Modernis.co,Malang – Reformasi telah berhasil mencabut stigma kesakralan UUD 1945. Rakyat yang sepakat dan bergerak pada dasarnya lebih kuat atau bahkan merupakan esensi dari konstitusi itu sendiri. Ketika penerapan atau penafsiran dari konstitusi suatu Negara sudah terbukti membuat sebagian perangkat negara abuse of power dan menindas hak rakyat, maka amandemen konstitusi adalah suatu konsekuensi logis.
Konstitusi pasca reformasi menawarkan suatu konsep yang sarat akan impian prinsip check and balances yang diharapkan hadir dan diterapkan dalam lingkungan bernegara, yang mana tujuan akhirnya adalah keadilan dan kesejahteraan segenap rakyat Indonesia. Pada kenyataannya, hingga dua dekade pasca reformasi, budaya korupsi yang bahkan disertai kolusi dan nepotisme terus saja silih berganti memenuhi ruang publik.
Pejabat teras negara juga tidak luput dari kasus-kasus penangkapan terkait penyalahgunaan kuasa yang ujungnya merugikan kekayaan rakyat yang dikelola oleh negara. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berdasar pada perubahan ketiga UUD 1945, Bab VIII A BPK Pasal 23E, adalah lembaga yang bebas dan mandiri tersebut berfungsi untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Secara rinci dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 disebutkan, BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lain, Bank Indonesia (BI), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum (BLU), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
“Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu,” yang tertulis dalam beleid. Dalam prosesnya, hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai kewenangannya. Kemudian, hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan atau badan sesuai dengan UU.
Tidak seperti KPK yang hanya diperbolehkan berada di ibu kota negara, BPK adalah lembaga yang memiliki perwakilan di setiap provinsi. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana atau pelanggaran, BPK melaporkan hal itu kepada instansi terkait sesuai dengan ketentuan perundang-undangan paling lama satu bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut.
Laporan BPK dapat dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan. Selain itu, menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun dan menyajikan laporan tersebut.
BPK berwenang meminta keterangan atau dokumen dari setiap orang, unit organisasi yang mengelola keuangan negara. Tidak hanya itu, BPK juga dapat melakukan pemeriksaan pada tempat penyimpanan uang dan barang milik negara. Seluruh kewenangan tersebut adalah salah salah satu titik tumpu dalam penegakan hukum, terutama terkait kasus korupsi.
Secara teoritis peran BPK sangat vital dan strategis, terutama jika membahas aspek pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun dalam implementasinya, peluang untuk menjadi ladang abuse of power juga sangat mengkhawatirkan. Jerat dakwa korupsi yang menimpa beberapa pejabat BPK sepuluh tahun terakhir, menimbulkan berbagai spekulasi publik.
Sebut saja kasus Ali Sadli dan Rochmadi Saptogiri sebagai auditor BPK pada tahun 2016, Auditor madya BPK RI Sigit Yugoharto yang terbukti menerima suap berbentuk motor Harley Davidson seharga Rp. 115 juta serta fasilitas hiburan malam yang divonis hukumannya pada tahun 2019, lalu kasus Rizal Djalil pada tahun 2019, dan beberapa kasus lainnya. Febri Diansyah selaku Juru Bicara KPK berharap kasus Rizal jadi yang terakhir.
Dia juga ingin BPK melakukan suatu tindakan pencegahan agar tidak terjadi hal seperti ini kedepannya. Ini jelas pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan anggota BPK periode 2019-2024 yang baru saja dipilih oleh DPR RI. Dia juga menyatakan bahwasannya daftar panjang kasus korupsi yang melibatkan auditor negara terjadi pada praktik penyalahgunaan wewenang atau posisi terkait kewenangan melakukan audit dan memberikan pendapat.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas menyatakan bahwa BKP masih minim pengawasan. BPK sebenarnya sudah punya instrumen pengawasan internal, hanya saja pelaksanaannya kerap bermasalah. Satu contoh kecil, ICW beberapa kali mengadukan etik anggota BPK ke internal BPK, tapi tidak jelas bagaimana penyelesaiannya. Empat tahun lalu, ICW melaporkan Kepala BPK Perwakilan DKI Jakarta Efdinal atas pelanggaran etik.
