Sikap Netralitas Muhammadiyah dalam Kancah Perpolitikan

Modernis.co, Bima – Perdebatan dan konsep korelasi Muhammadiyah dengan partisipasi politiknya, sebenarnya sudah menjadi perdebatan klasik juga diperbincangkan oleh banyak orang baik oleh anggota Muhammadiyah sendiri maupun orang-orang diluar itu.

Mengenai hal ini tentu saja Muhammadiyah ingin menunjukan idealismenya terhadap sikap politik guna menghindari segala bentuk konfrontatif maupun perpecahan dalam tubuh Muhammadiyah karena alasan politik.

Sikap netralitas politik Muhammadiyah dalam perjalananya selalu terjaga dengan baik serta diwujudkan dalam kebijakan organisasi yang mutlak. Akan tetapi, hal ini mengharuskan Muhammadiyah menghadapi berbagai tuntutan-tuntutan ijtihad politik baru dari kalangan elite nya.

Namun sebenarnya, diksi netralitas digunakan untuk menjelaskan  kepribadianya bahwa organisasi Muhammadiyah mampu membendung elite dan lembaganya untuk tidak ikut serta dalam kompetisi kekuasaan politik.

Untuk itu ada 2 (dua) hal normatif yang menjadi landasan kepribadian Muhammadiyah, yaitu :

  1. Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah tidak  menegaskan diri dalam kapasitas menentukan sikap politik praktis, baik itu legislatif, eksekutif maupun yudikatif.
  2. Muhammadiyah selalu sebagai petunjuk bahwa lembaga, amal usaha maupun segala fasilitas lembaga tidak boleh digunakan sebagai instrument/peraga kampanye.

Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat yang ranah gerakanya sebagai gerakan dakwah dan gerakan sosial memiliki ranah khusus untuk menerapkan nilai-nilai kegamaan didalamnya demi terwujudnya cita-cita Muhammadiyah agar terciptanya masyarakat islam yang sebenar-benarnya.

Hubungan Muhammadiyah dengan politik bukan berarti melibatkan diri secara aktif dalam politik, juga tidak mencari peluang untuk meraih jabatan politik. Kebijakan politik Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada semua anggotanya untuk menggunakan hak politiknya karena itu dinilai penting. Namun, melarang agar menyeret nama organisasi Muhammadiyah secara kelembagaan, sebab politik bukanlah ideologi Muhammadiyah.

Mengenai kebijakan Muhammadiyah yang memberikan kebebasan kepada para anggotanya, Muhammadiyah tidak lupa memberikan panduan sebagai modal berpolitik. Diantaranya adalah berpolitik dengan niat ibadah semata-mata karena kepentingan bangsa dan negara, jujur dan bersungguh-sungguh, amanah, bersih dan saleh dalam berpolitik demi mewujudkan konstalasi politik yang damai, aman, bersahaja bagi semua orang.

Dalam perkembangan perjalananya Muhammadiyah tidak juga hanya berkutat pada jalan dakwah semata, tetapi sejarah juga mencatat bagaiman Muhammadiyah ikut mengawal kemerdekaan bangsa ini serta berbagai macam bentuk pergerakan sosial. Bahkan Muhammadiyah pernah terlibat aktif dalam partai politik, namun itu tidak pernah mengubah jati dirinya sebagai partai politik (misalnya bergabung dalam parati masyumi dan akhirnya melepas diri dari keanggotaan karena alasan tertentu).

Keterlibatan Muhammadiyah dalam politik di Indonesia, bisa ditemukan ketika masa kepemimpinan KH Mas Mansur diantaranya : MIAI (majelis islam a’la indonesia), PII, GAPI, Masyumi, Parmusi, sekber Golkar, dan PAN. Dalam persahabatanya dengan MIAI memiliki 2 (dua) penegasan, sebagaimana yang disampaikan oleh KH Mas Mansur lewat pidatonya. Penegasan tersebut adalah :

  1. Littasawwur, artinya karena alasan tempat musyawarah. Disini dikumpulkan beberapa ulama untuk merundingkan segala keputusan yang akan disepakati. Pada setiap waktu ditentukanlah waktunya untuk berkumpul dan melakukan persidangan.
  2. Litta’aruf, untuk tahu menahu atau kenal mengenal, memperkuat ukuwah, merwat persaudaraan, beramah-tamah, yang pada akhirnya menghasilkan persahabatan dan membuahkan persatuan.

Keberadaan catatan sejarah tentang peran Muhammadiyah dalam melahirkan Partai Amanat Nasional (PAN) tak bisa dipungkiri akan keterikatan emosional antara dua organisasi masyarakat dan organisasi politik ini. Peran ijtihad politik yang diinsiasi oleh Amien Rais selaku Ketua Umum PP Muhammadiyah sebelum terjun kedunia politik, mendapat banyak sekali dukungan baik itu dari kalangan cendekiawan, ulama, serta warga muhammadiyah sendiri mampu memberikan bukti nyata, apalagi Amien Rais terkenal sebaga tokoh yang paling gencar mewujudkan reformasi melawan rezim otoriter.

Fakta historis inilah kemudian menjadi dasar terjalinya komunikasi politik yang alot antar keduanya, walaupun secara ideologis maupun organisatoris keduanya tak memiliki hubungan khusus. Hal ini ternyata juga melahirkan perdebatan diinternal elite Muhammadiyah di Sumatera Utara antara yang sepakat dan tidak sepakat.

“Muhammadiyah pada masa mendatang akan berbeda dengan Muhaammadiyah sekarang . oleh karena itu, warga dan muda mudi muhammadiyah hendaklah untuk tetap terus menjalani dan menempuh pendidikan dan pengetahuan serta dalamilah teknologi. Menjadilah master, insinyur lalu kembalilah ke Muhammadiyah”, begitulah pesan KH Ahmad Dahlan. Pesan tersebut juga bermakna anjuran bahwa warga dan muda mudi Muhammadiyah juga harus terlibat dalam politik baik secara aktif maupun partisipasif.

Mengingat sekarang ini politik menjadi cara paling ampuh untuk membangun bangsa ini (tanpa menegasikan cara lain). Menjauhkan diri dari politik atau apatis akan memberikan peluang yang sangat besar bagi kelompok-kelompok tak bertanggung jawab menjadikan Negara dan kekuasaan sebagai alat penindas, atau bahkan untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan kondis rakyat yang sudah berkhidmat sepenuh hati menjaga keutuhan Negara yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata ini.

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment