Terlelap Tidur

terlelap tidur

Mahasiswa anak alay dan tongkrongan

Cangkir kopi, gelas changyang dan pacaran

Mengepul, menantang kehidupan

Coba, coba kita terka masa depan

Mahasiswa tugas tugas perlombaan

Keacuhan dan miskinnya kesadaran

Realitas dan hancurnya generasi

Coba kita terka masa depan

Indonesia bagaimana?

Indonesia apa kabarnya?

Ditangan pemuda pemudi hedonis

Merancang masa depan secara kronis

Kapitalis diketiak imprealis

Neoliberalis meludahi mimpi negeri

Bagaimana kisah selanjutnya

Coba kita tanya para pemudanya

Apa kabar kaum muda?

Bagaimana mimpi kita?

Melacurkan kita dengan kehidupan

Memampatkan kepedulian dan pentingkan kebohongan

Teman-teman sudah mahasiswa? Sambut salam mahasiswa dan salam atas nama perjuangan dan esensi kebermanfaatan untuk mahasiswa. Hidup mahasiswa! Hidup mahasiswa!. Dan  terpenting mudah-mudahan kaum yang kita perjuangkan adalah rakyat. Hidup rakyat! Hidup rakyat!

Kira-kira itu gambaran singkat saat panitia pengenalan mahasiswa baru berteriak dengan semangat-Nya didepan puluhan ribu mahasiswa baru. Semoga tidak menjadi teks tua nan lapuk untuk dibaca serta diterapkan. Telah dikenal oleh khalayak ramai bahwasanya teman-teman sekarang sudah menjadi akademisi yang mengemban amanah umat. Tetapi apakah teman-teman tahu asal kata akademisi?

Dulu, para filsuf Yunani berkumpul diatas gunung Akademos, pada waktu itu mereka membahas masalah negara. Dan tidak lama setelah perkumpulan itu terbentuk, mereka semua dibubarkan oleh para penguasa karena mereka mengadakan sebuah pertemuan yang membahas negara diluar bahasan kepala negara serta struktural negara terkait. Sehingga mereka dianggap ancaman bagi negara dan untuk pertama kalinya mereka disebut sebagai akademisi.

Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) atau Badan Kordinasi Kemahasiswaan (BKK) tidak muncul tiba-tiba. Peristiwa panjang dan penuh dinamika menjadi pemicu, terutama setelah mahasiswa yang dibantu militer berhasil menumbangkan Orde Lama pimpinan Presiden Soekarno.

Organisasi mahasiswa seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) atau Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), tumbuh subur. Kaderisasi pun berjalan baik. Hal ini menjadikan kritik terhadap pemerintah oleh mahasiswa ikut subur, melalui berbagai aksi unjuk rasa. Misalnya saja, saat mahasiswa mengkampanyekan Golongan Putih pada Pemilu 1971, setelah pemilu dianggap tidak lagi berjalan jujur dan adil. Aksi mahasiswa semakin meluas saat pemerintah akan membangun Taman Mini Indonesia Indah pada 1973.

Hingga puncaknya terjadi pada protes mahasiswa terhadap dominasi modal asing di Indonesia pada 15 Januari 1974. Peristiwa “Malapetaka 15 Januari” atau Malari itu bertepatan saat Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka mengunjungi Ibu Kota. Kebijakan NKK/BKK berlaku resmi setelah Mendikbud Daoed Joesoef mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus. Ini menyebabkan kampus jadi kawasan steril dari aktivitas politik.

Dengan SK itu, mahasiswa tidak boleh melakukan kegiatan bernuansa politik. Jika ada yang nekat, sanksi keras berupa pemecatan sudah disiapkan oleh birokrasi kampus, yang juga ditekan pemerintah. Kebijakan  itu pun disertai pembubaran Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa di tiap perguruan tinggi. Ini ditandai dengan Surat Keputusan Nomor 037/U/1979 tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan yang berhasil menghilangkan aktivitas politik dan organisasi mahasiswa di kampus.

Tahun 1998 mahasiswa turun ke jalan mereka ditembaki, peluru-peluru masuk ke kepala mereka. Dan berlanjut ke periode berikutnya diskriminasi dengan cara halus pun tetap dilakukan. Baru saja 2018 ini, teman-teman kita dari Universitas Muhammadiyah Semarang dipenjara selama 2,5 tahun karena dituduh merusak fasilitas umum, umum milik siapa? Milik tuhan yang ber-Uang.  

Karena bersikeras membela membela masyarakat terkena dampak polusi pabrik, sialnya membunuh janin tak berdosa, anak sekolahan mimisan, asma dan sesak nafas yang bertambah, dan membunuh balita 9 bulan. Padahal hak publik yang disuarakan, kenapa malah suaranya dibungkam lalu dipenjara.

Begitu pun teman-teman kita di Universitas Negeri Semarang. Juga menyuarakan hak temanya untuk mendapatkan UKT, mendapatkan pendidikan yang layak tanpa kemahalan, tanpa uang pangkal. Nasibnya sama, suaranya dibungkam lalu diskors 2 semester.

Jumlah mahasiswa semakin hari bertambah hanyalah casing. Mereka meratap serta mengeluh karena biaya perkuliahan melangit tak pandang bumi. Lalu ada pernyataan “Ngapain masuk universitas kalau gak punya uang”?. Bukan hanya masalah itu, ada 1000 bapak dan ibu yang mencari serta mengais untuk mencari uang tetapi apa daya SDM dan SDA yang dikelola namun bukan untuk golongan underground. Yang seharusnya ada 1000 pemimpin-pemimpin muda Indonesia harus dicetak kampus tetapi tidak mampu.

Ada 1000 atau bahkan lebih harapan yang harus diciptakan, tetapi pergi singsingkan lengan karena egoisme para birokrat pendidikan. Kampus didesain menjadi mall, restauran, dan hotel bintang lima yang serba mahal. Sehingga orang miskin takut untuk melirik. bukan hanya melirik bermimpi saja takut.

Salam dari bapak Wiji Thukul seorang sastrawan dan aktivis hak azasi manusia, apa kabarnya? Salah satu warga solo raya dinyatakan menghilang karena melawan tirani 1998. Fajar merah, anak dari Wiji Thukul mengatakan bahwa. “kebenaran tidak akan pernah mati, karena kebenaran tidak akan pernah hilang dan selalu ada, sekuat apapun kita menggenjet kebenaran maka membesar, semakin besar, tidak hanya dalam kepala kita tetapi dalam ideologi kebenaran yang kita suarakan”.

Kebenaran tanpa politisasi, maka tugas dan tanggung jawab kita sebagai akademisi untuk menjawab seruan yang diwariskan secara turun-temurun sejak pertama kali kata akademisi di cetuskan di dunia ini, menjadi mitra kritik pemerintah yang menjalankan drama kotor di kenegaraannya.

Kembali melirik daerah timur Jawa, ada universitas Muhammadiyah Malang yang dikenal dengan jas merah kampus putih. Baru ini ada tiga jurusan (Biologi, Peternakan dan Managemen,) yang meraih pengakuan internasional, teman-teman coba kita kembali berkhalwat dengan jiwa dan bertanya kepadanya, internasionalisasi apa yang kita banggakan? Kalau biaya kuliah semakin mahal, banyak amal usaha Muhammadiyah tetapi mahasiswa malu berkunjung menengok rumahnya. Malah mahasiswa semakin apatis, mereka tidak tahu kalau mereka diperas secara organisir. Kita sibuk meraih gelar, dan lupa kepada siapa gelar itu berkiprah.

Maka seyogyanya setiap mahasiswa harusnya paham akan siapa dan tugas akademisi, sehingga sentimen primordial ideologi bisa dikesampingkan, menyatukan suara dan langkah untuk menyuarakan hak-hak mahasiswa dan rakyat. Ini bukan seruan agitasi untuk demonstrasi, tetapi seruan untuk bangkit melawan dengan cara yang hikmah dan berdialog dengan cara yang Ahsan (Baik).

*Oleh : Mahdi Temarwut (Aktivis IMM Komisariat Tamaddun FAI UMM) 

Related posts

Leave a Comment