasa percaya diri yang kurang. Dengan ketat melalui berbagai jalur legislatif, politik maupun budaya, perkembangan gerakan perempuan diarahkan menuju satu titik yaitu domestikasi perempuan, dengan meletakkan perempuan di dalam rumah tangga, sebagai istri pendamping suami dan ibu dari anak-anaknya. Kebijakan ini menjadikan perempuan bersikap apolitis atau rendah kesadaran politiknya, dalam makalah, (Dian, 2002 :25).

Dalam hal ini, laki-laki akan lebih baik untuk mampu menjaga jarak dari lingkungan kehidupan rumah tangga sebagai akibatnya mereka tidak memerlukan komitmen pribadi terhadap orang lain sebagaimana yang diperlukan oleh ibu-ibu atau perempuan.

Laki-laki lebih dihubungkan dengan wewenang abstrak dan dengan kehidupan politik dalam masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Keterpisahan laki-laki dari lingkungan rumah tangga membuat mereka lebih cocok dalam keterlibatan ritual keagamaan.

Dengan demikian ini akan menyebabkan keterlibatan laki-laki dalam kehidupan politik dan keagamaan mereka mendapat kekuatan melebihi dari lingkungan rumah tangga yang difokuskan pada kehidupan perempuan.

Perempuan memiliki kekuatan yang lebih sedikit dibanding laki-laki dalam masyarakat. Ketidakseimbangan antara jenis kelamin adalah lebih besar dalam masyarakat dibanding faktor lain, dan perempuan bisa menjadi lebih dekat persamaan jika laki-laki lebih terlibat dalam kehidupan rumah tangga.

Menurut (Tjokroaminoto, 1996 : 59) penyebab rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan dan cenderung menempati posisi terbelakang adalah sebagai berikut :

1) Adanya dikotomi maskulin/feminin peranan manusia sebagai akibat dari determinasi biologis seringkali mengakibatkan proses marginalisasi perempuan;

2) Adanya dikotomi peran publik/peran domestik yang berakar dari sindroma bahwa “peran perempuan adalah di rumah” pada gilirannya melestarikan pembagian antara fungsi produktif dan fungsi reproduktif antara laki-laki dan perempuan;

3) Adanya konsep “beban kerja ganda” yang melestarikan wawasan bahwa tugas perempuan terutama adalah di rumah sebagai ibu rumah tangga, cenderung mengalami proses aktualisasi potensi perempuan secara utuh;

4) Adanya sindroma subordinasi dan peran marginal perempuan telah melestarikan wawasan bahwa peran dan fungsi perempuan dalam masyarakat adalah bersifat sekunder.

Masih kuatnya pandangan-pandangan bahwa perempuan lebih cocok dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dibanding laki-laki, atau pandangan bahwa perempuan lebih menggunakan perasaannya daripada rasional, sehingga perempuan tidak cocok dengan bidang-bidang pekerjaan yang keras dan rasional termasuk bidang politik yang dianggap hanya cocok dengan laki-laki. Ini merupakan gambaran mengenai adanya diskriminasi klasik terhadap perempuan (Rasdiayanah, 1999 : 41).

Akar struktural historis kedudukan dan status perempuan tersebut telah mendapat perhatian serius baik secara global melalui Kongres Perempuan Sedunia maupun di tingkat Nasional seperti tercantum dalam GBHN 1993 yaitu bahwa program peningkatan kedudukan dan peran perempuan dalam PJP II diarahkan pada sasaran umum yaitu meningkatkan kualitas perempuan dan terciptanya iklim sosial budaya yang mendukung bagi perempuan untuk mengembangkan diri dan meningkatkan peranannya dalam berbagai dimensi kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Peningkatan peran dan kedudukan perempuan sasarannya ialah untuk meningkatkan taraf pendidikan perempuan, meningkatkan kualitas sumber daya perempuan dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, meningkatkan derajat kesehatan perempuan dan keluarganya, meningkatkan peran ganda perempuan dalam pembinaan keluarga dan peran sertanya yang aktif di masyarakat secara serasi dan seimbang dalam mempertinggi harkat dan martabat perempuan.

Kebijaksanaan dan strategi yang diterapkan dalam pelaksanaan pembangunan tidak selalu memiliki dampak, manfaat dan akibat yang sama terhadap laki-laki dan perempuan; pembangunan tidak selamanya bersifat gender netral. Pada umumnya laki-laki dan perempuan memiliki peran yang berbeda dalam masyarakat; laki-laki dan perempuan memiliki akses dan kontrol yang tidak sama terhadap berbagai sumber daya dan akibat dari berbagai kebijaksanaan dan strategi pembangunan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap perempuan (Pandu, 1996 : 12).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peran dan fungsi perempuan adalah peran kodrati (reproduktif, peran ekonomi (produktif dan peran sosial (kemasyarakatan).

Marginalisasi Perempuan dalam Kepemimpinan

Perempuan ketika di arahkan pada konteks kepemimpinan mengalami diskursus yang panjang. Selama ini perempuan dianggap  hanya mengurus persoalan dapur dan biologis jadi paradigma ini menunjukan bahwa perempuan itu lemah dalam konteks kepemimpinan.

Ketika perempuan diarahkan pada konteks politik, ekonomi dan atau kekuasaan perempuan menjadi pilihan terburuk, prospektif seperti ini muncul karena perempuan lebih mengedepan hati dan nafsunya ketimbang rasionya. Sehingga dalam kepemimpinan dianggap lemah.

Peran Perempuan dalam Konteks Sosial

Seiring berkembangnya zaman dahulu perempuan tidak boleh terlalu aktif dalam konteks sosial kemasyarakat sementara dalam Islam itu sendiri perempuan dilarang keluar rumah bila tidak dengan mahram. Tapi dalam konteks demokrasi pada era milenial ini justru perempuan dan laki-laki diberikan ruang untuk mengekspresikan dirinya baik dalam bidang sosial, politik dan ekonomi.

Hanya saja seperti yang disampaikan oleh penulis di atas tadi dalam perspektif masyarakat primitif menganggap perempuan itu lebih kepada urusan biologis, rumah tangga, sementara laki-laki lah yang punya perang yang banyak.

Paradigma yang di bangun di tataran masyarakat awam itu bahwa perempuan dalam konteks pemimpin sangat bertentang dengan fikiran-fikiran mereka. Hal yang paling fundamental adalah karena perempuan ini dianggap lemah, ketidaksetaraan antara laki dan perempuan dimulai pandangan dan kekhawatiran orang dalam rangka untuk menjadi pimpinan.

Jadi berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa peran perempuan dari berbagai aspek, baik itu dalam reproduksi, ekonomi, sosial, politik dan kepemimpinan Islam bahwa selama ini perempuan ditempatkan hanya sebagai anggota dalam hal kepengurusan, hal ini diungkapkan oleh berbagai informan bahwa perempuan yang aktif diorganisasi kemasyarakatan serta tidak memiliki ciri-ciri pemberani seperti halnya dengan laki-laki.

Alasan inilah sehingga program kerja yang diusulkan perempuan tidak begitu banyak untuk diterima dan implementasikan ke dunia politik yang ada.

Sedangkan Posisi perempuan dalam partai politik rata-rata bersifat stereotip, hal ini dibuktikan dari hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan perempuan dalam partai politik adalah: pengaruh faktor pendidikan sangat besar dan sangat menentukan keaktifan kaum perempuan dalam keterlibatannya sebagai pengurus partai politik, karena semua tugas-tugas yang diembankan kepada perempuan dapat dilaksanakan berkat adanya pendidikan yang dimiliki oleh perempuan tersebut. Ini berarti bahwa ada relevansi antara tugas dengan pendidikan.

Perempuan yang memiliki keahlian atau kompetensi memimpin negara, boleh menjadi kepala negara dalam konteks masyarakat modern karena sistem pemerintahan modern tidak sama dengan sistem monarki yang berlaku di masa klasik dimana kepala negara harus mengendalikan semua urusan kenegaraan.

Oleh: Tri Handayani (Aktivis IMMawati Nusa Tenggara Barat)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment