Modernis.co, Malang – Muhammadiyah yang dipelopori oleh Ahmad Dahlan sejak awal sudah memposisikan diri tidak hanya berhenti pada dunia pemikiran saja tanpa dibarengi dengan prakteknya.
Hal itu bisa terlihat bagaimana ketika Ahmad Dahlan ketika mengajarkan kepada muridnya surat Al-Maun. Ia tidak langsung menulis buku tafsir sebagai buku panduannya. Namun yang ia lakukan dengan mengambil baju-baju di rumahnya serta langsung membagikannya kepada kaum Mustadh’afin.
Bahkan, ia tidak mau beranjak dari surat Al-Maun sebelum para muridnya mempraktekkannya. Apa yang dilakukan oleh Dahlan adalah sebagai bentuk tafsir konkrit dari apa yang ia pahami dari Al-Qur’an yang biasa disebut oleh Munir Mulkhan sebagai tafsir pragmatis.
Dahlan yang dijuluki sebagai Man of Action oleh Prof. Syafiq mengharapkan nantinya bahwa Muhammadiyah akan selalu menghadirkan nilai-nilai moralitas yang terkandung pada Al-Qur’an dalam kehidupan kita sehari-hari. Melalui spirit kenabian Dahlan ingin menghadirkan Islam sebagai Islam rahmatan lil ‘alamin.
Ahmad Dahlan sejak awal menjadikan Muhammadiyah sebagai Persyarikatan. Dengan tujuan agar nantinya Muhammadiyah dapat bergerak dari berbagai sektor kehidupan; baik dalam bidang Ekonomi, Sosial, Budaya, maupun politik.
Dalam dimensi gerakan sosial-kemasyarakatan tidak ada yang meragukan betapa besarnya kontribusi Muhammadiyah untuk bangsa ini. Namun, dalam dimensi politik Muhammadiyah agak kurang kalau memang tidak mau dibilang “tidak” memiliki peran dalam kancah perpolitikan nasional.
Muhammadiyah pada hari ini memang secara kelembagaan tidak memiliki hubungan khusus dengan partai politik manapun, namun kalau kita tengok sejarah pada tahun 1945 Muhammadiyah terasa amat dekat dengan partai politik.
Belajar dari Rasulullah
Piagam Madinah, Sebagaimana sudah diketahui, Islam tidak dapat dipisahkan dari politik. Batas antara ajaran Islam dengan persoalan politik sangat tipis. Sebab ajaran Islam mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk persoalan politik dan masalah ketatanegaraan.
Peristiwa hijrah Nabi ke Yatsrib merupakan permulaan berdirinya pranata sosial politik dalam sejarah perkembangan Islam. Kedudukan Nabi di Yatsrib bukan saja sebagai pemimpin agama, tetapi juga kepala negara dan pemimpin pemerintahan. Kota Yatsrib dihuni oleh masyarakat yang multi etnis dengan keyakinan agama yang beragam. Namun, Nabi dapat mengatasi masalah tersebut secara damai dengan cara yang amat bijaksana & jenius.
Untuk mengatasi adanya perbedaan di antara kaum muslimin, maka Nabi mempersaudarakan di antara mereka layaknya saudara kandungan yang saling pusaka mempusakai. Jika salah satu dari kedua bersaudara yang baru dipersatukan tersebut wafat, maka saudara angkatnya berhak atas seperenam harta warisannya. Perlu diketahui hukum waris sebagaimana kita kenal sekarang belum berlaku saat itu.
Harusnya Muhammadiyah mampu meniru apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dimana Rasulullah menjadi oase di tengah padang pasir. Muhammad tidak segan-segan turun gunung dalam menyelesaikan gesekan politik antar suku. Seperti apa yang terjadi ketika Muhammad ketika hijrah ke Yatsrib.
Dengan kelihaiannya Muhammad mampu menjadi pemimpin di antara suku-suku di Madinah, karena ia mampu merangkul kepala-kepala suku yang ada di Madinah dengan menggunakan prinsip dakwah, yaitu saling merangkul.
