5 Fakta Menarik Kritikan Film Merah Putih: One for All, Maksa Tayang?

film merah putih one for all

Modernis.co, Jogjakarta – Penuh dengan kritikan tajam, Film animasi Merah Putih: One for All seperti “maksa tayang”. Padahal film “Jumbo” sudah menjadi angin segar, kenapa harus dirusak oleh kualitas film yang satu ini.

Film Merah Putih One For All, menjadi film paling polemik jelang peringatan hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Buktinya, meski dirilis dengan tujuan mulia untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan, film ini justru menuai kritik pedas dari berbagai pihak. Kenapa?

Film Merah Putih: One for All jadi pelajaran pada anak-cucu kita bahwa sebuah karya,harus mengedepankan etika berkarya dan membutuhkan kemampuan yang baik. Tidak apa-apa jika karya harus dimulai dari 0 yang membutuhkan waktu proses lebih lama, dan keinginan untuk terus belajar.

Film ini laku keras dalam tanda kutip ya, dikritik tajam dengan data, dugaan biaya besar tidak sesuai hasil, hingga tuduhan penggunaan aset online, menjadi pusat kekecewaan pecinta industri film animasi tanah air.

Penuh dengan kritikan, berikut adalah lima fakta menarik kontroversi seputar film animasi Merah Putih: One for All:

1.Dugaan Biaya Produksi Rp6,7 Miliar

Fakta menarik kritikan film Merah Putih One For All adalah adanya dugaan biaya pembuatan film yang mencapai Rp6,7 miliar. Dengan angka itu harusnya hasilnya 100 kali lipat lebih bagus.

Angka ini sontak menjadi perbincangan, sebab banyak yang menganggapnya tidak sebanding dengan kualitas visual yang ditampilkan. Kata Netizen dan konten creator “ya mending pake ai”. “kasih 1M akan ku guncang dunia sambil makan gorengan”.

Perdebatan pun pecah: mengapa dengan biaya sebesar itu, hasil animasinya terlihat jauh dari standar yang diharapkan? Menariknya, pihak produser film secara tegas membantah angka tersebut, menyebutnya sebagai “fitnah keji” yang merugikan.

2. Dugaan Menggunakan Aset Karakter dari Situs Online

Kritik tajam tidak hanya berhenti pada kualitas visual, melainkan juga menyoroti dugaan bahwa aset karakter dan latar film tidak dibuat secara orisinal. Yap bukan buatan sendiri, tapi comot.

Beberapa warganet dan pemerhati film menduga bahwa model 3D dan tekstur yang digunakan memiliki kemiripan dengan aset yang bisa diunduh atau dibeli dari situs-situs online.

Tuduhan ini menimbulkan pertanyaan besar tentang proses kreatif dan etika produksi, terutama jika dikaitkan dengan isu anggaran yang beredar.

3. Rating Jelek Animasi Buruk dan Gerakan Kaku

Mayoritas pemerhati dan warganet setuju jika kualitas film ini sangat jauh dari kata memuaskan. Gerakan karakternya yang kaku, minimnya pencahayaan.

Secara keseluruhan seperti proyek animasi yang belum selesai. Kayak nonton video jaman Bluetooth. Waktu ditonton seperti HP 3G kalau lagi ngelag.

Kritik ini tidak hanya datang dari warganet, tetapi juga disoroti oleh beberapa professional di industry kreatif dan anggota dewan, memperkuat dugaan bahwa ada masalah serius dalam proses pengerjaannya.

4. Dibuat Hanya dalam Waktu Singkat

Meski dibantah oleh produser, rumor tentang pengerjaan film yang terburu-buru menjadi salah satu fakta menarik yang banyak beredar. Beberapa pengamat film menduga bahwa durasi produksi yang tidak memadai menjadi salah satu faktor utama di balik kualitas film yang jauh dari harapan.

Masih ingat Jumbo, sebuah film animasi yang menjadi tolak ukur keberhasilan baru di Indonesia. Filmnya nggak kaleng-kaleng. Beda jauh sama film Merah Putih One For All. Jauhnya itu jauh buanget.

5. Kritik Pedas dari Berbagai Pihak, Termasuk Hanung Bramantyo

Belum selesai, kegemasan terhadap film Merah Putih One For All ini semakin membesar setelah sutradara ternama Indonesia, Hanung Bramantyo ikut berkomentar.

Hanung dengan gamblangnya menyebut bahwa film Merah Putih One For All sama sekali tidak merepresentasikan film animasi nasional yang berkualitas.

Banyak pihak menilai film ini malah merusak capaian para animator Indonesia yang telah berusaha keras meraih level tertinggi. Contohnya pada film “Jumbo”.

Pernyataan dari figur publik yang berpengaruh ini menambah bobot kritikan publik dan memicu diskusi yang lebih luas di media sosial tentang kondisi industri film animasi di Indonesia.

Film ini misterius, dan fatal untuk sebuah negara dengan industri animasi yang sudah cukup maju. Kemudian muncul tiba-tiba sebuah film dengan kualitas buruk yang memunculkan kekecewaan dan kekesalan baik di warga sipil maupun professional animator atau aktor tanah air.

Kalau sudah mendapatkan kritikan luar biasa dan digali kebobrokan dalam pembuatan dan hasilnya. Mengancam penurunan kualitas dunia animasi di Indonesia, apakah film ini akan tetap “maksa tayang”? (IF)

editor
editor

salam hangat

Leave a Comment