Modernis.co, Jakarta – Sebuah kehancuran konstitusi jika para anggota DPR sebut rakyat tolol dan brengsek. Ini adalah tanda kesombongan luar biasa dari mereka.
Kualitas pemerintahan di suatu negara dapat diukur dari satu hal kecil seperti pola atau gaya komunikasi para pemangku kebijakan. Komunikasi antara pejabat negara dan rakyat di ruang publik harusnya didasari oleh etika dan saling menghormati.
Namun tidak jarang kita menemukan pejabat yang melontarkan hal yang membingungkan dan bias, serta kata-kata kasar atau menghina kepada publik yang seharusnya mereka layani.
Kasus pernyataan “tolol” dan “brengsek” oleh anggota DPR (tidak pantas) Ahmad Sahroni terhadap rakyat menjadi salah satu contoh nyata bahwa kualifikasi untuk posisi ini harus dikaji ulang dan ditingkatkan.
Kata-kata merendahkan dan menganggap sepele hajat rakyat kerap digunakan oleh pejabat publik. Bahkan pemerintah tertinggi pun pernah mengucap “Ndasmu!”. Tidak heran jika bawahannya di DPR sebut rakyat tolol dan brengsek.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar di seluruh penjuru negeri. Bagaimana bisa seorang pejabat publik yang harusnya memiliki kualitas mumpuni justru menggunakan bahasa seperti orang tidak berpendidikan?
Berikut adalah lima alasan yang sering menjadi pemicu di balik penggunaan kata-kata kasar oleh pejabat publik.
1. Frustrasi dan Respons Emosional
Pejabat publik yang tidak memiliki kompetensi dan kualitas memadai seringkali merasa frustasi. Emosi mereka tidak stabil dan ini sebenarnya menjadi tanda bahwa mereka tidak pantas di posisi itu.
Pejabat yang tidak berkompeten selalu merasa berada di bawah tekanan tinggi dari berbagai pihak, baik dari media, kritik oposisi, maupun tuntutan masyarakat. Justru lucunya ada anggota DPR sebut rakyat tolol dan brengsek.
Ketika menghadapi kritik yang dianggapnya tidak adil, tidak berdasar, atau berulang-ulang, pejabat bisa merasa frustasi. Padahal kritik yang ada muncul karena ulah mereka sendiri yang tidak bisa bekerja.
Respons yang muncul bukan lagi berdasarkan nalar jernih atau data, melainkan emosi karena para pejabat tidak memiliki emosi yang stabil sehingga mudah baper kekanak-kanakan.
Kata-kata kasar seringkali keluar sebagai luapan emosi sesaat tanpa memikirkan dampaknya. Bahkan kalimat yang muncul justru lebih tidak berdasar dan tidak bermutu.
2. Merasa Berada di Atas Kritik
Banyak pejabat yang memiliki ego besar dan merasa bahwa posisi mereka sudah sangat tinggi untuk tidak perlu mendengarkan kritik dari “rakyat biasa”.
Orang kantor mereka saja ditembok beton yang tebal dan tinggi, bagaimana mereka bisa mendengar dan melihat. Kehidupannya serba mewah dan penuh unfaedah, sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan rakyat.
Pandangan ini membuat mereka menganggap kritik sebagai serangan pribadi, bukan masukan pada dirinya sebagai pejabat publik.
Ini adalah cara berpikir pejabat tidak berkompeten. Gimana mau kompeten, syarat jadi pejabatnya saja masih abal-abal. Rakyat akan mengingat betul bahwa ada anggota DPR sebut rakyat tolol dan brengsek.
Rasa superioritas ini membuat mereka tidak sungkan untuk membalas dengan kata-kata yang merendahkan sampai menyebut rakyatnya tolol dan brengsek.
Bagi mereka kata-kata kasar adalah cara untuk menunjukkan siapa yang memiliki kekuasaan dan siapa yang harus didengarkan. Mereka lupa bahwa kekuasaan tertinggi adalah rakyat, mereka hanyalah jongos atau pelayan rakyat. FK!
3. Kurangnya Empati Terhadap Realitas Publik
Pejabat publik seringkali hidup dalam ruang kenyamanan yang dipenuhi hak atau fasilitas istimewa dari negara. Ini berbanding terbalik dengan realitas yang dialami masyarakat umum.
Sehingga mereka tidak memahami betapa beratnya kehidupan rakyat sehari-hari, yang membuat mereka sulit bersimpati.
Kurangnya empati ini menyebabkan mereka tidak bisa memahami mengapa kritik begitu kuat dilontarkan. Lagi-lagi karena mereka tidak kompeten akhirnya baper.
Mereka cenderung melihat kritik sebagai bentuk ketidakmampuan atau kebodohan, alih-alih sebagai cerminan kekecewaan yang mendalam.
4. Keinginan untuk Membangun Citra “Tegas”
Beberapa pejabat publik mungkin sengaja menggunakan bahasa yang keras dan lugas untuk membangun citra sebagai sosok yang “tegas”, “apa adanya”, atau “tidak basa-basi”.
Sayangnya mereka hanya berpikir pendek dan mudah tersulut emosi tidak berdasar. Mereka tidak terlalu berkompeten untuk menjadi sosok yang tegas. Mungkin mereka berpikir jika DPR sebut rakyat tolol dan brengsek adalah hal hebat, itu salah besar. Justru jadi hal paling konyol sedunia akhirat.
Mantan preman, narapidana, koruptor, tidak lulus sekolah bisa menjadi pejabat di Indonesia. Hasilnya pun akhirnya terlihat dari bobroknya instansi-instansi pemerintahan.
Mereka yang berasal dari latar belakang buruk tentu akan bersikap sebagai pemimpin yang kuat dan berani. Tapi dengan cara yang salah dan justru menjadikan rakyat sebagai musuh. Ini pemikiran sesat!
Namun alih-alih terlihat tegas cara komunikasi seperti ini justru menunjukkan ketidakmampuan dalam mengelola emosi, belum pernah sekolah, tidak bisa komunikasi publik, tidak berkompeten, dan menjijikkan.
5. Gagal Menemukan Saluran Komunikasi yang Tepat
Di era digita setiap orang bisa berkomentar langsung kepada pejabat. Namun, tidak semua pejabat memiliki kemampuan untuk menanggapi komentar publik dengan bijak.
Mereka mungkin gagal menemukan saluran atau cara komunikasi yang tepat untuk menjelaskan kebijakan atau membela diri secara efektif.
Akibatnya mereka mengambil jalan pintas dengan merespons secara reaktif dan menggunakan kata-kata yang tidak pantas. Akhirnya respon kekanak-kanakan mereka justru mencederai rakyat. Kok bisa pemimpin bobrok banget gini ngomongnya?
Fenomena ini menjadi pengingat bahwa jabatan publik tidak hanya menuntut kemampuan teknis, tetapi juga kematangan emosi, etika, dan kemampuan berkomunikasi yang baik, serta pernah belajar di sekolah dengan baik.
Kekuasaan tidak seharusnya menjadi alasan untuk merendahkan masyarakat. Kasus Ahmad Sahroni harus membuat para pejabat yang lain mulai malu. Malu telah memiliki rekan kerja seperti Ahmad Sahroni.
Untuk para anggota dewan dan semua pejabat pemerintahan yang masih sehat dan punya kompetensi di posisinya, tunjukkan dengan kinerja. Kerja saja yang bagus wahai pelayan rakyat. Jangan korupsi dan hilangkan tunjanganmu tidak berguna dari uang pajak kami.
Jangan seperti Ahmad Sahron Sahron yang membuat rakyat selalu ingat akan bobroknya lembaga pemerintahan. Dimulai dari DPR sebut rakyat tolol dan brengsek. (IF)