Modernis.co, Jakarta – Tulisan ini sebagai bentuk respon terhadap tulisan yang berjudul “Jangan Jadikan IMM Sebagai Komoditas Politik” yang ditulis oleh IMMawan Muhammad Adam Ilham Mizani (Aktivis DPD IMM dan PWPM Jawa Tengah). Tulisan tersebut diterbitkan di modernis.co pada 12 Januari 2024.
Mulanya saya mengira tulisan tersebut bermuatan objektif, jika dilihat dari judulnya. Secara prinsip saya setuju bahwa IMM harus dihindarkan dair money oriented dan ambisi kekuasaan yang berlebihan. Bahwa IMM harus mengedepankan politik nilai, mengedepankan gagasan, dan berkarya adalah suatu hal yang harus diprioritaskan.
Namun setelah membaca isinya secara utuh, saya cukup kecewa karena bermuatan tendensius dan informasi yang kurang tepat. Lebih daripada itu, Adam Ilham diketahui menjadi simpatisan Capres (Calon Presiden)-Cawapres (Calon Wakil Presiden) nomor urut 1. Tentu saja Rasa kekecewaan saya terhadap tulisan IMMawan Adam semakin bertambah. (silahkan dibaca tulisan IMMawan Adam pada tulisan berjudul Jangan Jadikan IMM Sebagai Komoditas Politik
Seharusnya IMMawan Adam menempatkan IMM pada posisi tengah-tengah, tetapi justru saya menemukan narasi yang tendensius. Psikologi dari narasi yang disampaikan IMMawan Adam ingin mengatakan “ini loh kalau mau mewujudkan demokrasi yang sehat dan berpihak pada nalar yang waras, sekaligus membawa perubahan maka IMM harusnya mendukung Capres-Cawapres nomor urut 1”.
Pada konteks ini saya meragukan objektifitas IMMawan Adam terhadap narasi yang ia bangun. Selain itu terdapat informasi keliru yang disampaikan IMMawan Adam dalam tulisannya, hal tersebut berkenaan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas uisa Capres-Cawapres di Pemilu (Pemilihan Umum) 2024. Dalam tulisan tersebut IMMawan Adam dengan percaya diri mengatakan bahwa putusan tersebut adalah inkonstitusional. Sialnya, IMMawan Adam tidak menjelaskan letak inkonstitusional pada putusan MK tersebut.
Sependek pengetahuan yang saya dapatkan dari banyak pakar hukum di Indonesia bahwa problem pada putusan tersebut bukan problem inkonstitusional melainkan problem etik. Hal ini dibuktikan dengan keputusan MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi) Nomor 02/MKMK/L/11/2023 yang telah menerangkan bahwa problem tersebut adalah problem etik bukan problem inkonstitusional (coba dibaca lagi keputusannya).
Lebih jauh, IMMawan Adam menuding Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM), Abdul Musawir Yahya (AMY) sebagai sosok yang berhkhianat terhadap IMM. Dalam konteks politik, agaknya menentukan sikap adalah sebuah pilihan baik secara personal maupun organisasi.
Pun dengan mengambil sikap netral termasuk pilihan politik. Pada prinsipnya ini hal yang masuk akal untuk dilakukan. Akan sangat salah jikan AMY selaku ketua Umum saat ini mendeklarasikan untuk masuk ke dalam partai politik, jelas itu salah secara prinsip organisasi yang tidak membolehkan Pimpinan IMM berafiliasi sebagai kader atau pimpinan partai politik tertentu. Dalam hal ini ada kesalahpahaman IMMawan Adam tentang pragmatisme, sebab Bergerak 1912 bukan partai politik, tapi tentang keberpihakan.
Selain itu, ada argumentasi yang cenderung spekulatif dan ngambang sekaligus. Harusnya argumentasi didukung dengan pembuktian yang nyata. IMMawan Adam mempersoalkan peran pemimpin, ia mengatakan “biasanya seorang pemimpin mengambil peranan itu adalah untuk memposisikan diri mendapatkan jatah atau bahasa politik (bagi-bagi kue) Ketika memenangkan pertarungan”.
- baca juga: Merawat Api Perjuangan!
Dengan menggunakan narasi demikian, IMMawan Adam menuduh AMY sebagai pemimpin oportunis dan egois. Padahal dalam konteks deklarasi yang dimaksud, tidak ada perbincangan soal demikian, dan tidak ada bukti valid mengenai hal itu. Lebih lagi IMMawan Adam Menggunakan ukuran kebiasaan untuk mengukur kebenaran. Jika logikanya demikian, orang yang mencuri dianggap sebagai sebuah kebenaran karena terbiasa mencuri. Padahal pesan K.H Ahmad Dahlan soal kebenaran cukup tegas bahwa kebenaran tidak diukur dari kebiasaan dan berapa banyak yang mengakuinya.
Ber-IMM Jangan Naif!
Saya ingin menegaskan bahwa ber-IMM tidak cukup hidup dalam ruang lingkup idealitas, sebab untuk mendistribusikan nilai, tidak bisa kita menegasikan realitas yang ada termasuk realitas politik Indonesia hari ini. Dalam banyak dialog yang dilakukan oleh IMM di forum-forum resmi hingga warung kopi, tidak jarang kader-kader IMM membicarakan perihal diaspora kader.
Naasnya pada perbincangan tersebut seringkali kader-kader IMM sampai pada kalimaks bahwa IMM sejauh ini masih tertinggal cukup jauh dengan organisasi seperti HMI, GMNI, dan lainnya yang telah banyak mendiasporakan kader-kadernya di banyak aspek, termasuk aspek politik dan pemerintahan. Sangat disayangkan kenaifan ini terus dirawat dan dinormalisasi oleh IMMawan Adam dan sejenisnya. Padahal dalam banyak pertemuan seringkali keluh kesah soal diaspora kader khususnya dalam ranah politik sering dilontarkan.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengajak seluruh kader IMM untuk tetap berpikir kritis, rasional, sekaligus realistis. Sehingga dalam mendistribusikan nilai-nilai yang termuat di dalam IMM tidak terjebak seperti katak dalam tempurung. Sudah waktunya sayap dakwah IMM dikepakan di seluruh aspek kebangsaan dan Keindonesiaan.
Oleh: Haryono Kapitang (Aktivis AMM Yogyakarta)