Modernis.co, Kediri – Ulasan singkat ini saya persiapkan untuk meyambut hari kelahiran pacasila. Inilah cara saya memperingatinya. Yakni dengan melakukan refleksi ringan untuk melihat sejauh mana capaian kita dalam bernegara dibawah naungan pancasila. Bagi saya, Pancasila adalah suatu ide yang unik. Karena Pancasila adalah kumpulan pikiran brilian dari berbagai belahan dunia yang diramu sedemikian rupa oleh para penggagas bangsa ini.
Tentunya, upaya itu bukan tanpa maksud. Tapi, dengan harapan untuk dijadikan landasan filosofis dan pijakan normatif dalam bernegara. Tapi, apakah tujuan itu sudah tercapai? Atau paling tidak, sudahkah bangsa kita menuju arah yang dikehendaki Pancasila? Mari kita periksa satu demi satu tiap-tiap poinnya.
Sila pertama, ketuhanan yang maha esa. Orang boleh menafsirkan apa saja tentang kata “esa” dalam sila tersebut. Sila pertama ini diadopsi untuk menunjukkan dan menegaskan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang religius. Bahwa bangsa kita adalah bangsa yang bertuhan. Ini bukan soal konsepsi monoteistik ala Islam atau agama abrahamik lainnya.
Karena pada faktanya, ratusan kepercayaan hidup dan menjadi ruh dan nadi bangsa ini. Sila pertama dadopsi untuk mengakomodir berbagai kepercayaan itu. Merujuk pada fakta ini, saya ingin berikan satu penafsiran, bahwa konsep ketuhanan dalam tiap agama, apapun konsepnya pastilah merujuk pada konsep yang transenden dan maha agung. Begitulah kira-kira. Ingat bahwa poin penting pada sila tersebut adalah ketuhanan.
Saya dapat pahami bahwa religiusitas memiliki peran tersendiri dalam pembangunan. Para penggagas bangsa ini sudah membaca itu. Religiusitas punya peran mengisi aspek ruhiyah. Ini berfungsi sebagai semacam pengingat, agar kelak republik ini tidak terjebak pada persoalan materialistik semata. Pertanyaannya, bagaimana kondisi keberagamaan kita? Sebagai bangsa yang religius, bagaimana kondisi kerukunan beragama kita? Atau lebih tegasnya, bagaimana kondisi kebebasan beragama kita dewasa ini?
Sebagaimana yang telah saya sebutkan, setiap kepercayaan mempunyai konsep ketuhanan, bagaimanapun konsepsinya. Mereka telah eksis sejak awal di republik ini. Sampai kemudian agama-agama monoteistik datang dan mulai mendominasi kepercayaan-kepercayaan itu. Bahkan sampai kemudian muncul istilah agama resmi negara. Itu semua tidak lepas dari hasil pertarungan politik kalangan tertentu.
Walaupun di kemudian hari istilah agama resmi menjadi polemik sampai saat ini karena istilah tersebut memelihara potensi terjadinya diskriminasi. Para pengayat kepercayaan terdiskriminasi. Hingga sampai kini berbagai kepercayaan ini diujung kepunahan. Bahkan yang masih tersisa dimusuhi dan menjadi isu hak asasi manusia yang berlarut-larut.
Perlu dipahami bahwa dewasa ini, beragama adalah hak asasi manusia. Orang tidak boleh mengusik seorang warga negara yang memilih dan memeluk agama atau keyakinan tertentu. Bahkan terhadap orang yang tidak memiliki atau tidak mau menganut agama atau keyakinan tertentu. singkatnya, akhir-akhir ini kondisi kebebasan beragama kita masih mencemaskan.
Kita belum selesai dengan isu ini. Hal ini dapat dilihat dengan masih tingginya angka pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Setara institut mislanya merilis angka pelanggaran hak kebebasan beragama untuk tahun 2018 di atas seratus kasus menyebar di berbagai provinsi. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa kita masih belum selesai dalam isu hak kebebasan beragama (right to freedom of religion). Pertanyaan mendasar yang perlu kita ajukan adalah, apakah pantas bangsa yang dicanangkan sebagai sebuah bangsa yang religius namun berantakan soal kerukunan dan kebebasan beragama?
Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Apa itu kemanusaan? Satu-satunya referensi historis tentang kemanusiaan adalah humanisme Eropa. Humanisme adalah upaya melahirkan kembali kebudayaan Eropa yang sempat redup, yakni kebudayaan Yunani klasik. Bangkitya budaya humanisme sekaligus sebagai respon atas agama yang dijadikan alat untuk menindas oleh kekuasaan.
Dengan mengedepankan rasionalitas, kaum humanis membuktikan mereka mampu membangun sebuah kebudayaan dan kemudian juga peradaban. Humanisme mampu melahirkan kebudayaan berbasis rasionalistas yang di kemudian hari mampu melahirkan modernitas. Meskipun, belakangan modernisme itu sendiri menuai banyak kritik. Singkatnya, humanisme adalah kemungkinan untuk membangun peradaban secara mandiri, tanpa campur tangan teologi.
Saya ingin ulas agak panjang soal ini. Spirit humanisme Eropa juga sebuah pergeseran atas paradigma teosentrisme ke antroposentrisme. Teosentrisme adalah paradigma yang menjadikan tuhan sebagai pusat. Sementara itu, antroposentrisme adalah sebuah paham yang menjadikan manusia sebagai pusat. Keduanya merupakan paradigma yang saling bertolak belakang.
Dalam sejarah Eropa, paradigma teosentris terlihat dalam filsafat abad petengahan. Yakni dalam pikiran para pemikir abad petengahan seperti Anselmus dan Aquinas misalnya. Kecenderungan filsafat abad petengahan adalah bahwa logika atau pemikiran manusia diturunkan dari teks suci agama. Karena itu, dapat dimaklumi jika para pemikir yang muncul pada abad pertengahan sangatlah terbatas.
Apa yang dikatakan oleh teks suci, itulah yang yang dianggap sebagai kebenaran dan harus dianut. Disinilah paham teosentrisme begitu kentara. Dampaknya adalah agama begitu mendominasi kehidupan Eropa waktu itu. Seluruh pikiran dan gerak-gerik manusia selalu dibayang-bayangi oleh agama.
Persoalannya adalah bahwa agama dalam konteks waktu itu merupakan hasil interpretasi gereja atas teks-teks suci. Orang awam tidak dapat secara bebas megakses teks-teks sumber agama mereka sendiri. Apa yang disebut agama dalam konteks itu sejatinya adalah sebuah perspektif yang dalam hal ini adalah perspektif gereja. Karena itu, hasil interpretasi agama yang diajarkan pada kaum awam tersebut tidak lepas dari kepentingan gereja untuk menyetir komunitas-komunitas, yang dalam konteks ini adalah kristen Eropa waktu itu.
Agama yang dogmatis itu sedikit banyak mulai ditentang oleh para pemikir kritis seperti Copernikus misalnya. Giordano Bruno, René Descartes, dan Niccolo Machiavelli juga tokoh-tokoh awal filsafat modern yang layak disebut dalam hal ini. Bruno memartirkan dirinya untuk membongkar hegemoni gereja.
Tampilnya Deskartes menjadi babak baru dalam sejarah filsafat Barat. Yakni sebuah era yang kemudian hari disebut modern. Machiavelli memiliki andil besar dalam reformasi politik waktu itu. Disinilah pergeseran paradigma dari teosentris menuju antroposentris dimulai.
Sebuah kesadaran independensi manusia. Bahwa manusia bersifat independen. Mereka dapat menentukan nasib mereka sendiri. Disamping itu, sebuah kesadaran baru bahwa semua yang ada di dunia ini memang diperuntukkan untuk manusia. Manusia mulai menyadari bahwa mereka dapat menaklukkan alam dengan ilmu pengetahuan.
