Presidential Threshold: Menghambat Demokrasi atau Menjaga Stabilitas?

Modernis.co, Ciputat – Dalam sebuah negara demokrasi, pemilihan umum merupakan ajang di mana suara rakyat menentukan arah masa depan bangsa. Namun, di Indonesia, ada satu ketentuan yang kini banyak diperdebatkan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden.

Ketentuan ini mengharuskan calon presiden untuk mendapatkan dukungan minimum 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah pada pemilu legislatif sebelumnya untuk bisa maju sebagai kandidat presiden. Banyak pihak yang menilai ketentuan ini bertentangan dengan konstitusi, terutama dengan hak untuk dipilih yang dijamin dalam UUD 1945.

Berdasarkan UUD 1945, setiap warga negara berhak dipilih dalam jabatan publik. Namun, ambang batas yang tinggi ini justru menciptakan ketidaksetaraan dalam demokrasi. Bagaimana mungkin seseorang yang memiliki visi dan kapasitas untuk memimpin, namun tidak memiliki dukungan partai besar, tidak diberikan kesempatan untuk maju?

Presidential threshold seolah-olah membatasi ruang bagi calon presiden dari partai kecil atau calon independen untuk mengemuka. Padahal, dalam demokrasi, seharusnya rakyatlah yang menentukan siapa yang layak memimpin mereka, bukan sebaliknya, para elit politik yang membatasi pilihan tersebut.

Dalam perspektif demokrasi yang sehat, setiap warga negara seharusnya memiliki hak yang sama untuk dipilih dalam jabatan publik. UUD 1945, sebagai dasar konstitusi negara, menjamin hak ini dalam Pasal 28D ayat (3), yang mengatur bahwa “setiap warga negara berhak dipilih dalam jabatan publik”. Oleh karena itu, ketentuan presidential threshold yang mengharuskan calon presiden untuk memiliki dukungan partai politik besar atau mencapai ambang batas suara tertentu dapat dilihat sebagai pelanggaran terhadap prinsip kesetaraan hak dalam demokrasi.

Penelitian Yusril Ihza Mahendra menunjukkan bahwa ketentuan ini menciptakan ketidaksetaraan di antara calon presiden. Seorang calon yang mungkin memiliki visi dan kapasitas kepemimpinan yang mumpuni namun tidak memiliki dukungan dari partai besar atau tidak mampu memenuhi ambang batas ini, terpaksa kehilangan kesempatan untuk berkompetisi. Ini membuka ruang bagi pemilihan yang lebih terbatas, yang sering kali hanya mengarah pada pilihan antara dua calon yang memiliki kekuatan politik besar.

Lebih jauh lagi, sistem ini berisiko mengurangi diversitas politik. Di dalam sistem yang bebas dari ambang batas, rakyat memiliki kebebasan untuk memilih pemimpin yang mereka anggap paling tepat, tanpa dibatasi oleh faktor eksternal seperti kekuatan partai atau koalisi. Dengan menghapuskan presidential threshold, maka lebih banyak calon presiden yang dapat muncul dari berbagai kalangan, menciptakan keragaman ide dan program yang lebih kaya.

Sebaliknya, pendukung presidential threshold berargumen bahwa ambang batas ini diperlukan untuk menjaga stabilitas politik. Dalam sistem politik Indonesia yang sangat pluralistik dan sering kali terfragmentasi, presidential threshold berfungsi sebagai mekanisme untuk memastikan bahwa hanya calon presiden yang memiliki dukungan luas dari berbagai kalangan yang dapat bertarung dalam pemilu. Hal ini dianggap penting untuk menghindari munculnya. Calon presiden yang didukung hanya oleh segelintir orang atau kelompok, yang dapat menyebabkan kerawanan politik.

Menurut Nurul Ichwan, ambang batas ini mendorong calon presiden untuk membangun koalisi dengan partai-partai besar, yang pada akhirnya menciptakan pemerintahan yang lebih stabil dan tidak mudah terpecah. Stabilitas politik menjadi lebih terjaga ketika presiden yang terpilih memiliki dukungan kuat di parlemen, yang memungkinkan kebijakan-kebijakan pemerintah dijalankan dengan lebih efisien dan efektif.

Tanpa adanya presidential threshold, ada risiko bahwa calon presiden dengan dukungan terbatas akan terpilih, yang bisa mengarah pada pemerintahan yang lemah, terpecah, dan tidak mampu mengatasi tantangan-tantangan negara.

Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa presidential threshold dapat mencegah munculnya pemerintahan yang lemah dan inkonsisten. Menurutnya, ketentuan ini membantu mengurangi fragmentasi politik yang bisa mengarah pada ketidakpastian dan bahkan ketegangan antar kelompok politik. Ketika calon presiden yang maju memiliki dukungan lebih dari sekadar partai kecil, mereka lebih cenderung dapat membangun kabinet yang solid dan pemerintahan yang lebih koheren.

Menghadapi Dilema

Sebagai sebuah negara demokrasi, Indonesia harus bisa menemukan keseimbangan antara memberikan ruang yang cukup bagi keberagaman politik dan mempertahankan stabilitas pemerintahan. Presidential threshold memang memiliki tujuan untuk menjaga stabilitas, tetapi pada saat yang sama, ia juga membatasi hak rakyat untuk memilih calon presiden yang mereka anggap tepat, terutama jika calon tersebut tidak memiliki dukungan politik dari partai besar.

Sebagai alternatif, penghapusan presidential threshold dapat membuka peluang bagi lebih banyak calon untuk berkompetisi dalam pemilu presiden, yang pada gilirannya memperkaya proses demokrasi. Namun, penghapusan tersebut juga dapat mengarah pada risiko fragmentasi politik yang lebih besar, di mana muncul banyak calon presiden dengan dukungan terbatas yang mungkin mengganggu stabilitas pemerintahan.

Oleh karena itu, ada baiknya untuk mencari kompromi yang memungkinkan partisipasi yang lebih luas dalam pemilu presiden tanpa mengorbankan stabilitas politik. Salah satu alternatifnya adalah dengan menurunkan ambang batas presidential threshold, atau bahkan memperkenalkan sistem yang memungkinkan koalisi partai yang lebih fleksibel dalam mendukung calon presiden.

Secara keseluruhan, penghapusan presidential threshold dapat dilihat sebagai langkah yang meningkatkan keterbukaan demokrasi dan memberikan ruang bagi lebih banyak calon untuk bersaing Ini dapat mengurangi ketergantungan pada kekuatan partai besar dan memperkaya pilihan politik bagi rakyat. Namun, hal ini juga menuntut perhatian terhadap potensi fragmentasi politik yang dapat mengancam stabilitas pemerintahan.

Oleh karena itu, meskipun penghapusan presidential threshold memiliki keuntungan dari sisi demokrasi, langkah ini harus diiringi dengan upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berpolitik dan stabilitas pemerintahan yang efektif.

Oleh: Aris Munandar (Mahasiswa Magister Politik Islam Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment