Modernis.co, Malang – Tiga mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), memulai Praktik Kerja Profesional (PKP) di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PDM Kota Malang.
Kegiatan magang selama 30 hari kerja yang dimulai pada 16 Juli 2025 ini menjadi wadah bagi para mahasiswa untuk mengaplikasikan teori hukum yang telah dipelajari di bangku kuliah ke dalam kasus nyata.
Tiga mahasiswa tersebut adalah Ali Zulfikar, Habib Mubaraq, dan Farid Maulana yang terlibat dalam penanganan permohonan pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) oleh salah satu sekolah Muhammadiyah yang ditolak oleh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Malang.
Bapenda menolak permohonan tersebut dengan dua dalil utama: pertama, sekolah Muhammadiyah dianggap tidak memenuhi kriteria wajib pajak yang dikecualikan karena masih memungut biaya pendidikan; kedua, objek pajak tidak melayani kepentingan umum karena hanya terbatas pada peserta didik. sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Malang No. 4 Tahun 2023.
Dalam proses perkara ini, ketiga mahasiswa dibimbing langsung oleh Advokat Pendamping LBH Muhammadiyah Firdaus, S.H., S.H. dalam menganalisis dalil jawaban dari Bapenda dan argumentasi hukum di baliknya.
“Yang harus diperhatikan adalah, apakah dalil argumentasi tersebut punya dasar hukum? Dan jika ada, apakah sesuai dengan dasar hukum yang digunakan?” ujar Firdaus dalam sesi diskusi.
Untuk mendalami perkara, para mahasiswa ditugaskan membuat tabulasi aspek penting dari dalil yang disampaikan Bapenda, termasuk penafsiran frasa “kepentingan umum” dalam Perda No. 4 Tahun 2023.
Ketiga mahasiswa kemudian dibagi tugas untuk menganalisis lebih lanjut Ali Zulfikar menganalisis Perda No. 4 Tahun 2023, khususnya pada pasal-pasal yang berkaitan dengan pengecualian objek PBB.
Habib mendalami peraturan Kementerian Pendidikan Nasional tentang definisi dan pengelolaan pendidikan dan Farid meneliti ketentuan perundang-undangan tentang kewenangan penafsiran hukum.
Dalam proses diskusi, Ali Zulfikar menyoroti bahwa penafsiran sepihak Bapenda terhadap frasa “kepentingan umum” dalam Perda No. 4 Tahun 2023 tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Ali Zulfikar menambahkan kritik terhadap ketidakjelasan klasifikasi dan ukuran dari istilah “kemakmuran rakyat banyak” yang digunakan oleh Bapenda. “Ukuran ‘rakyat banyak’ itu seharusnya jelas. Apakah lebih dari tiga orang? Lima? Seratus? Perda ini tidak menyebutkan angka pasti. Maka, tafsir Bapenda menjadi sangat subjektif,’’ tegas Ali.
Sementara itu, Habib menganalisis Peraturan Kementerian Pendidikan Nasional dan menyimpulkan bahwa semua lembaga, termasuk swasta, berhak mengelola pendidikan. pentingnya memahami tafsir frasa “kepentingan umum” dan bagaimana penggunaannya dalam konteks hukum pajak.
“Frasa ‘kepentingan umum’ harus dianalisis secara mendalam. Apakah benar sekolah swasta tidak termasuk dalam kategori tersebut?” Dengan demikian, sekolah swasta seharusnya masuk dalam kategori lembaga yang melayani kepentingan umum dan berhak atas pembebasan PBB,” ungkap Habib.
Analisis dari Farid juga memperkuat argumen tersebut. Ia berpendapat bahwa kewenangan menafsirkan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan berada di tangan lembaga legislatif dan yudikatif, bukan Bapenda.
“Siapa yang berwenang menafsirkan norma hukum? Harusnya lembaga legislatif atau yudikatif, bukan eksekutif. Tafsir sepihak oleh Bapenda berpotensi melanggar asas legalitas dan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (3),” tambahnya.
Melalui keterlibatan langsung dalam perkara nyata bersama praktisi hukum, mahasiswa diharapkan mampu mengembangkan kompetensi profesional dan integritas akademik yang kuat di masa depan. (AZ)