Modernis.co, Jakarta — Muhammadiyah tidak akan terpisah atau dipisahkan dengan politik. Bagaimanapun politik itu adalah hulu dari segala kebijakan. Hanya saja kegiatan politik Muhammadiyah adalah politik yang bermartabat dan tidak akan mengorbankan nilai kepatutan dan keislaman.
Saat ini ada dua kelompok dalam internal Muhammadiyah yang memandang soal politik. Kelompok pertama menginginkan Muhammadiyah terlibat dalam politik praktis, karena mereka menganggap tanpa mengambil politik praktis maka Muhammadiyah akan kesulitan memperjuangkan kepentingan umat Islam dalam ranah publik.
Sedangkan kelompok yang kedua tidak ingin Muhammadiyah terlibat pada politik praktis karena hanya akan membuat tarik menarik kepentingan yang hanya akan membuat kerugian dalam Muhammadiyah. Muhammadiyah sebenarnya tidak pernah melarang kadernya untuk terjun di kancah politik praktis bahkan mendukung kadernya untuk berkiprah di ranah politik.
Hanya saja ketika sudah masuk ke dalam ranah politik maka kepentingan itu praktis jangan dibawa ke dalam tubuh persyarikatan dan tetap menjunjung tinggi akhlak sesuai dalam bingkai Muhammadiyah.
Dengan melihat langkah gerak Muhammadiyah mengenai politik tersebut agar anggota Muhammadiyah yang aktif dalam partai politik jangan sampai mencampuradukkan dan membawa kepentingan dan pemikiran ke dalam Persyarikatan. Lebih jauh lagi ketika konflik kepentingan dan pemikiran haruslah mengutamakan dan membela Muhammadiyah.
Dalam bidang politik Muhammadiyah berusaha sesuai dengan kaitannya dengan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dalam arti yang sebenar-benarnya Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil secara operasional dan secara konkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945.
Menjadi masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera, bahagia, material dan spiritual yang diridhoi Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha itu Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada khittahnya. Bahkan banyak orang yang membicarakan bahwa dakwah amar ma’ruf nahi mungkar yang telah menjadi khittah Muhammadiyah sejak awal dimaksudkan untuk membatasi gerakan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah dan sosial semata. Gerakan Muhammadiyah merupakan pada wilayah state of mind patronase kultural atau politik petinggi Muhammadiyah tidak mudah untuk bagiku ditaati
Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia tentu saja keberadaan Muhammadiyah di tengah kancah kehidupan berbangsa dan bernegara cukup diperhitungkan. Muhammadiyah mempunyai anggota mencapai 30 juta. Secara politis angka 30 juta itu sangat strategis. Relasi Muhammadiyah dan politik memiliki akar sejarah yang panjang.
Dalam pandangan para pakar. Akar genealogisnya dapat ditarik ke belakang yakni sejak kelahiran gerakan ini pada 1912 atau bahkan sebelum tahun 1912.
Dalam perkembangannya, relasi dengan politik banyak ditentukan oleh konteks sosio-kultural. Sehingga memberikan respons terhadap proses perubahan politik dan terlibat aktivitas di dalam nya.
Muhammadiyah menganut prinsip netral dalam politik. Para anggotanya di berikan kebebasan untuk memilih gerakan politik yang sesuai dengan kecenderungannya. Prinsip ini telah diputuskan dalam kongres di Surakarta pada 1912. Bahwa ”Muhammadiyah mengutamakan salah satu partai politik Indonesia dan melebihkan partai lainya. Muhammadiyah menghormati para partai-partai itu secara sepadan. Muhammadiyah sendiri akan mengutamakan peran serta dalam melaksanakan kewajiban mempertahankan keselamatan tanah air Indonesia.
Sejak berdiri pada tahun 1912 menurut Syarifuddin Jurdi Muhammadiyah telah menunjukan partisipasi politiknya dalam kehidupan kenegaraan. Partisipasi politik tidak dimaksudkan sebagai upaya untuk merebut kekuasaan tetapi memiliki makna yang luas bagi upaya gerakan ini dalam menggarap bidang sosial kemasyarakatan. Keterlibatan itu memiliki kaitan dengan orientasinya pada lapangan sosial yang digarapnya.
Ketika pemerintahan Hindia Belanda mengambil kebijakan diskriminatif terhadap Islam, Muhammadiyah merespon secara kritis dengan tetap mengedepankan sikap moderat. Muhammadiyah memberikan reaksi jelas terhadap kebijakan pemerintah yang membiarkan kegiatan misi katolik dan protestan melakukan kegiatan di hampir seluruh wilayah kekuasaan pemerintah. Kebijakan memberikan subsidi yang tidak proporsional antara sekolah Kristen dan sekolah-sekolah yang dikelola pribumi dan muslim.
Dalam sejarahnya Muhammadiyah mengambil kebijakan yang kontras dengan sikap umat Islam lainnya terutama dalam soal menerima subsidi pemerintah untuk sekolah-sekolah lainnya, ketika SI dan Taman Siswa menolak untuk subsidi tersebut sikap menerima barang subsidi disebut juga dengan nasionalisme.
Sikap kooperatif dan akomodatif terhadap pemerintah ditandai dengan kesediaan Muhammadiyah menerima subsidi untuk sekolah-sekolah yang dikelolanya, atas sikap ini Muhammadiyah dituduh oleh sesama gerakan Islam dan kebangsaan sebagai sikap yang nasionalis atau bahkan antinasionalis.
Muhammadiyah berkeyakinan bahwa misi besar untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Diperlakukan aliansi dengan berbagai kalangan termasuk pemerintahan. Hal ini penting mengingat aktivitas sosialnya bergantung pada regulasi dan kebijakan pemerintah. Bagaimanapun sikap netral ini dalam perkembangannya mengalami dialektika. Terutama ketika iklim politik memungkinkan bagi keterlibatan gerakan Islam yang dimanfaatkan sebagai dakwah.
Aktivitas politik diperlukan untuk mempermudah kerja dakwahnya. Bagaimanapun Muhammadiyah berhasil dalam menjalankan aktivitas sosial kemasyarakatan. Apabila pemerintah membuat regulasi yang membatasi kiprah dan bahkan mengkooptasi aktivitasnya. Tentu hal ini tidak banyak memberikan manfaat bagi kepentingan Muhammadiyah .
Pendirian netral terhadap politik dengan tidak mengistimewakan atau melebihkan partai tertentu. Mengabaikan yang lain sembari memberi kebebasan kepada setiap warganya untuk melibatkan ataupun tidak dalam politik kepartaiannya. Merupakan sikap moderat Muhammadiyah. Gerakan ini menghormati partai-partai yang ada di Indonesia yang secara wajar dan sepadan. Muhammadiyah juga sendiri akan terus mengembangkan peran sertanya dalam melaksanakan kewajiban untuk mempertahankan keselamatan tanah air.
Oleh: Samsul Hidayat (Aktivis IMM Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta)