Konsepsi dari Narasi Menuju Aksi

narasi menuju aksi

Modernis.co Palembang – IMM berada lebih dari 173 di Perguruan Tinggi Muhammadiyah-‘Aisyiyah (PTMA) dan di kampus negeri dan swasta, serta cabang istimewa di luar negeri. Secara kuantitas, IMM memiliki jumlah yang besar. Meskipun belum ada data tentang total keseluruhan Pimpinan Komisariat (PK) secara resmi, diperkirakan PK lebih dari ribuan. Dan juga Cabang maupun DPD hingga DPP yang begitu kokoh menghadirkan gerakan yang relevan terhadap situasi dan kondisi zaman. Kondisi ini menggembirakan dan patut disyukuri. Seiring laju dan perkembangan IMM begitu pesat, berbanding lurus dengan menjamurnya PTMA menjadi suatu anugrah.

IMM memiliki hubungan yang erat dengan Muhammadiyah karena IMM merupakan salah satu Organisasi Otonom (Ortom) Muhammadiyah itu artinya IMM di bawah naungan Muhmmadiyah termasuk ortom-ortom Muhammadiyah lainnya. Sebagaimana tercantumkan dalam tujuan IMM yang sesuai dengan AD IMM dalam Bab II pasal 6 adalah “Mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah”.

Dari tujuan tersebut, tujuan IMM merupakan kepanjangan tangan Muhammadiyah. Dalam artian IMM sebagai mengawal dan akan mewujudkan tujuan Muhammadiyah terutama dakwah di kalangan Mahasiswa hingga masyarakat luas.

Tujuan Muhammadiyah seperti yang disebutkan dalam buku karya Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M.Si. dalam bukunya berjudul memahami ideologi Muhammadiyah bahwa gerakan Islam dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid yang sejak didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan sampai kapan pun berkomitmen kuat untuk terus berjuang menjalankan misi utama “Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” (Nashir, 2014).

Ditafsirkan dari tujuan IMM untuk membentuk akademisi Islam yang memiliki akhlak mulia dalam usaha mencapai tujuan Muhammadiyah, maka gerakan IMM dapat dicandera dalam dua aspek: Pertama, internalisasi ideologi dalam jati diri kader. Kedua, eksternalisasi ideologi tersebut dalam wujud pergerakan. Usaha internalisasi dan upaya eksternalisasi ideologi tersebut harus terus berjalan seirama, gerak ke dalam organisasi harus seimbang dengan gerak keluar ke wilayah persyarikatan, ummat dan bangsa (Yulianto, 2021).

Selama ini menjadi kesalahan arah gerakan yang hanya berekspansi menggunakan paradigma lama bahwa, “dari kader untuk kader” filosofi tersebut harus direvolusiakan menjadi paradigma baru yang lebih menguatkan pergerakan “Dari Narasi Menuju Aksi” yang mengarah pada pergerakan berekspansi secara masif secara internal dan eksternal. Dengan kata lain IMM harus tuntas, paham, dan action (aksi nyata) sesuai dengan kedudukan atau status (position) karena hal tersebut berbanding lurus dengan peranan IMM itu sendiri.

Memelihara idealisme hingga menumbuh kembangkan “Gerakan Intelektual Progresif (GIP)” bagian dari pada narasi untuk aksi di dalam tubuh IMM sebagai tradisi aqidah, intelektual, humanis yang harus terus dipelihara. Dibutuhkan adanya kesadaran kolektif (kosensus), sehingga  IMM akan mampu melakukan secara kolektif untuk menjadi agent of change, agent of analisis, social control, bahkan sebagai iron stock sehingga mampu ter-ejawantahkan untuk bertransformasi sosial, mampu menawarkan narasi, maupun kontribusi solutif, menebar kebermanfaatan.

