Polemik Rangkap Jabatan Risma

Rangkap Jabatan Risma

Modernis.co Malang – Polemik rangkap jabatan konstan menjadi entitas kritik masyarakat, terutama pada sebagian perkara yang terjadi pada masa Orde Baru. Rangkap jabatan seringkali diperdebatkan karena dengan paradigma seperti ini kerap dijadikan mesin politik, mesin dana untuk relevansi partai atau golongannya sendiri. Tak lama kasus konkret rangkap jabatan ini kembali terjadi kepada Wali Kota Surabaya.

Presiden RI (Joko Widodo) melantik secara resmi Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini (Risma) menjadi Menteri Sosial, di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/12/2020) serentak dengan 5 menteri baru yang lain. Polemik ini mengundang sorotan dari berbagai pakar dan pejabat yang lain, bagaimana tidak? Menteri Sosial ini dilantik pada saat masih mengemban amanah sebagai Wali Kota Surabaya.

Yang artinya dia merangkap jabatan pejabat Negara.
Rangkap Jabatan Wali Kota Surabaya dan Menteri Sosial Republik Indonesia diklaim melanggar dua undang-undang (UU). Dan dia pun juga dijuluki sebagai bus diberhentikan secara tidak hormat karena melanggar sumpah jabatan. Risma mengakui dan mengatakan, Presiden Joko Widodo telah mengizinkannya untuk sementara pulang pergi ke Jakarta dan Surabaya.

“Mungkin karena saya masih merangkap Wali Kota Surabaya sementara waktu, saya sudah izin Pak Presiden, ‘ndak apa-apa, Bu Risma pulang pergi.’ Kata Risma dalam pidatonya dalam serah terima jabatan Menteri Sosial di Gedung Kemensos secara Virtual, Rabu (23/12/2020).

Risma juga mengatakan akan pulang ke Surabaya untuk meresmikan jembatan, museum olahraga, dan agenda lain yang harus dihadirinya. “sayang kalau enggak saya resmikan (jembatan), dan mau meresmikan museum olahraga karena disitu ada jersey-nya Rudi Hartono, raketnya Budikusuma, saya ingin resmikan itu untuk anak-anak Surabaya” ujarnya.

Meskipun Presiden Joko Widodo menyepakati Risma untuk merangkap jabatan, namun tetap saja ini melanggar aturan undang-udang (UU). Pertama, pada Pasal 76 huruf h UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, berbunyi “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilarang: merangkap jabatan sebagai Pejabat Negara lainnya sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Kedua, pada Pasal 23 huruf a UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, berbunyi “Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: Pejabat Negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Keputusan Joko Widodo yang memperkenankan Risma untuk merangkap jabatan merupakan suatu ketentuan yang sangat tidak akurat. Karena preskripsi undang-undang tidak bisa dikesampingkan dengan persetujuan Presiden yang verbal.

Polemik ini kurang patut dan tidak etis, rangkap jabatan merupakan prosedur yang berpotensi akan terjadinya penyimpangan atau tumbuhnya konflik kepentingan, berupa bercampurnya sengketa hak dan yang batil. Konsep konflik kepentingan di Indonesia merupakan suatu hal yang lazim dan suatu hal yang lumrah.

Beberapa kasus kepentingan yang kerap terjadi dan ditangani oleh pelaksana Negara salah satunya yaitu rangkap jabatan di beberapa Lembaga atau instansi, baik yang berhubungan langsung maupun yang tidak langsung, sejenis maupun tidak sejenis. Sehingga memicu pemanfaatan suatu jabatan untuk kepentingan jabatan yang lain.

Rangkap jabatan dilihat dari berbagai persepsi (moral, etika, asas-asas umum pelaksanaan pemerintahan yang baik) sangat akurat dilarang. Sudah seyogianya hakikat etika pemerintahan budaya malu di dalam proses pelaksanaan pemerintahan yang harus diutamakan. Rangkap jabatan dengan alibi apapun pada akhirnya akan memicu potensi terjadinya konflik kepentingan yang akan menekan pada tindak pidana korupsi.

Untuk kelanjutan preskripsi mengenai rangkap jabatan harus menjadi arus utama isi materi perundang-undangan terlebih terkait undang-undang Pemilu, undang-undang pemilihan Presiden dan Kepala Daerah, undang-undang Aparatus Sipil Negara, dan undang-undang Pemerintahan Daerah agar secara eksplisit dilarang.

Bagi para Politisi yang insidental mengemban posisi jabatan publik, maka sudah seharusnya menanggalkan aspirasinya dan harus kembali menjunjung tinggi amanah dan nilai-nilai karakter jabatan yang diemban.

Memberikan ruang yang terbuka bagi segenap individu untuk meraih jabatan apapun juga harus menjadi hak setiap individu, tentunya dengan mengutamakan nilai-nilai profesionalitas atau kompetensi individu dalam memegang jabatan sebagai standar formal dan material untuk dijadikan acuan dalam menilai kelayakan seseorang dalam menjabat sebuah posisi dan jabatan, tanpa membedakan latar belakang dan afiliasinya.

Oleh : Nadia Alifianti Chafsah (Mahasiswa HKI UMM)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment