“Aku melihat Islam di Barat, tapi tak satupun Muslim yang terlihat di sana. Di Timur saya melihat banyak Muslim, namun tak satupun saya melihat Islam di sana.”
(Muhammad Abduh)
Modernis.co, Malang – BICARA soal situasi kebangsaan saat ini, refleksi Muhammad Abduh tersebut tentu saja sangat relevan. Terutama kaitannya dengan moralitas umat Islam dewasa ini. Umat Islam Indonesia banyak disoroti lantaran persoalan krisis moralitas yang banyak terjadi. Rachmat Djatnika mengatakan, demoralisasi yang melanda umat Islam hari ini perlu diberikan perhatian lebih karena mulai mengkristal di internal umat Islam. Lebih-lebih, mengingat Islam adalah agama yang teramat menekankan pentingnya moralitas bagi pemeluknya.
Moralitas sendiri memiliki korelasi yang kuat dengan kesadaran sosial dan empati. Faktanya, perilaku-perilaku amoral yang terjadi lebih banyak disebabkan ketidakpedulian pelaku terhadap objeknya. Bahkan secara sadar menganggap bahwa selama perilakunya memiliki dampak positif bagi dirinya secara personal, maka perilaku tersebut sudah benar tanpa memedulikan dampak sosialnya. Bergesernya nilai-nilai tersebut salah satunya ditandai tiga gaya hidup masyarakat urban, yakni apatis, pragmatis dan individualis, yang mulai merasuki aspek-aspek kehidupan bermasyarakat.
Masuknya globalisasi dengan visi modernisasi yang dibawanya, jika tidak dimanfaatkan secara positif, dapat menggiring masyarakat pada nilai-nilai yang kontra-produktif tersebut. Sikap apatis sendiri diartikan sebagai sikap acuh tak acuh[1] terhadap pelbagai hal, sedangkan pragmatis lebih mengedepankan kepentingan dan tujuan pribadi meski menggunakan berbagai cara[2], sementara sikap individualis yakni sikap memisahkan diri untuk terlibat dalam kegiatan yang bersifat sosial[3]. Ketiga sikap itu mengakibatkan kurangnya kepekaan dan kesadaran sosial, terutama di tengah masyarakat urban.
Tak ayal jika persoalan korupsi, ketidakadilan dan penggangguran masih mewarnai kehidupan masyarakat jika perilaku ini masih terus dibiarkan hidup. Terlebih, di era digital yang serba instan ini, semua hal dapat diperoleh dengan praktis tanpa harus tatap muka, mengakibatkan interaksi sosial dan sikap individualis kian meningkat.
Sejatinya, jika lebih mendalami jatidiri manusia, sosok ini memiliki kemampuan berempati terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain. Tentunya hal itu merupakan kemampuan luar biasa dan istimewa yang tak dimiliki makhluk lainnya. Kemampuan ini membuat manusia sebagai makhluk sosial memiliki sikap saling membutuhkan, melengkapi dan membantu satu sama lain.
Ketahanan hidup pun dapat tercapai jika simbiosis ini dapat berlangsung secara terus menerus. Oleh karenanya, jika kesadaran untuk bersosial menurun, bukan tidak mungkin ketahanan hidup banyak orang menjadi semakin sulit. Padahal, ketahanan dan keberhasilan hidup dalam lingkup sosial dapat berjalan secara maksimal jika didukung sikap kooperatif dan peduli satu sama lain.
Urgensi Kepekaan dan Kesadaran Sosial
Di usia 73 tahun ini, Indonesia masih saja dihadapkan pada persoalan kemiskinan. Begitu banyak individu yang masih merasakan kehidupan yang tak manusiawi. Bangsa ini dihadapkan pada kemiskinan secara kultural maupun struktural. Secara kultural, kemiskinan telah menjadi budaya yang mendarah daging, seakan tak terpisahkan dalam kehidupan sejumlah masyarakat.
Budaya malas, pendeknya impian, serta ketidaksadaran bahwa mereka perlu mensejahterakan diri adalah di antara faktor internal langgengnya kemiskinan. Dalam konteks kultural ini, kemiskinan terjadi karena faktor internal, yakni lemahnya keyakinan diri bahwa hidupnya akan lebih baik di masa depan.
Sementara secara struktutal, kemiskinan dapat terjadi karena faktor eksternal, khususnya lantaran sistem dan kebijakan negara maupun berlakunya logika kapital dalam melanggengkan kekayaan segelintir orang. Fajar Riza Ul Haq mengatakan, salah satu langkah strategis untuk mengubah dan mengatasi kemiskinan adalah memunculkan kesadaran kritis serta sikap partisipatif bahwa kemiskinan adalah hasil dari ketiadaan akses dan ketimpangan distribusi sosial. Mengingat kemiskinan sudah merasuki sistem nilai dan perilaku masyarakat, pendidikan merupakan media yang tepat dalam membongkar pandangan fatalistik dan menanamkan kesadaran kritis tersebut.[4]
Kesadaran kritis itulah yang patutnya dimiliki setiap elemen masyarakat. Saat kemiskinan menjadi persoalan krusial bangsa ini, hadirnya kesadaran sosial tentu dapat menjadi angin segar yang dapat mengurangi beban sosial tersebut. Kesadaran sosial umumnya muncul ketika kita memiliki relasi kemanusiaan dan interaksi antar-pihak, baik individu maupun kelompok.
Hubungan sosial pun bisa tercipta ketika individu yang satu memiliki proksimitas dengan individu yang lain sehingga mucul keterikatan sosial. Dalam konteks bermasyarakat di mana seseorang memandang orang lain entitas yang sama sebagai manusia, maka sikap apatis, pragmatis dan individualis tidak akan berlangsung disini.
Kepedulian dan ide bahwa orang lain adalah sosok manusia yang memiliki kebutuhan dan ketahanan hidup yang sama, dapat melahirkan kepekaan dan kesadaran sosial. Dalam perspektif psikologi, terdapat Teori of Mind (ToM), di mana dalam kehidupan sehari-hari, seseorang bertindak berlandaskan keyakinan individual dibanding realitas.
Saat ToM bekerja, dengan memikirkan dampak baik buruk bagi orang lain, dan mampu merasakan apa yang orang lain pikirkan, seseorang akan dapat membatasi keyakinan-keyakinan yang dirasa salah untuk dilakukan di mata orang lain[5]. Kesadaran sosial inilah yang nantinya memunculkan empati, interaksi interpersonal dan perilaku yang bermoral.
Islam Transformatif sebagai Paradigma
Dengan menggunakan analogi pernyataan Muhammad Abduh di awal tulisan, Islam transformatif sejatinya berupaya menjawab berbagai persoalan di mana nilai-nilai Islam mulai ditinggalkan dan dianggap tidak dapat mengatasi persoalan sosial. Islam tak hanya berkutat pada dimensi tauhid-ketuhanan, namun sekaligus sebagai landasan dari semua aspek kehidupan.
Pun Al-Qur’an tidak hanya dimaknai sebagai teks namun juga konsteks, sehingga Islam tidak hanya dipandang secara ideologis maupun politis sebagaimana yang berkembang di masyarakat, namun juga dapat menjadi garda terdepan dalam menginisiasi perubahan sosial. Moeslim Abdurrahman mengatakan, Islam tidak lain merupakan ideologi perubahan (inspirasi teks-sosial) yang menggugah kesadaran sosial terutama structural, dan bukan semata sebagai aktivitas dakwah yang hanya mengutamakan kesalehan ritual[6].
Dalam aspek kesadaran sosial, Islam yang mengajarkan solidaritas, keadilan dan pembebasan, serta hadir dengan ramah dan humanis. Namun pada realitasnya, tidak sedikit organisasi mengatasnamakan Islam yang hadir dengan sikap angkuh, anarkis, intoleran dan diskriminatif. Islam transformatif hadir dengan tidak berdasar mazhab-mazhab tertentu, murni memandang Islam sebagai rahmatan lil alamin dengan tidak membeda-bedakan agama, suku, bangsa, maupun atribut sosial lainnya.
Ada dua poin terkait gambaran besar mengenai Islam transformatif. Pertama, Islam memiliki kerangka nilai, model tafsir transformatif dan mengubah kajian Islam yang awalnya hanya dalam ranah teologis dunia-akhirat ke arah islam yang progresif dan peduli terhadap problematika sosial. Kedua, relevansi Islam transformatif jelas ke arah perubahan yang harus dilakukan, artinya Islam benar-benar harus sesuai dengan tuntutan zaman dimana Islam yang bersifat universal dapat diaplikasikan di setiap kehidupan manusia[7].
Secara doktrinal, dalam Islam terdapat banyak ayat Al-Qur’an yang mengatakan bahwa setiap harta yang dimiliki seseorang ada hak tersurat di dalamnya (Qs. Al-Ma’arij: 24-25). Selain itu, Allah juga memberi penegasan bahwa seseorang harus menafkahkan harta yang dikuasai (Qs. Al-Hadid: 7). Jika dalam hal ini kesadaran sosial untuk menafkahkan sebagian rezeki yang dimiliki tidak ada, maka secara tegas Islam tidak menganjurkan hal tersebut.
Artinya al-Qur’an secara teks maupun konteks mampu membentuk kesadaran moral manusia untuk tidak rakus dan peduli. Seorang Muslim sendiri akan dinilai sebagai individu bertakwa ketika ia dapat bermanfaat bagi orang lain, sebagaimana ayat bahwa membela kaum lemah juga merupakan bagian dari karakter insan takwa (Qs. Al-Baqarah: 197, Ali Imran: 134, Al-Insan:8-9, Al-Maarij: 24, Adz-Dzariyat: 19). Pun juga seseorang akan dinilai sebagai pendusta agama jika ia, meskipun melaksanakan sholat namun tidak memiliki keberpihakan pada anak yatim dan orang miskin (Qs. Al-Ma’un: 1-7)[8].
Konteks Indonesia: Islam Transformatif dalam Memperkuat Kesadaran Sosial
Islam di Indonesia sendiri tidak luput dari pemikiran dan gerakan pembaharuan. Adanya paham yang dipengaruhi gerakan islam rasional-liberal Muhammad Abduh, Muhammadiyah hadir sebagai organisasi masyarakat yang transformatif dan berkemajuan. Hal itu mudah dilihat dari tiga ranah gerakan yang menjadi fokus Muhammadiyah yakni bidang kesehatan, pendidikan dan sosial. Muhammadiyah menekankan gerakan Islam tidak hanya dalam lingkup ibadah saja, namun juga lingkup kesehatan, sosial, pendidikan & ekonomi bangsa.
Melalui gerakan teologi Al-Ma’un, Muhammadiyah juga menekankan arti kesadaran sosial bagi seluruh umat Islam. Muhammadiyah sendiri mempunyai trisula pemberdayaan masyarakat. Sula pertama yakni pemberdayaan dilakukan melalui pendidikan, terkhusus bagi kalangan bawah yang sulit dalam mengakses pendidikan. Pendidikan juga pilar penting dalam melahirkan kesadaran untuk berkembang. Sula kedua yakni bidang kesehatan, bahwa umat Islam harus sehat dan kuat sesuai dengan ajaran Rasul kepada umatnya. Terakhir gerakan sosial ekonomi, dengan membentuk koperasi dan lembaga filantropi lainnya.
Pada era modern dan arus globalisasi ini, bukan tidak mungkin gerakan-gerakan Muhammadiyah memiliki tantangan-tantangan tersendiri. Pada era digital di mana interaksi sosial semakin minim dengan adanya internet, seseorang tidak lagi mengandalkan komunikasi secara langsung dengan bertatap muka, namun hanya dengan via chat semua komunikasi dapat berlangsung. Hal tersebut bukan tidak mungkin berpengaruh terhadap kemampuan empati dan kesadaran sosial seseorang.
Untuk itu, tantangan perubahan gerakan Islam dituntut untuk lebih inovatif. Dengan menggunakan internet, bukan tidak mungkin gerakan dakwah Islam bisa semakin luas. Meminjam tiga ranah gerakan transformatif di Muhammadiyah, mulai bermunculan gerakan-gerakan berbasis digital dan kekinian.
Misalnya, dalam dunia pendidikan ada ruangguru.com, bidang kesehatan ada WeCare.id dan bidang sosial seperti kitabisa.com. Ketiga gerakan berbasis digital ini adalah prototipe gerakan yang tak hanya memanfaatkan teknologi terkini namun juga bukti dari gerakan inovatif-transformatif yang peka zaman sehingga bermakna bagi masyarakat.
*Oleh : Wilda Kumala Sari (Bendum Cabang IMM Malang Raya)
Referensi
Abdurrahman, M. 1997. Islam Transformatif. Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus.
Howe, D. 2015. Empati: Makna dan Pentingnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Raharjo, F.B. 2015. Islam Transformatif dalam Pandangan Moeslim Abdurrahman. Skripsi. Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaya Yogyakarta.
Riza, F. 2017. Membela Islam Membela Kemanusiaan. Bandung: Mizan.
Saptamaji, M. Rolip “Apatisme Politik Masyarakat Indonesia” dalam Tugas Paper mengenai Isu Politik Kontemporer. Pasca Sarjana Ilmu Politik
Setowara, S & Soimin. 2013. Agama dan Politik Moral. Malang: Intrans Publishing
Susana, T. Evaluasi Terhadap Asumsi Teoritis Individualisme dan Kolektivisme: Sebuah Studi Meta Analisis. Jurnal Psikologi. 33 (1) 33-49
Yuwanto & Arif. 2011. Kontribusi Budaya Politik Lokal dalam Demokratisasi (Kajian Budaya Politik dan Demokrasi Lokal Pascareformasi di Kecamatan Banyumanik Kota Semarang). Politica. 2 (1). 99-108.
[1] Saptamaji, M. Rolip “Apatisme Politik Masyarakat Indonesia” dalam Tugas Paper mengenai Isu Politik Kontemporer. Pasca Sarjana Ilmu Politik
[2] Yuwanto & Arif. 2011. Kontribusi Budaya Politik Lokal dalam Demokratisasi (Kajian Budaya Politik dan Demokrasi Lokal Pascareformasi di Kecamatan Banyumanik Kota Semarang). Politica. 2 (1). 99-108.
[3] Susana, T. Evaluasi Terhadap Asumsi Teoritis Individualisme dan Kolektivisme: Sebuah Studi Meta Analisis. Jurnal Psikologi. 33 (1) 33-49
[4] Riza, F. 2017. Membela Islam Membela Kemanusiaan. Bandung: Mizan.
[5] Howe, D. 2015. Empati: Makna dan Pentingnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[6] Abdurrahman, M. 1997. Islam Transformatif. Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus.
[7] Raharjo, F.B. 2015. Islam Transformatif dalam Pandangan Moeslim Abdurrahman. Skripsi. Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaya Yogyakarta.
[8] Setowara, S & Soimin. 2013. Agama dan Politik Moral. Malang: Intrans Publishing