Kartini dan Ironi Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia

Modernis.co, Jakarta – Setiap 21 April, wajah-wajah ceria perempuan Indonesia mengenakan kebaya warna-warni menjadi penanda bangsa Indonesia sedang memperingati Hari Kartini sebagai simbol perjuangan emansipasi perempuan. Berbagai kegiatan dilaksanakan, mulai dari lomba busana kebaya, diskusi, hingga parade budaya yang melibatkan perempuan dari berbagai kalangan.

Tak tertinggal pula unggahan bertagar #HariKartini dan #HabisGelapTerbitlahTerang menjadi pemandangan rutin di peringatan tokoh emansipasi perempuan Indonesia tersebut. Namun di balik perayaan yang begitu semarak dan estetis itu, ada pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama yakni sejauh mana esensi perjuangan Kartini benar-benar dihidupkan dalam realitas sosial hari ini?

Pertanyaan tersebut menjadi penting terutama ketika kita menyadari bahwa kekerasan terhadap perempuan justru masih begitu masif terjadi di Indonesia. Berbagai bentuk kekerasan terus menghantui kehidupan perempuan, mulai dari kekerasan fisik dan psikis, kekerasan ekonomi, hingga kekerasan berbasis teknologi.

Angka kekerasan terhadap perempuan terus menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, seolah-olah berbagai kebijakan dan program perlindungan belum sepenuhnya mampu menembus akar permasalahan yang sesungguhnya yakni budaya patriarki yang tertanam kuat di tengah masyarakat.

Dalam konteks seperti ini, peringatan Hari Kartini justru menampilkan ironi yang memilukan. Di satu sisi, Kartini selalu diagungkan sebagai simbol emansipasi dan perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak pendidikan dan kesetaraan. Namun di sisi lain, semangat Kartini belum sepenuhnya terwujud dalam realitas kehidupan sosial dan hukum kita.

Sistem sosial masih bias gender, dan sistem hukum sering kali gagal dalam memberikan keadilan yang berpihak kepada korban kekerasan. Banyak kasus kekerasan seksual yang justru menyudutkan korban, alih-alih menghukum pelaku secara tegas.

Kekerasan dalam Angka dan Fakta

Data dari Komnas Perempuan dalam catatan tahunan (Catahu) 2024 menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan (KtP) masih berada di angka yang sangat tinggi yakni 445.502 kasus, sementara itu data kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGtP) sebanyak 330.097 kasus.

Dari angka tersebut, bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan adalah kekerasan seksual di mana presentasenya mencapai 26,96%. Bahkan angka ini diyakini hanyalah puncak hunung es dari kasus-kasus yang tidak terlaporkan karena rasa takut, malu, atau karena ketidakpercayaan pada sistem hukum.

Kekerasan tidak hanya hadir dalam bentuk fisik. Kekerasan verbal, pelecehan seksual di tempat kerja, pemaksaan peran domestik, eksploitasi ekonomi, hingga kekerasan digital seperti doxing dan revenge porn menjadi bagian dari realitas yang dihadapi banyak perempuan. Ironisnya, sebagian besar pelaku kekerasan justru adalah orang terdekat seperti suami, pacar, kerabat, atasan, guru, bahkan ayah kandung.

Sementara itu, banyak korban justru mengalami victim blaming dan reviktimisasi ketika mencoba mencari keadilan. Alih-alih mendapatkan perlindungan dan empati, mereka justru disalahkan atas apa yang menimpa diri mereka dengan tudingan berpakaian tidak sopan, terlalu aktif di media sosial, atau dianggap merusak nama baik keluarga.

Kekerasan seksual kini bukan lagi persoalan yang terbatas pada ruang gelap atau tempat sepi saja, namun tempat-tempat yang seharusnya menjadi zona aman seperti rumah, sekolah, kantor, rumah sakit hingga tempat ibadah justru sering menjadi lokasi terjadinya kekerasan.

Ironis ketika mendengar berita lembaga pendidikan menjadi tempat paling strategis untuk melakukan hal-hal menjijikkan dengan dalih agama atau memberikan sanksi kedisiplinan, seperti yang terjadi di Pondok Pesantren di Karawang Jawa Barat di mana 20 santriwati menjadi korban kekerasan seksual oleh pengasuh atau gurunya sendiri.

Tidak berhenti di situ, beberapa waktu lalu media sosial cukup digemparkan dengan berita bahwa seorang anak perempuan yang sedang menemani ayahnya berobat justru menjadi korban pemerkosaan oleh seorang dokter. predator seksual seolah sedang mengintai perempuan tanpa mengenal waktu, tempat, dan kondisi.

Emansipasi yang Dikhianati

Kita seolah ingin merayakan Kartini, tetapi tidak benar-benar memahami gagasan yang diperjuangkannya. Kartini adalah perempuan yang gelisah atas realitas sosial yang membelenggu perempuan di zamannya. Surat-suratnya kepada Abendanon menyuarakan keresahan tentang keterbatasan perempuan dalam mengakses pendidikan, budaya partiarki yang menindas, dan struktur sosial yang tidak adil. Kartini adalah pemikir kritis dan pelopor kesetaraan di zamannya.

Namun hari ini, semangat Kartini justru direduksi menjadi seremoni tahunan yang dipenuhi bunga, selempang, dan lomba busana. Emansipasi disulap menjadi perayaan simbolik, bukan perenungan kritis terhadap struktur ketidakadilan yang masih terus berlangsung.

Padahal Kartini adalah simbol keberanian intelektual, perempuan yang menolak pasrah terhadap nasib, memiih untuk menulis, bersuara, dan melawan. Kartini adalah potret perlawanan terhadap sistem yang tidak adil, bukan sekedar peringatan manis yang diabadikan setiap tanggal 21 April.

Lalu, bagaimana mungkin kita mengklaim sebagai penerus semangat Kartini, sementara kita masih membiarkan ribuan perempuan dipukul, dilecehkan, dan diabaikan oleh hukum?

Sistem Hukum yang Belum Ramah Gender

Di atas kertas, Indonesia telah memilih beberapa instrument hukum yang cukup progresif. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan tahun 2022 setelah melalui perjuangan panjang gerakan masyarakat sipil. Namun, implementasi UU tersebut masih jauh dari kata ideal.

Banyak aparat penegak hukum yang belum memiliki perspektif korban, proses hukum sering kali berlarut-larut, dan korban justru mengalami tekanan sosial maupun psikologis saat melaporkan kasusnya.

Lebih jauh, dalam banyak kasus kekerasan seksual atau kekerasan dalam rumah tangga, perempuan sering kali disarankan untuk memaafkan saja demi keharmonisan keluarga atau untuk kebahagiaan dan masa depan anak. Ini menunjukkan bahwa sistem hukum kita seolah tunduk pada nilai-nilai patriarkis dan kurang memihak pada keadilan substantif bagi korban.

Peringatan Hari Kartini seharusnya menjadi momen evaluasi kolektif, bukan sekedar upacara tahunan atau perayaan tahunan saja. Beberapa langkah konkret perlu segera ditempuh agar semangat emansipasi Kartini benar-benar membumi. Kartini hari ini bukan lagi sekedar sosok perempuan Jawa yang menulis dari balik pingitan.

Kartini hari ini adalah aktivis yang mengadvokasi korban kekerasan, guru yang mendidik dengan kesetaraan, jurnalis yang mengangkat isu-isu gender, hingga ibu rumah tangga yang berjuang membesarkan anak-anak dengan nilai keadilan.

Perjuangan belum usai. Emansipasi belum selesai. Kartini tidak butuh seremoni, Kartini butuh keberanian kita untuk melanjutkan perlawanan. Karena emansipasi bukan milik masa lalu, ia adalah tanggung jawab kita hari ini, esok dan seterusnya.

Oleh: Endang Susanti (Mahasiswa Magister Sekolah Pascasarjana Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment