Modernis.co, Malang – Debat Capres ke empat (30/3) telah usai dilaksanakan, mempertontonkan Jokowi Versus Prabowo dalam isu Ideologi, Pemerintahan, Pertahanan dan Kemamanan serta Hubungan Internasional. Ada satu hal menarik yang ingin saya kupas pada tulisan kali ini khususnya dalam tema ke empat seputar Hubungan Internasional.
Pada debat tersebut capres Jokowi mengklaim bahwa Indonesia mendapat kepercayaan dari dunia Internsasional untuk menyelesaikan banyak hal berkaitan dengan konflik dan perang di negara-negara lain. Jokowi juga memberikan contoh keterlibatan diplomasi Indonesia dalam menengahi proses kembalinya pengungsi di Rakhine State dan mendamaikan faksi-faksi yang berkonflik di Afganistan.
“Kekuatan kita sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini bisa kita jadikan sebagai modal besar bagi kita berdiplomasi dengan negara-negara lain,” kata Jokowi dalam debat capres itu.
Kita tentu bersepakat dengan pernyataan Jokowi soal potensi diplomasi yang dimiliki oleh Indonesia terlebih dalam kaitannya dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Potensi itu bisa dijadikan sebagai asap untuk menggiring opini dunia ke arah yang lebih baik. D
ilain sisi kita dihadapkan oleh kompetensi pemimpin kita yang lemah dan kurang menggembirakan dalam memainkan peran di tingkatan hubungan internasional. Padahal sejarah diplomasi Indonesia merekam dengan sangat baik bagaimana para pemimpin masa lalu Indonesia memiliki kemampuan diplomasi dan kecakapan orasi politik yang sangat baik dan mumpuni.
Pada 17 Mei 1956 misalnya, kekuatan orasi mampu mengorbitkan nama besar Indonesia di panggung Internasional. Sejarah mencatat bagaimana Soekarno dengan gagah dan tegas menyampaikan Pancasila di hadapan warga kulit putih (kongres Amerika) yang disambut dengan gegap gempita dan iringan tepuk tangan yang menggelegar dari setiap sila yang diucap oleh Soekarno.
Tidak hanya itu, pidato Presiden Soekarno yang berjudul to Build the World a New (Membangun Dunia Baru) yang disampaikan di sidang umum PBB ke 15 di New York pada 30 September 1960 merupakan orasi politik luar negeri Indonesia yang cukup menyejarah dan kontroversial. Pasalnya, Seokarno, seorang pemimpin dari kawasan Asia berani menyampaikan kritik secara terbuka kepada PBB yang dianggap gagal mencipta perdamaian dunia.
Dalam kaitannya dengan diplomasi, memang kemampuan berbahasa menjadi salah satu modal penting dalam berinteraksi, menyampaikan fikiran dan maksud kepada para hadirin. Orasi-orasi politik dicontohkan oleh para presiden terdahulu dalam panggung undangan kuliah umum internasional, pertemuan ekonomi dunia, sidang umum PBB dan sambutan kunjungan kenegaraan yang digunakan para pemimpin kita dalam menghembuskan pengaruh Indonesia ke pangkuan Internasional.
Para presiden Soekarno, Habibi, Gusdur, Habibi dan juga Susilo Bambang Yudhoyono adalah beberapa sosok yang sering mendapat tepuk tangan atas narasi-narasi politik Indonesia yang disampaikan dengan sangat memukau.
Jika kita tarik dalam konteks hari ini, maka prestasi besar itu tidak diulang dan bahkan runtuh di tangan pemimpin yang tidak belajar dengan baik dari sejarah emas diplomasi dan kualitas hubungan internasional. Kurun waktu 4,5 tahun berjalannya rezim saat ini, tidak banyak jejak yang dapat dilacak terkait hubungan internasional yang dilakukan oleh pemimpin kita, khususnya Presiden. Jokowi sering dikesankan sebagai sosok kepadala negara yang sering membolos bahkan terkesan menghindar dengan ragam alasan dari forum-forum Internasional.
Intensitas ketidakhadiran Presiden dalam forum-forum antar negara tentu menyulitkan membangkitkan dan mengembalikan posisi tawar Indonesia. Keadaan tersebut jelas merugikan politik luar negeri Indonesia yang selama ini telah menjadi mitra srategis negara-negara lain dalam merancang dan membuat suatu tatanan dunia yang aman dan berkeadilan.
Jika kita lacak sejarah, tampilnya Presiden Jokowi di Brookings Institution, sebuah lembaga kajian terkemuka Amerika pada 27 Oktober 2015, justru menjadi salah satu insiden terbesar dalam sejarah hubungan internasional Indonesia. ‘I want to test my minister’ adalah kalimat yang di ucap oleh Presiden Jokowi pada saat sesi tanya jawab berlangsung dengan akademisi Amerika yang dimoderatori oleh Mr. Richard Brush.
Lemahnya penguasaan bahasa inggris Presiden menjadi gambaran bagaimana buruknya kualitas sang presiden dalam membangun interaksi komunikasi di tataran global. Insiden itu menjadi komedi internasional yang dipanggungkan oleh Jokowi sehingga menjadi buah bibir yang cukup menampar muka Indonesia.
Capres Prabowo juga menyentil diplomasi Jokowi yang dianggap hanya senyum-senyum dan menjadi nice guy di panggung internasional. Rocky gerung juga memberi komentar pedas terhadap ekspresi Jokowi dalam berinteraksi dengan dunia “….saya sebagai warga negara malu melihat Presiden g**** dan g***** dan terlihat b**** di depan pers dunia” kata Rocky di salah satu forum sebagaimana yang tersiar di banyak medsos.
Dalam panggung internasional yang lain, posisi Indonesia juga tidak benar-benar membanggakan bahkan mendapat sindiran pejoratif dari negeri kecil Singapura. Berikut saya kutip ucapan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong dari video singkat yang diunggah di akun Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi Dahnil Anjar Simanjuntak di akun twitter pribadinya @dahnilanzar.
“Last weeek I was in Indonesia, I met Presiden Jokowi, He Asked me to ask singapura’s companies to invest more in Indonesia they need infrastructure they have project they wanted singapura’s companies to come in, we are already indonesia’s biggest foreign investor They are fifty times bigger than us , 250 million people, from time to time they reminded us of that. But to made invesments to help with their economy he thinks, well this little guy he can made a contribution he can help us . thats’ not bad”
Jika diurai kedalam bahasa Indonesia maka akan didapat terjemahan lebih kurang sebagai berikut.
“Minggu lalu saya berada di Indonesia, Saya bertemu Presiden Jokowi, dia (Jokowi) memohon saya untuk meminta perusahaan-perusahaan milik Singapura untuk investasi lebih di Indonesia, mereka (Indonesia) butuh infrastruktur, mereka punya proyek, mereka ingin perusahaan-perusahan singapura untuk datang, kita (Singapura) sudah siap sebagai Investor terbesar asing Indonesia. Mereka (Indonesia) 50 kali lebih besar daripada kita (Singapura), 250 juta penduduk. Dari waktu ke waktu mereka selalu mengingatkan kita akan hal itu (Investasi). Tetapi untuk membuat investasi, untuk menolong ekonomi mereka, dia (berfikir) anak kecil ini (Singapura) bisa membuat kontribusi dia bisa membantu kita, itu tidak buruk”
Pidato tersebut memberi gambaran bahwa hubungan internasional yang dilakukan pemimpin kita hari ini tidak memiliki daya gedor yang tinggi. Imbasnya, posisi Indonesia tampak pucat dan lemah di mata dunia sehingga rasa percaya diri sekelas negara Singapura saja bisa meningkat untuk leluasa mengatakan bahwa memiliki posisi dominan dalam pembangunan di Indonesia.
Dari situasi itu kita bisa belajar bagaiman diplomasi nice guy ala Jokowi bukan merupakan cara yang layak ditiru jika tidak dilengkapi dengan pengetahuan yang cukup. Jika keadaan itu masih berlanjut, narasi-narasi dalam memberi warna politik luar negeri Indonesia tidak mungkin bisa diwujudkan.
Jika kita tarik sejarah masa lalu, Presiden Gusdur sering melakukan safari internasional. Tercatat ada 80 kali Gusdur melakukan diplomasi Internasional dalam kurun waktu 20 bulan jabatannya sebagai presiden. Kunjungan itu bukan tanpa alasan, Gusdur sedang memainkan politik luar negerinya untuk membawa pamor kebesaran Indonesia di mata dunia. Kiai Said Aqil sebagaimana yang dilansir dari nu.or.id menjelaskan bahwa Gusdur berkunjung ke banyak negara-negara dunia untuk menjaga keutuhan negara kesatuan Rebulik Indonesia.
Anehnya, jika dulu Presiden Gusdur sering dikritik karena terlalu sering berkunjung ke luar negeri, Presiden Jokowi justru dikritik karena hanya hitungan jari berdiri di forum-forum luar negeri. Memilih menjadi nice guy, jelas bukan diplomasi yang baik dalam memainkan pengaruh politik luar negeri Indonesia. Mari bicara! Jangan hanya memilih senyum-senyum tanpa pengetahuan karena rakyat sudah sangat rindu akan perubahan!
Oleh : Adi Munazir, SH (Aktivis IMM dan Advokat Pancakusara Law Office)