Modernis.co. Jateng — Ditengah kebisingan politik dalam negeri (baca : ngeri), oligarki kapitalis dan pengapnya praktik suap menyuap. Seakan zamannya masih zaman orba, atau jangan-jangan neo-orbaisme. Ah, jangan mengada-ngada.
Barangkali Indonesia memang merindukan sosok pemimipin dengan jiwa besar. Jiwa kepemimpinan itu pernah ada disosok A.R Fachrudin. Tiga kata yang menggambarkan; kesederhanaan, kejujuran, dan keikhalasan, setidaknya itu juga yang disampaikan oleh Amien Rais ketika memberikan sambutan pada pemakaman Pak AR-begitu ia biasa disapa- di Jogja .
Gaya Hidup Pak AR
“Simon, Pak AR itu orang besar. Pak Harto saja sangat hormat kepada Pak AR,” kata Mas Podo. Pak AR itu Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah — tambah orang Madiun dengan logat Jawa yang medok.
…
“Kenapa demikian? Karena keseharian hidup Pak AR sangat sederhana. Kemana-mana naik Yamaha warna oranye engkel tahun 70-an. Suaranya sudah kretek-kretek karena terlalu tua.
Apalagi kalau boncengan sama Bu AR, joknya gak cukup, sampai bokong Bu AR nyaris menduduki lampu belakang motor.” Tulis Syaefudin Simon pada kolom Republika yang juga pernah menepati rumah kos milik pak AR di Jogja. Ia tak pernah mengira pemimpiun ormas islam besar di Indonesia itu hidup seperti orang biasa pada umunya.
Dikutip dari suaramuhammadiya.id pernah suatu ketika Pak AR naik motor bututnya menuju Panjangan, Bantul. Ditengah perjalanan motornya mogok. Lalu bertemu dengan orang yang rupanya sudah sangat kenal.
“Loh, Pak AR kok motornya dituntun ?” tanya orang itu
“Kalau tidak dituntun takut nanti ngamuk” canda pak AR
Seketika orang itu ngakak bukan main. Barangkali susah dibayangkan, bagaimana pemimpin elit Muhammadiyah itu menuntun motor butut. Pemandangan langka kalau di masa sekarang.
Pak AR sebenarnya mendapat tawaran mobil, namun ia tolak dengan dalih yang sederhana. Seperti yang diceritakan Syaefudin Simon.
“Piye tokh, nyopir mobil saja ra iso (Bagaimana ya, nyopir mobil saja gak bisa). Parkirnya sulit. Repot kalau bawa mobil. Apalagi kalau harus masuk ke kampung-kampung di pinggir Kali Code untuk ceramah. Jalannya sempit gak bisa untuk mobil,” kata Pak AR.
“Jadi saya menolak hadiah mobil sedan Toyota itu,” ungkap Pak AR enteng. Di samping tak bisa nyopirnya, uang untuk bensin dan memeliharanya juga gak ada. “Repot!”, katanya singkat.
Diplomasi Cair Pak AR
Sosok sederhana Pak AR membuatnya bergaul dengan banyak kalangan. Dari orang biasa, cendikawan, ulama sampai penguasa. Bahkan Pak Ar dekat dengan Presiden Soeharto. Pak Harto mengaku senang dengan Pak AR, lantaran cara menjalin hubungan tidak ada keinginan apapun. Bahkan ketika ditawari Pak Harto rumah, mobil, sampai jabatan menteri, semuanya ia tolak. Kecuali jika Pak harto memberikan sumbangan untuk Muhammadiyah.
Alasannya pun sederhana, “saya cukup ngurus Muhammadiyah aja Pak Harto, terimakasih”.
Memang Pak AR mengindahkan pesan Ahmad Dahlan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”. Nampaknya teladan ini perlu untuk kader yang kini terkesan pragmatis.
Kedekatan dengan Pak Harto tidak dimanafaatkan untuk kepentingan peribadi. Namun ia tujukan untuk kehidupan Muhammadiyah. Ketika merintis pembangunan kampus UMJ. Pak AR kirim surat kepada Pak AR. Isinya sederhana bahkan menggunakan bahasa jawa.
“Pak Harto, Muhammadiyah bade membangun universitas di Yogya. Menawi Bapak kerso, monggo. (Pak Harto, Muhammadiyah akan membangun universitas di Yogya. Kalau bapak berkenan menyumbang, silahkan). Alhasil, pak harto kirim cek untuk pembangunan UMY.
Begitulah sosok besar yang pernah dimiliki Muhammadiyah dan bangsa Indonesia, selalu saja kisahnya meninggalkan teladan hingga melintasi zaman. Pak AR adalah sosok yang penting di republik ini, namun tetap low profile, karena memang sifat tawadlu’-nya kepada semua orang.
*Pegiat Darwis Foundation (Kader PC IMM Ahmad Dahlan Surakarta).