Untuk menjaga kestabilan kondisi penduduk Madinah Muhammad membentuk Konsensus antara suku-suku yang ada di sana, yang hari ini dikenal dengan Piagam Madinah. Piagam Madinah ini adalah sebuah konsensus modern yang telah dirumuskan pada eranya. Hasil dari konstelasi Politik yang terjadi yang berbasis etika dalam politik.
Hari ini bangsa sangat membutuhkan peran dari Muhammadiyah dari sektor politik. Muhammadiyah sudah saatnya terjun dalam ranah politik praktis. Walaupun Secara keorganisasian Muhammadiyah tidak menjadi partai politik, namun setidaknya ketika ada kader yang berbakat untuk terjun dalam ranah politik mau tidak mau harus didukung secara keorganisasian.
Karena dalam membangun politik yang berperadaban tidak cukup hanya dengan merumuskan konsep- konsep semata. Namun harus terjun secarang langsung dalam politik praktis. Hal ini bukannya tanpa alasan, karena Muhammadiyah amat mengetahui terkait apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Muhammadiyah sudah lebih dari 1 Abad telah fokus dalam gerakan sosial kemasyarakatan.
Reorientasi Gerakan Amar Ma’ruf dalam kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Banyak orang berbicara bahwa dakwah amar makruf nahi mungkar yang telah menjadi “khittah” Muhammadiyah sejak awal, dimaksudkan untuk membatasi gerakan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah dan sosial semata.
Padahal, apabila kita mau merenungkan, Rasulullah pernah menyatakan bahwa apabila engkau melihat suatu kemungkaran, maka hadapilah dengan tanganmu, dan apabila engkau tidak bisa, maka hadapilah dengan lidahmu, dan apabila tidak bisa, maka hadapilah dengan nuranimu.. Akan tetapi menghadapi kemungkaran dengan nurani adalah selemah-lemahnya Iman.
Sepanjang masa orde baru, jargon amar ma’ruf nahi munkar tersebut oleh para petinggi Muhammadiyah sering hanya dibatasi pada level dakwah dan pendidikan. Untuk ini terdapat beberapa alasan.
Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan Dakwah dan Pendidikan masih pada tahapan ekspansi secara kuantitas, sehingga belum menyentuh aspek politik. Kedua, Iklim politik masa orba yang kurang kondusif untuk mengemukakan gagasan-gagasan langsung yang berkaitan dengan keputusan-keputusan politik apalagi misalnya tentang isu suksesi.
Ketiga, terkait dengan yang kedua, partai politik tidak sepenuhnya dapat merepresentasikan gagasan rakyat. Pada masa pasca reformasi sekarang ini, tidak ada salahnya, bahkan harus, bagi Muhammadiyah untuk melakukan ijtihad politik. Dengan mempertegas komitmen amar ma’ruf nahi munkar pada level yang lebih tinggi, yakni kepemimpinan nasional. Mengapa?
Muhammadiyah memiliki modal yang sangat baik ketika mendelegasikan kadernya yang memiliki potensi untuk terjun ke ranah politik praktis, yang tidak dimiliki oleh partai politik manapun; yakni value, Muhammadiyah sejak didirikan sampai detik ini memiliki semangat atau tackline yakni Islam Berkemajuan atau Indonesia Berkemajuan, yang bisa menjadi fatsoen politik Muhammadiyah.
Sehingga ketika Muhammadiyah mulai menggarap secara serius berjuang dalam dimensi politik, memungkinkan merubah tradisi politik nasional yang menghalalkan segala cara untuk mencapai kepentingannya dengan melupakan janji-janjinya.
Karena Muhammadiyah menganggap politik itu sebagai panggilan hati nurani manusia. Memang sudah saatnya Muhammadiyah untuk turun dalam kancah politik nasional untuk mengembalikan ruh kehidupan bangsa kita.
Oleh: Zaki ma’ruf (Aktivis Muhammadiyah)