Seksploitasi Perempuan dan Media

seksploitasi perempuan

Modernis.co, Bandung – “Di negeri kami tubuh perempuan bukan milik perempuan, dada dan paha sudah dipatahkan untuk biro iklan dan wartawan serta vagina dan rahim adalah lahan resmi proyek nasional” (Ariel Haryanto).

Keadilan tidak akan sama rasa dan fungsinya kalau manusia masih mengkerdilkan seorang manusia lainnya. Dalam perkembangan ideologi “man dominated world” atau patriarki yang di dalamnya terjadi semacam ketimpangan peran sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan.

Yasrap Amir Piliang (1998) melihat penguasaan citra, pengetahuan citra media yang digunakan mempertahankan hegemoni ideologis sekelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan, pengetahuan tersebut tak hanya cukup ada pengetahuan saja melainkan media juga mengambil kedudukan penting memperahankan hegemoni kekuasaan.

Dongeng Perempuan di Media

Jual beli tand,  tak hanya berlaku dalam produk massa dalam media yang menimbulkan absurd dan  “hiper” realitas itu sendiri. Tetapi perempuan kemudian menjadi komoditas dan persimbolan dari berbagai tanda yang menghiasi layar kaca saat ini. Didalam wacana media, wanita diposisikan bukan menjadi subjek pengguna melainkan objek tersendiri sistem tanda.

Salah satu hal yang menarik saat ini, kira-kira apa hubungannya wanita dengan mobil mewah di showroom serta pengemasan  media jor-joran? Bukankah mobil, hal tersebut ditampilkan untuk hasrat maskulinitas, kenapa wanita selalu menempel dan menjadi perias keindahan benda mati.

Dan kira-kira di manakah letak citra seorang wanita dalam menemukan dirinya di tengah kecamuk dirinya sendiri dan kemudian mengambil alih serta kemudian dialeanisasikan dengan dikonstruksikan sebagai alat kapitalisme. Ekonomi kapital yang dimiliki perempuan menentukan hubungan-hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki dan antar perempuan itu sendiri. Dunia iklan bagi perempuan menjadi basis politik emansipasi (Giddden: 1984).

Kasus penjerumusan wanita dalam pengemasan media yang dibalut oleh kekuasaan tentunya sangat tidak sejalan dengan kondisi humanisme universal untuk berhak mendapatkan hak hidup, hak yang sebenarnya sudah diberikan Tuhan namun kemudian dititipkan kepada persepsi yang dibangun kaum yang menghegemoni (laki-laki), secara perlahan kedudukan kemanusiaan itu sendiri.

Media massa banyak mengambil bagian dalam pembentukan sikap dan perilaku menentukan status perempuan di masyarakat. Media jarang sekali memperlihatkan wanita dalam bentuk dan nilai sesungguhnya.

Kehadiran iklan juga mentranformasikan tatanan kehidupan secara meluas tentang nilai, gaya dan cara berpakaian yang lebih bervariasi, seperti sexiness dari sebuah pakaian yang diiklankan. Implikasi kemudian yang muncul ada merupakan sorot kecenderungannya melihat perempuan dari sisi bentuk tubuh dan keindahannya.

Perempuan saat ini lebih banyak menggunakan media dan memang mungkin apresiasi media mengangkat presenter dalam sebuah acara sudah dikatakan sebagai bentuk mengayomi segala bentuk perbedaan agar tak ada dikotomi kelas perempuan dan laki-laki di wilayah publik lagi.

Tetapi hal ini bisa saja salah satu alat kapitalis menjauhkan diri perempuan ke dalam lubang yang dipenuhi akan rasa haus kosmetisme tetapi tidak sadar.

Media dan Perjuangan Gender

Abad 21 merupakan masa di mana tidak ada batasan antara negara baik dalam hal ekonomi, sosial, budaya hingga agama, kondisi tersebut sering kita sebut sebagai globalisasi. Salah satu ciri globalisasi adalah berkembangnya teknologi dan informasi serta mudahnya akses informasi. Salah satu bagian dari penyebaran informasi adalah media massa.

Media massa baik elektronik maupun cetak memiliki peran yang berpengaruh terhadap kontruksi budaya, ekonomi, peran, gaya hidup hingga perilaku penontonnya. Peranan media memiliki pengaruh terhadap pemaknaan posisi perempuan oleh masyarakat.

Tampilan media tentang perempuan dalam iklan lebih banyak menunjukan posisi perempuan lebih rendah dari laki-laki. Konten tayangan acara-acara tersebut membawa dan menunjukan penonton bahwa perempuan identik dengan pelayan, pendamping atau tokoh pembantu yang sering kali menampilkan perempuan sebagai objek kekerasan, peran yang dimainkan selalu mengarah pada kurangnya penghormatan terhadap perempuan, serta identik sebagai objek promosi suatu produk.