Abdul Musawir Yahya dalam  (Yulianto, 2021) mengatakan sebuah ideologi hanya mampu bertahan bilamana kehadirannya mampu divalidasi dalam realita sosial. Tanpa bukti nyata, ideologi hanya akan berhenti sebagai sebuah rapalan dan slogan yang tidak bermakna bagi gerak perubahan sosial. Ikatan ini harus mampu menyeimbangkan antara usaha intelektual untuk membangun narasi serta aksi nyata. Dalam usaha membangun relevansi antara narasi dan aksi itulah, maka dibutuhkan ijtihad intelektual yang serius untuk mentransformasikan nilai-nilai ideologis IMM ke daratan aksi real.

Kita tentu ingat kalimat bijak dari ideolog (pendiri) Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan pernah berkata: “Berbuat dan bekerja itu lebih penting dari berbicara”. Bisa kita interprestasikan bahwa bukan hanya gagasan yang ditawarkan, narasi yang digaungkan akan tetapi aksi nyata untuk negara (action) harus dilaksanakan, seperti orang jawa berkata gawean kudu enek bekas harus ada hasil, ada bukti bukan hanya bicara saja.

Jargon dari narasi menuju aksi itu sebenarnya sari pati dari prinsip gerakan IMM yakni tertuang dalam 6 penegasan IMM yang berbunyi ‘Ilmu adalah amaliah IMM dan amal adalah ilmiah IMM. Sering kali kita dengar dalam publik baik secara langsung maupun tulisannya, Ketua Umum DPP IMM, Abdul Musawir Yahya menyampaikan tagline Dari Narasi Menuju Aksi ada tiga konsentrasi gerakan yang kini harus diutamakan oleh IMM, ketiga hal fokus gerakan tersebut ialah intelektual, ekonomi dan politik (adiluhung/high politics). Tiga konsentrasi itu disebut dengan gagasan Tri Orientasi IMM.

Berikut ini merupakan isi Deklarasi Kota Barat (DEKOBAR) 1965 yang juga disebut 6 penegasan IMM berdasarkan M. Abdul Halim Sani (2017), dalam buku Manifesto Gerakan Intelektual Profetik IMM, Depok, Penerbit: Muhammadiyah University Press yakni:

1) IMM adalah gerakan mahasiswa Islam;

2) Kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan IMM;

3) Fungsi IMM adalah sebagai eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah (stabilitator dan dinamisator);

4) Ilmu adalah amaliyah IMM dan amal adalah ilmiyah IMM;

5) IMM adalah organisasi yang sah mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan dan falsafah negara yang berlaku;

6) Amal IMM dilahirkan dan diabadikan untuk kepentingan agama, nusa, dan bangsa.

Deskripsi gerakan IMM maupun prinsip IMM ada dalam 6 penegasan tersebut, hingga Bung Karno menuliskan yakni: “Saya Beri Restu Kepada Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah” tertanda Soekarno pada Rabu , 16 Februari 1965 di Istana Merdeka. Sudah tentu tulisan ini tak dimiliki oleh organisasi pergerakan mahasiswa lain. Hanya IMM yang mempunyai hubungan langsung dan mendapatkan restu dari Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno-Hatta (Rusdianto dan Muliansyah 2016).

Deklarasi Kota Barat juga dikenal sebagai “Enam Penegasan 1965” yang sebelumnya menjadi tanda peresmian pendirian IMM 14 Maret 1964/29 Syawal 1384 H. yang ditandatangani oleh KHA. Badawi dan disaksikan oleh H. Tanhawi (Badan Pembantu Harian Pemerintah DIY) berlokasi di Gedung Dinoto Yogyakarta. Kemudian enam penegasan tersebut, dibawa ke Munas Pendahuluan yang dilaksanakan 11-13 Desember 1964. Pada tanggal Rabu, 16 Februari 1965 di Istana Merdeka IMM mendapat restu oleh Ir. Soekarno, dan izin melaksanakan MUNAS Pertama. Hingga akhirnya dilaksankan MUNAS Pertama pada tanggal 5 Mei 1965 di Kota Barat-Solo.

Oleh: Preli Yulianto (Ketua DPD IMM Sumsel Bidang Media dan Komunikasi 2022-2024)     

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment