Modernis.co, Malang – Virus COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) yang tidak kunjung membaik bahkan menyebabkan munculnya permasalahan baru serta ketimpangan dalam kelompok masyarakat. Sulitnya mencari nafkah untuk kebutuhan hidup menjadi hambatan yang paling dirasakan oleh semua kalangan, juga terganggunya kegiatan belajar-mengajar.
Adanya kebijakan pemerintah dalam menanggulangi tersebarnya Covid-19 menunjukkan bahwa pemerintah telah berperan dalam mengatasi masalah pandemi global ini. Tidak terkecuali Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang membuat kebijakan untuk melakukan pembelajaran secara daring sampai dengan berakhirnya pandemi Covid-19.

Untuk sebagian orang, pembelajaran daring merupakan solusi yang efektif untuk mengganti pembelajaran secara tatap muka selama wabah Covid-19 masih terus menjalar. Namun prespektif tersebut ternyata bertolak belakang dengan kondisi yang dialami sebagian pelajar.
Banyaknya tugas yang diberikan oleh guru, kurangnya pemahaman saat guru menerangkan, serta adanya kewajiban murid untuk membantu orang tua di rumah, juga bagi mahasiswa yang terkadang terdapat mata kuliah praktek atau terbatasnya sarana penunjang mahasiswa dalam belajar.
Semakin terhambatnya pembelajaran para murid dalam menuntut ilmu, terlebih untuk mahasiswa hampir satu dekade ini tentu sangat meresahkan pelajar karena tidak ada yang tau pasti kapan wabah ini akan berakhir.
E-learning (Daring)
Kegiatan pembelajaran secara online memang tidak asing lagi dikalangan pelajaran ataupun mahasiwa. Beberapa lembaga kursus serta sebagian lembaga pendidikan telah mempraktekkan sistem campuran (daring dan tatap muka) dalam pembelajaran selama wabah Covid-19.
Pemanfaatan teknologi pada masa pandemi tentunya dapat membantu kegiatan belajar mengajar yang sangat bagus jika diterapkan. Disamping mengikuti perkembangan zaman yang semakin canggih juga sebagai pembekalan untuk masa depan yang pasti akan berkelut dengan teknologi-teknologi.
Namun tidak sedikit pula lembaga pendidikan di mana pengajar dan pelajar memiliki keterbatasan teknologi baik dalam segi pemahaman atau pun sarana penunjang belajar sehingga dapat menghambat proses pembelajaran.
Minimnya pemahaman menggunakan alat elektronik pada guru, adanya sebagian murid yang tidak memiliki gadget atau laptop, serta seringnya jaringan elektronik tidak mendukung atau lemah sering menjadi alasan terhambatnya pembelajaran daring pada masa pandemi.
Kelebihan dan kekurangan sistem pembelajaran daring tentunya mau tidak mau tetap saja harus dijalani. Karena adanya kebijakan pemerintah tersebut diharapkan akan menghapus klaster Covid-19 di sekolah ataupun universitas.
Wacana Pembelajaran Tatap Muka
Awalnya telah diperkirakan bahwa sistem perkuliahan tatap muka akan kembali dimulai pada januari 2020 dengan sistem campuran (daring dan luring) guna tetap menjaga kesehatan dosen, mahasiswa, dan lingkungan kampus dengan tetap mentaati protokol kesehatan dan menerapkan strategi-strategi agar tidak muncul penyebaran Covid-19 gelombang kedua sebagaimana yang telah terjadi di beberapa negara.
Strategi tersebut dapat dipraktekkan sebagaimana yang dipaparkan oleh Heru Purnomo “misalnya guru sebelum berangkat harus mengukur suhu tubuh berapa, apakah penciumannya baik, pengecapannya baik? kalau tidak, lebih baik tidak ke sekolah. Begitu juga diterapkan kepada siswa.” lanjutnya, beliau menyatakan bahwa hal tersebut merupakan bentu preventif dari penyebaran virus di sekolah (BBC News Indonesia).
Lebih ditekakan pada mahasiswa bahwa “kampus akan menjadi modal yang sangat luar biasa untuk melakukan perubahan perilaku masyarakat. Sehingga mahasiswa dan dosen bisa menjadi agen perubahan di lingkungannya masing-masing” kata Nizam (krjogja.com).
Namun kenyataan berkata lain, semakin tingginya jumlah korban pada awal tahun ini begitu meresahkan sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan PSBB sebagaimana yang pernah dilakukan pada tahun 2020 yang mengakibatkan tertundanya pembelajaran secara luring atau campuran.
Bahkan untuk di beberapa desa yang sebelumnya telah menerapkan pembelajaran luring lagi, saat ini harus kembali dengan sistem daring. Juga pada kampus yang sebelumnya telah sedikit mempermudah izin keluar masuk kampus, saat ini kembali dibatasi.
Persepsi Mahasiswa
Tidak dipungkiri bahwa sebelum Covid-19 menyerang penduduk Indonesia, banyak mahasiswa yang berharap dapat kuliah di rumah atau tanpa harus lelah pergi ke kampus. Pada masa awal PSBB pun banyak mahasiswa yang senang dengan keadaan tersebut.
Namun seringkali realita tak sesuai ekspetasi. Banyaknya tugas yang ditanggung oleh mahasiswa serta minimnya sarana dan prasarana penunjang mengakibatkan mahasiswa kelabakan dalam mengerjakan tugas.
Adapun penelitian yang menyebutkan dalam jurnal bahwa 54.4% mahasiswa sulit memahami materi, kurangnya kedekatan atau ikatan emosional antara dosen dan mahasiswa 46%, tingkat kesulitan dalam pengerjaan tugas 56.5%, kurangnya keaktifan mahasiswa dalam forum pembelajaran 41%, serta sulitnya mendapat akses internet pada daerah tertentu 64.3%. (rahmawati dan Ns. Evita Muslima I.P. Learning From Home dalam Prespektif Persepsi Mahasiswa Era Pandemi Covid-19).
Kendala tersebut tentunya dapat mengakibatkan stres akademik di mana terdapat tekanan yang diakibatkan adanya perspektif subjektif terhadap suatu kondisi akademik.
Menurut Ade chita Putri Haraha, dkk. dalam jurnalnya tentang Analisis Tingkat Stres Akademik pada Mahasiswa Selama Pembelajaran Jarak Jauh dimasa Covid-19 terdapat 300 mahasiswa sebagai sampel penelitian, sebanyak 39 mahasiswa (13%) mengalami stres akademik tingkat tinggi, 225 mahasiswa (75%) tingkat sedang, dan 36 mahasiswa (12%) tingkat rendah.
Apabila e-learning terus dilakukan tentunya jumlah mahasiswa yang mengalami stres akademik akan terus meningkat. Sehingga perlu ditekankan pada tiap-tiap individu agar selalu mentaati protokol kesehatan. Terlepas dari percaya atau tidak dengan adanya Covid-19, alangkah lebih baik jika tetap melakukan preventif guna kebaikan bersama.
Oleh: Fonny Nur ‘Ainy Safitri (Mahasiswa Hukum Keluarga Islam Universitas Muhammadiyah Malang)