Citra Perempuan dalam Iklan

Dapat dilihat bahwa parameter keterkaitan media dan perempuan adalah melalui nilai; yakni obyek utama dalam iklan. Media massa tentu saja merupakan pihak yang sangat berkepentingan terhadap dieksposnya perempuan untuk bisa dikonsumsi khalayak. Eksploitasi seksualitas perempuan dalam iklan komersial merupakan strategi ilusi dan manipulasi yang ditujukan pada khalayak agar tergerak membeli sebuah produk.

Selain itu, citra perempuan yang diciptakan oleh iklan telah mengkonstruk masyarakat luas yang sebagian besar perempuan merupakan korban dari iklan yang banyak mencitrakan hal–hal yang negatif. Selain itu, sebagian besar masyarakat juga masih mengagung-agungkan budaya patriarki sehingga perempuan yag menjadi tertindas secara tidak langsung dan tanpa disadari.

Sejauh ini media terkesan tidak sensitif gender, karena masih banyak contoh kasus yang menjadikan perempuan sebagai objek utama dalam iklan dan pencitraannya.

Seharusnya, para insan media lebih menyadari tentang pengelolaan media massa dengan mengedepankan perspektif gender guna menempatkan perempuan dalam posisi semestinya dan tidak termarginalkan oleh insan media massa sehingga tidak terjadinya kesalahpahaman masyarakat terhadap dunianya perempuan dan menghilangkan citranya –citra negatif serta ketidakadilan gender yang sebagian besar dirasakan oleh kaum perempuan.

Peran Kohati Mengawal Citra Perempuan dalam media.

KOHATI sebagai bagian integral dari HMI merupakan kelompok muda cendekia yang bertanggung jawab untuk membina dan  mengembangkan potensi HMI-Wati agar menjadi kader yang memiliki pola pikir integral dan utuh, khususnya sebagai kader HMI di bidang kemahasiswaan dan keperempuanan.

Selain itu KOHATI juga mempunyai peran strategis untuk merespon problem kemasyarakatan, salah satu problem kemasyarakatan itu adalah problem sosial bernama ketidakadilan yang banyak menimpa kaum perempuan karena ketimpangan pola relasi antar individu atau di dalam masyarakat.

Untuk dapat melanjutkan perannya dengan baik, maka KOHATI harus membekali dirinya dengan meningkatkan kualitasnya karena anggota KOHATI adalah HMI-Wati yang memiliki watak dan kepribadian yang teguh, kemampuan intelektual, kemampuan profesional dan mandiri. Berlatih berorganisasi  ternyata menjadikan HMI-Wati memiliki banyak kecakapan dalam hidup.

HMI-Wati mendapatkan ilmu dan  keahlian yang tidak didapat di dunia perkuliahan. Spesialisasi di bidang pemberdayaan perempuan menunjukan bahwa perkembangan permasalahan keperempuanan di masyarakat perlu direspon HMI khususnya KOHATI.

Sebagai organisasi kader, HMI bertanggung jawab untuk menciptakan iklim yang kondusif dan harmonis dalam upaya meningkatkan kualitas HMI-wati melalui proses perkaderannya.

Dalam perkaderan HMI, KOHATI ditempatkan sebagai ujung tombak untuk mengantisipasi dan mempelopori terjawabnya persoalan-persoalan tersebut –pola pembinaan KOHATI.

Sebenarnya, secara teoritis para kader KOHATI memiliki chance atau kesempatan yang lebih banyak dari segi wawasan dan pengalaman dibandingkan para pemudi yang non-organisasi tergantung pada kemauan dan kemampuan dari para kader KOHATI sendiri. Modal utama bagi suatu keberhasilan adalah pendidikan tinggi yang berarti akan melahirkan perempuan-perempuan sarjana.

Apalagi ditunjang dengan pola pendidikan HMI serta softskill yang harus dimiliki oleh kader HMI-Wati menjadikan kelompok terdidik perempuan muslimah yang nantinya sadar akan hak, tanggung jawab dan perannya sesuai status yang diembannya.

Merujuk dari pemaparan di atas maka diharapkan KOHATI dengan segala kelebihannya bisa mengawal seluruh perempuan agar bisa selektif lagi dalam memakai segala media.

Apalagi perempuan yang selalu dijadikan objek dalam iklan yang memang terkadang sangat melecehkan citra perempuan. Dalam hal ini berarti KOHATI juga memiliki peran untuk mengawal para perempuan-perempuan agar bisa memanfaatkan media dengan sebaik-baiknya.

Oleh: Siti Zaenab Fitriani (Aktivis KOHATI Cabang Kabupaten Bandung Mahasiswi Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment