Modernis.co, Malang – Jika kita mengenal mahasiswa Organisasi Ekstra Kampus (OMEK). Maka di lain sisi kitapun akan mengenal varian mahasiswa lainnya yang tergabung dalam gerombolan mahasiswa Anti Omek (AO). Secara sederhana, lahirnya sesuatu hal akan melahirkan sesuatu hal lainnya. Sehingga membentuk sebuah siklus pertentangan abadi yang dialektis.
Kondisi ini bersesuaian dengan gambaran teoritis oleh filsuf Jerman Friedrich Hegel dengan teori dialektikanya yang mencakup tesis, antitesis dan sintesa. Hadirnya Omek merupakan tesis yang melahirkan AO sebagai antitesis.
Teori Dialektika Hegel menjadi sangat bermanfaat dalam membaca dan membuka wawasan seputar peranan AO dalam memberikan pressure movement (gerakan penekanan) terhadap mahasiswa yang bergabung dengan salah satu OMEK. AO adalah kumpulan mahasiswa yang tidak tergabung dalam organisasi manapun, tetapi sangat bersemangat dalam mencari kesalahan mahasiswa lain yang tergabung dalam OMEK.
Penelusuran terhadap gerakan mahasiswa AO memang sangat sulit dideteksi secara eksplisit, pasukan mereka banyak namun sangatlah sporadis dan tidak terorganisir secara formal, secara umum mereka diikat oleh perasaaan bersama dalam memberi stigma negatif (labelling) terhadap mahasiswa anggota OMEK.
Dalam memandang mahasiswa AO, saya cukup tertarik ketika melihat mereka berkumpul ria dan menghabiskan waktu muda tanpa sesuatu yang produktif. Tampilan mereka yang terbilang kekinian tampaknya menjadi cara mereka memberitahu eksistensinya ke hadapan mahasiswa lainnya, namun dalam persoalan isi, integritas, dedikasi dan loyalitas masih perlu diragukan.
Jumlah mereka yang mayoritas menjadi celah besar dalam menyebar sebuah pemahaman laten berbahaya sebagai agen intelektual. Mahasiswa AO sangat berhubungan dekat dengan resistensi terhadap OMEK, resistensi yang mereka tunjukkan memang terbilang halus namun menakutkan karena mampu merekrut pasukan dalam jumlah banyak. Hoho pasukan boboho mungkin hehe
Di banyak perguruan tinggi di Indonesia negeri maupun swasta pasukan AO begitu bersemangat dalam menanamkan pengaruh buruk di otak-otak mahasiswa lainnya. Dua ide dasar yang sering mereka gaungkan adalah Independensi dan Netralitas. Dua konsep tersebut menjadi alat gempur untuk menjatuhkan pasukan OMEK yang memang secara keorganisasian memiliki hubungan tidak kentara baik secara langsung maupun tidak langsung dengan ormas ataupun partai politik.
Konstruk berpikir mahasiswa AO terbilang bermasalah dan patut ditata ulang mengapa mereka lebih mementingkan wilayah personal di atas kepentingan komunal yang merupakan hubungan horizontal sesama manusia (muamalah ma’annas) . Saya cukup heran ketika AO menaruh tendensi berlebihan terhadap bangku akademik dan begitu tak adil dalam membagi sebagian waktu mereka di wilayah-wilayah keorganisasian.
Pengaruh AO cukup terasa ketika proses kontestasi politik kampus berlangsung. Dengan berbagai alasan mereka akan hadir melakukan provokasi terselubung terhadap konstituen untuk tidak melakukan pemilihan. Fakta berbicara bahwa AO kehilangan eksistensinya dalam panggung politik kampus yang melibatkan delegator OMEK yang bertarung ketat di dalamnya. Saya menduga bahwa peristiwa inilah yang membuat mereka jengkel dan marah besar karena selalu menjadi korban dari pertikaian panggung politik kampus.
Pemahaman netralitas dan independensi yang salah telah menjadikan Mahasiswa AO buta politik, buta realitas, buta sosial, krisis pemahaman dan kehilangan peta perjuangan yang sesungguhnya. Akibatnya mereka menjadi mayoritas yang tak bermahkota, menjadi tukang kritik yang tak dapat diandalkan. Menjadi mahasiswa kelas kedua dalam penguasaan strategi dan taktik khususnya dalam pengawalan dan pengambilan kebijakan.
Sebagai mantan mahasiswa di sebuah salah satu Perguruan Tinggi swasta di Jawa Timur, saya tentunya sering terlibat interaksi dengan mahasiswa yang tergolong AO. Kehidupan mereka yang tanpa tekanan menjadikan mereka menjadi liar tak bermanfaat dan cenderung menghabiskan waktu senggang untuk hal-hal tak produktif.
Mayoritas mahasiswa AO menjadi minim interaksi, minim relasi serta sangat anti pada grup-grup diskusi. Dalam interaksi yang sering saya lakukan mereka terkesan elitis-hedonis dan sangat anti dengan hal-hal berat yang mereka anggap utopis semata. Aktivitas yang mereka lakukan menjadi sebuah gaya yang tak patut untuk ditiru. Sejatinya, mereka sedang terjebak di jalan yang false hope (harapan palsu) yang sesungguhnya bias untuk masa depan.
Logika bangunan berpikir mahasiswa AO yang singkat dan minim analisa menjadikan mereka menjadi tidak berdaya dalam melakukan gempuran secara formal. Posisi ini membuat gerombolan itu kehilangan kualitas diri yang selama ini hanya ditempa melalui pertemuan kelas akademik. Sehingga tumpul dan powerless (mandul) ketika dimanifestasikan dalam wilayah praksis gerakan.
Dalam perspektif lain mahasiswa AO jelas tidak memiliki semangat dan jiwa totalitas karena tidak pernah mengenal budaya persaingan dan dasaran kompetensi ber fastabiqul khoirot yang baik.
Kehidupan Mahasiswa AO lemah secara fungsional dan terkesan parsial serta tidak utuh dalam menjalankan tri dharma perguruan tinggi. Dalam pandangan mereka terbangun jalur pemahaman yang salah. Mereka beranggapan bahwa menjadi mahasiswa cukup belajar dalam kelas akademik tanpa vitamin pengabdian kemasyarakatan yang begitu serius diajarkan di masing-masing organisasi OMEK.
baca opini lainnya : Ketidakseimbangan Gerakan Aktivis Mahasiswa
Kekeliruan atas jalan yang ditempuh oleh Mahasiswa AO terbilang mengerikan, tapi cukup mempesona bagi mayoritas mahasiswa baru lainnya. Untuk menjadi pengikut tak ada penggiringan, tak ada internalisasi nilai-nilai perjuangan, tak ada diklat sebagai pintu masuk. Cukup datang dan pulang kuliah saja maka anda akan termasuk dalam lingkaran pengaruh mahasiswa AO. Jika kondisi ini terus dibiarkan maka akan meruntuhkan tata kelola bangunan masa depan untuk generasi selanjutnya.
Fenomena Mahasiswa AO yang selalu menyia-nyiakan waktu kosong mengingatkan saya pada salah satu nasehat bijak ketika belajar di Gontor dahulu, bahwa ingatlah masa muda sebelum masa tua. Hal demikian juga dipertegas oleh salah satu nash yang menyebutkan bahwa ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang.
Sudah selayaknya Mahasiswa AO merubah haluan pemahaman dan penataan gerak hidup ke arah yang lebih baik jika ingin membangun negeri. Hilangkan kebencian terhadap anggota OMEK yang kalian plintir dengan keburukan semata. Karenanya masih menganggap anggota OMEK sok-sok an menjadi aktivis, adalah kesalahan terbesar AO dalam menilai kelompok minoritas itu.
Jika bicaramu lah yang paling benar ada baiknya otakmu dibawakan ke rumah sakit! Barangkali ada saraf toleransimu yang putus sehingga selalu gagal melihat perbedaan.
Oleh: Adi Munazir, S.H. (Ketua Umum IMM Cabang Malang Raya 2017-2018)