Sebuah babak baru dengan paradigma baru. Manusia yang independen terlepas sepenuhnya dari agama. Agama yang sebelumnya membayang-bayangi manusia, kini telah runtuh otoritasnya. Pengetahuan yang berorientasi pada tuhan beralih pada manusia. Semua diciptakan untuk manusia dan manusia dapat menggunakan semua yang ada untuk keperluannya.
Manusia mulai membangun ilmu pengetahuan berdasarkan akal-budinya yang pada akhirnya menciptakan modernitas dalam segala aspek. Ini adalah sebuah kemajuan, meskipun telah saya katakan bahwa medernitas itu sendiri dipersoalkan nantinya.
Modernitas yang mulai dibangun oleh para pemikir modern meledak dengan pesatnya. Bahkan kini merambah ke semua aspek kehidupan tidak terkecuali wilayah ilmu pengetahuan. Bahkan berbagai epistemologi yang lahir dari rahim modernitas mengambil peran yang sangat sinifikan dewasa ini.
Rigkasnya, bagi saya humanisme adalah peberontakan teologi, kemandirian manusia, dan jalan menuju kemajuan. Lantas apakah spirit humanisme bertentangan dengan sila satu? Inilah salah satu keunikkan pancasila. Spirit yang hendak diambil dari humanisme adalah spirit kemajuan. Saya dapat memahami ini, bahwa para pendiri bangsa ingin bangsa ini mencapai kemajuan sebagaimana yang dicapai oleh Eropa. Dan humanisme adalah salah satu jalan menuju itu.
Lantas bagaiaman pencapaian kemajuan kita hari-hari ini? Karena salah dalam memahami humanisme, republik ini masih mejadi bulan-bulanan bangsa lain. Konsepsi humanisme bagi bangsa kita saat ini agaknya masih terlalu maju.
Artinya, kita belum mampu mencerna semangat humanisme sepenuhnya sebagaimana yang dipikirkan para pendiri bangsa. Humanisme yang seharusnya dipahami dengan usaha totalitas dalam penggunaan akal tidak dipahami demikian. Akibatnya, sampai saat ini belum ada kemajuan apapun yang dicapai dibawah spirit sila kedua, atau paling tidak belum meunjukkan hasil yang baik pada bangsa kita.
Sila ketiga, persatuan indonesia. Ini adalah konsepsi tentang nasionalisme. Pikiran tentang naisonalisme modern muncul dari rahim reformasi protestanik di Eropa yang dipelopori Martin Luther. Secara teknis, pikiran tersebut dapat ditemukan dalam pikiran para pemikir seperti Jean-Jacques Rousseau, Johann Gottlieb Fichte, dan John Stuart Mill. Para penggagas bangsa mengadopsi nasionalisme Eropa ini karena nasionalisme diangap mampu untuk menjaga eksistensi sebuah bangsa dengan suatu identitas.
Pertanyaannya, bagaiamana kondisi nasioanalisme kita sekarang ini? Bagaimana eksistensi bangsa kita pada level dunia? Dalam kancah internasional, bangsa kita masih menjadi semacam dagelan, utamanya beberapa tahun terkahir. Republik ini belum dapat menunjukkan eksistensinya dalam kontestasi dunia. Padahal itu salah satu tujuan nasionalisme.
Bagaimana juga jika beberapa hari kedepan perang terbuka pecah dan melanda republik ini? Apakah republik ini sudah siap? Saya pesimis soal ini. Melihat kesiapan bangsa-bangsa maju dalam konteks militer. Belum lagi perspektif realis yang saya pikir mulai mengkooptasi bangsa-bangsa besar dewasa ini. Jika meletus perang terbuka, dan melanda republik ini, mungkin bangsa kita akan berakhir dalam hitungan hari. Padahal maksud dari nasionalisme adalah sebagai benteng atas ekspansi bangsa lain.
Bagaimana dengan kemandirian ekonomi? Bangsa kita masih jauh dari harapan. Akhir-akhir ini hampir segala kebutuhan masih impor dari negara lain. Ketergantungan dengan bangsa lain masih sangat tinggi. Padahal nasionalisme juga adalah konsepsi atas kemandirian sebuah bangsa dalam suatu identitas. Bagaimana dengan tambang-tambang yang dikuasai dan dikelola oleh bangsa asing? Tentu ini jauh dari spirit nasionalisme.
Satu hal lagi yang cukup signifikan soal ini adalah gelombang pasang tenaga kerja asing. Akhir-akhir ini, tenaga kerja asing membanjiri republik karena negosiasi politik yang manipulatif untuk menguntungkan beberapa gelintir orang. Ironisnya, hal itu terjadi dikala ekonomi republik tengah berantakan. Hal ini terjadi dikala pengangguran di republik tengah tinggi. Pertanyaannya, apakah ini mencerminkan nilai nasionalisme?
Sila ke empat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Unsur penting dalam sila ini adalah demokrasi- republikanisme. Salah satu poin penting demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi dianggap sistem yang cukup maju meskipun bagi saya, sebetulnya demokrasi adalah sistem yang buruk.
Demokrasi adalah sistem yang buruk karena demokrasi berarti mengumpulkan otak-otak untuk mengelola negara, bukan otak-otak terbaik. Padahal, untuk mengelola negara perlu otak-otak terbaik. Karena itu demokrasi sangat mudah untuk dibajak oleh kalangan tertentu karena sifatnya yang sangat terbuka.
Di sisi lain, republikasime menghendaki adanya aspek positif untuk mengemas demokrasi. Semacam kontrak sosial dalam pikiran Rousseau. Namun apakah otat-otak tersebut punya komitmen yang baik? Belum tentu juga. Karena itu, demokrasi sebetulnya adalah sistem yang sangat rapuh dan rentan diselewengkan untuk kepentingan kalangan tertetu.
Satu hal lagi yang tidak kalah penting untuk disebutkan adalah bahwa demokratisasi bukan suatu hal tanpa agenda. Pikiran tentang demokratisasi, secara sistematis dapat ditemukan dalam pikiran Samuel Huntington. Poin penting yang diajukan Huntington adalah bahwa proses transisi dari monarki ke demokrasi adalah masa-masa kritis dan rentan diselewengkan.
Lantas bagaimana kondisi demokrasi kita hari-hari ini? Tepat seperti yang saya uraikan di paragraf sebelumnya. Bahwa terjadi semacam pembajakan demokrasi oleh kalangan tertentu, dimana rakyat tidak dapat lagi memegang kuasa. Demokrasi kita telah diselewengkan oleh kalangan tertentu, dari yang awalnya dari rakyat untuk rakyat menjadi dari rakyat untuk kalangan tertentu.
Otoritarianisme menggeser republikanisme. Akal bulus memasung konstitusi. Penegakan hak asasi manusia mangkrak. Keadilan hanya dimonopili kalangan tertentu. Apakah ini yang dinamankan permusyawaratan? Jika iya, maka itu adalah permusyawaratan kalangan tertetu.
Belum lagi pemilihan umum beberapa waktu lalu yang menurut saya berantakan. Mulai dari isu kotak suara terbuat dari kardus, penambahan belasan juta DPT siluman, tenaga kerja asing yang punya hak pilih, mobilisasi ASN, form C1 yang berceceran, salah input data rekapitulasi suara, penggelembungan dan pengempisan suara, kematian ratusan KPPS secara misterius yang dilarang untuk diotopsi, pengumuman pemenang pilpres dini hari, sampai gejolak pasca pilpres yang meimbulkan banyak korban baik meninggal mupun luka-luka.