Tahun 2017, ICW mendapat informasi Efdinal bersalah, tapi putusannya tidak disampaikan ke ICW. Firdaus menyatakan bahwa meskipun ada kode etik namun belum ada mekanisme yang jelas terkait punishment-nya. Masalah bertambah ketika faktanya anggota Majelis Kehormatan Kode Etik (MKKE) BPK diisi oleh anggota dari BPK itu sendiri.
MKKE 2017-2023 misalnya, selain diisi orang luar seperti Zaki Baridwan dan I Gede Pantja Astawa, juga terdiri dari Anggota II BPK Agus Joko dan Anggota V BPK Isma Yatun. Firdaus mempertanyakan bagaimana jika pelanggarannya di level pimpinan.
Soal suap Proyek SPAM dia juga menilai rencana pemeriksaan oleh BPK tidak jelas prosedurnya. Dari mulai jenis pemeriksaan, ruang lingkup pemeriksaan, dan lokasi penugasan. Ini rentan membikin pemegang keputusan di sana menyelewengkan kekuasaan.
“Tidak hanya yang pusat, tapi juga anggota-anggota BPK di daerah yang notabene lebih sulit [diawasi],” kata Firdaus. Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara meminta orang-orang tidak menggeneralisasi kasus.
Menurutnya penyalahgunaan kekuasaan adalah “tindakan oknum, bukan BPK secara lembaga.” “Keputusan-keputusan enggak dibawa ke sidang badan, prosesnya di masing-masing anggota,” kata dia lewat keterangan tertulis.
Terlepas dari persoalan nilai strategis dan potensi penyelewengan BPK. Sejak November 2016, BPK telah membentuk satuan kerja Auditorat Utama Investigasi (AUI). Dibentuknya AUI bertujuan untuk semakin mengoptimalkan pelaksanaan pemeriksaan investigatif, perhitungan kerugian negara dan pemberian keterangan ahli, termasuk juga permintaan pemeriksaan dan perhitungan yang disampaikan oleh instansi penegak hukum.
Dalam pelaksanaan tugas, AUI tidak dapat dipisahkan dari keterkaitannya dengan instansi penegak hukum. AUI dapat berkoordinasi dengan Kejaksaan, Kepolisian dan KPK, terkait dengan pemeriksaan atas kasus tindak pidana korupsi.
Hasil pemeriksaan investigatif, perhitungan kerugian negara dan pemberian keterangan ahli yang dilakukan oleh AUI, dapat dimanfaatkan oleh instansi penegak hukum dalam pemrosesan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
Dengan demikian, keberadaan BPK sebagai auditor eksternal pemerintah yang melaksanakan fungsi pemeriksaan terhadap pengelolaan dan penggunaan keuangan negara, dapat dimanfaatkan oleh para penyelenggara negara untuk melakukan upaya pencegahan terhadap tindak pidana korupsi.
Hal ini tentu menunjukkan bahwa kedepannya, kinerja BPK akan lebih transparan karena tidak eksklusif dengan melibatkankan lembaga atau instansi lain dalam melaksanakan tugasnya. Keterlibatan itu tentu untuk mengimplementasikan prinsip check and balances.
Namun, sistem dengan teori yang baik memang tidak selalu mewujudkan sesuatu yang diharapkan jika penyakit birokrasi sudah terlewat kronis atau menjangkiti mayoritas lembaga. Oleh karena itu kita harus menjadi rakyat yang cerdas dan peduli untuk mengawal jalannya pemerintahan secara konstitusional.
Oleh : Jundullah (Mahasiswa HKI UMM)