Modernis.co, Malang – Dalam pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, menyebutkan bahwa “Kedaulatan (Kekuasaan Tertinggi) berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945”. Secara logika, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Dari segi bahasa, yang disebut “pemerintah” hakikatnya adalah rakyat, karena kekuasaan tertumpu pada rakyat.
Sebagaimana kalimat “pemanah” yang berarti “orang yang memanah”, maka pemerintah adalah “orang yang memerintah”, tentunya yang dapat memerintah adalah mereka yang memiliki kekuasaan dalam hal ini adalah rakyat.
Dewasa ini, dengan perkembangan negara yang semakin kompleks, tentu tidak mungkin pemerintahan dijalankan langsung oleh rakyat, karena itu rakyat melalui pemilihan umum, memberi mandat atau amanat pada wakil-wakilnya, untuk mengemban amanah mewakili rakyat, memegang kekuasaan legislatif.
Kekuasaan legislatif mempunyai kewenangan membuat undang-undang sebagai sarana pemenuhan aspirasi dan kepentingan rakyat. Di Indonesia lembaga ini disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Akan tetapi, pelaksanaan tugas DPR sebagai pemegang amanat rakyat tentu tidak lepas dari kepentingan politik tertentu, sehingga berpengaruh pada kebijakan pengesahan Undang-Undang.
Seperti halnya pengesahan UU Cipta Kerja yang justru menimbulkan banyak kontroversi kritikan dari berbagai kalangan masyarakat, karena dinilai DPR tidak mewakili suara rakyat dalam membuat suatu peraturan perundang-undangan.
Hal itu menurut penulis tidak relevan dengan konsepsi dasar kedaulatan berdasarkan UUD 1945, dimana seharusnya perwakilan rakyat itu mewakili suara rakyat sebagai kekuasaan tertinggi di Negara Indonesia.
Kekuasaan Tertinggi
Dalam UUD 1945 kita mengenal mengenai demokrasi (dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat) dibuktikan dengan adanya pasal 1 ayat 2 yang menyebutkan kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945.
Namun nyatanya, yang terjadi adalah pelanggaran, sehingga kedaulatan tidak berada di tangan rakyat, kadang-kadang berada di tangan pelaksana perintah atau penyelenggara negara dan DPR/DPRD tingkat I/ DPRD tingkat II, dan partai politik.
Hal ini sangat riskan terjadi karena kekuasan legislatif dalam arti wakil rakyat mewakili semuanya, kekayaanya diwakilkan, kekuasaanya diwakilkan bahkan rakyat hanya menerima sisanya.
Bila melihat kondisi indonesia kini, demokrasi dijalankan secara murni ketika pemilu, akan tetapi ketika kebijakan disahkan, rakyat tidak dilibatkan, hal ini bisa kita katakan bahwa Indonesia tidak konsisten, di satu sisi ingin menjalankan demokrasi secara murni akan tetapi kenyataan yang terjadi membuat demokrasi hanya milik golongan tertentu saja.
Rakyat Prioritas Utama
Melihat kondisi dan situasi negara yang hari ini terlihat kacau dalam pengambilan kebijakan pemerintah yang sering mengambil keputusan secara sepihak dan tertutup, tanpa melibatkan kalangan masyarakat dan dirasa tidak mewakili rakyat. Hal ini akan menyebabkan kemunduran sebuah negara.
Mengapa demikian? Karena pada dasarnya kewajiban sebuah negara adalah untuk menyejahterakan rakyatnya. Apabila rakyat sejahtera, maka negara dipastikan maju, begitupun sebaliknya.
Sebenarnya Trias Politika sebagai konsepsi pemerintah Indonesia menurut penulis tidak relevan, karena berdasarkan teori dari Trias Politika tersebut, muncul dua teori umum yang digunakan atau yang terkenal yaitu teori yang pertama kali ada yang dikeluarkan oleh seorang tokoh kelahiran inggris yaitu Jhon Locke.
Teori ini mengajarkan konsep Trias Politika dengan konsep pembagian kekuasaan, yang berarti dalam hal ini kesemua unit kekuasaan karena pembagian dapat saling memasuki ranah tersebut, misalnya kekuasaan eksekutif mencampuri kekuasaan yudikatif, ataupun yang lainya. Dalam konsep tersebut Locke membaginya kepada tiga yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federatif.
Namun teori kedua muncul dengan tokoh Montesquieu dengan konsep yang dibawa adalah pemisahan kekuasaan, yang pada dasarnya memisahkan setiap kekuasaan dalam arti salah satu kekuasaan tersebut tidak dapat mencampuri urusan kekuasaan yang lainya tidak seperti konsep yang ditawarkan oleh Jhon Locke. Dengan membagi kekuasaanya kepada legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif.
Ketika kita berbicara mengenai konsep Trias Politika yang ada di Indonesia, rasanya kita dapat berkesimpulan bahwa Indonesia memakai konsep campuran antara konsep Jhon Locke dengan pembagian kekuasaanya, dan konsep Montesquieu dengan konsep pemisahan kekuasaanya.
Pada dasarnya Indonesia membagi kekuasaan dengan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif sesuai dengan konsep Montesquieu, namun pada tataran pelaksanaan ketiga kekuasaan tersebut Indonesia mengadopsi konsep daripada Jhon Locke. Hal ini dapat dibuktikan adanya campur tangan eksekutif ke yudikatif dengan adanya grasi dan lain sebagainya, begitupun sebaliknya.
Meskipun secara konsep ketatanegaraan, Indonesia memakai konsep pemerintah campuran, akan tetapi harapan penulis semoga tulisan ini bermanfaat serta dapat membuka pola pikir ketiga pemegang kekuasaan dalam konsep pemerintah tersebut terkhusus kekuasaan legislatif yaitu DPR yang mewakili rakyat, agar memprioritaskan kebutuhan rakyat.
Oleh : Agnia Martha Yualia (Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Islam Universitas Muhammadiyah Malang)