Ada apa ini? Semahal itukah ongkos demokrasi? Atau sedang terjadi pebajakan demokrasi? Jika orang bilang pemilu adalah pesta demokrasi, maka pesta kali ini bagi saya adalah pesta terburuk pasca reformasi yang pernah diselenggarakan. Terlepas dari persoalan itu, hal yang menurut saya penting adalah bahwa ini semua sangat jauh dari nilai “hikmat” dan juga nilai “permusyawaratan” sebagaimana disebutkan dalam sila ke empat.
Sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Satu-satunya sistem filsafat yang menjadi rujukan atas konsepsi keadilan sosial waktu itu adalah pikiran Karl Heinrich Marx. Marx adalah pemikir yang sangat mumpuni soal ini. Soekarno tidak mengenal konsepsi keadilan sosial sampai membaca tulisan Marx. Do’a Marx yang tertinggi adalah terwujudnya distribusi keadilan dalam konteks ekonomi.
Dimana hal tersebut hanya bisa terwujud dalam iklim masyarakat tanpa kelas. Keadilan ekonomi akan membuka keadilan dalam berbagai aspek. Pikiran Marx ini dikemudian hari menjadi inspirasi di berbagai belahan dunia. Diadopsinya konsepsi tentang kedilan sosial adalah sebuah harapan bahwa bangsa kita akan menjadi bangsa yang adil dalam berbagai konteks utamanya ekonomi.
Lantas bagaimana kondisi keadilan sosial kita hari-hari ini? Hari-hari ini, untuk melihat kemiskinan tidak perlu merujuk pada data-data stasitik yang super ribet dan kadang justru manipulatif. Kesenjangan makin menganga. Kantung-kantung ekonomi dikuasai kalangan tertentu. Politik lahan hanya menguntungkan kalangan tertentu. Hukum melindugi kalangan yang kuat secara ekonomi.
Iklim politik melindungi kepentingan kelompok tertentu. Inilah yang kemudian saya sebut dengan protektoratisme. Protektoratisme menjadi kecenderngan ekonomi kita hari-hari ini. Hal ini sama sekali bertentangan dengan ide tentang keadilan sosial. Agaknya, kondisi kita hari-hari ini masih jauh dari ide tentang keadilan sosial itu sendiri.
Belum cukup dengan persoalan di atas, beberapa waku lalu kita sempat digegerkan dengan dicetuskannya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Di mana masing-masing orang yang mendudukinya digaji tinggi. Kata orang, lembaga itu bertugas untuk menjaga ideoogi negara. Tapi persoalan lebih serius dari itu adalah apa landasan dibentuknya BPIP? Konstitusi tidak mengamanatkan itu.
Bagi saya, ini hayaah sebuah kekonyolan belaka. Bagaimana mungkin ideologi negara dijaga oleh beberapa gelintir orang yang digaji? Saya lebih sepakat jika BPIP dibentuk supaya orang-orang tertentu mendapat incom tambahan. Itu saja. Dan ini bgai saya sangat immoral tentunya. Saya sebut immoral karena orang-orang tertentu digaji tinggi tanpa melakukan apa-apa di saat ekonomi dalam skala nasional tengah berantakan.
Itulah potret kondisi kebangsaan kita hari-hari ini. Di akhir ulasan ini, saya ingin mengatakan bahwa kondisi kita sebagai sebuah bangsa masih jauh dari yang diharapkan oleh para pendiri bangsa ini. Kondisi kita masih jauh dari amanat pancasila itu sendiri.
Padahal, para pendiri bangsa menaruh harapan yang luhur terhadap bangsa ini dengan diadopsinya pancasila. Karena itu, kita masih perlu melakukan koreksi, membetulkan arah bangsa ini menuju cita-cita pancasila itu sendiri. Dan akhirnya, saya ucapkan selamat hari kebangkitan pancasila.
*Oleh : Khusnul Khuluq