Modernis.co, Malang – Sebagai salah satu organisasi massa Islam yang mendasarkan pada semangat pembaharuan Muhammad Abduh dan semangat puritanisme Ibnu Taymiyah, Muhammadiyah telah mengalami pergeseran pergerakan. Kendati berhasil memajukan amal usaha yang berkait langsung dengan denyut kehidupan masyarakat, seperti rumah sakit, universitas, sekolah dan lain sebagainya.
Namun, apakah kemajuan pesat di bidang-bidang tersebut juga dialami Muhammadiyah dalam aspek pembaruan pemikiran? Pertanyaan ini kerap mengemuka, utamanya di kalangan aktivis muda Muhammadiyah. Tak sedikit yang menyebut Muhammadiyah kini berhenti “bertajdid” dalam masalah pemikiran keagamaan. Yang lain mengatakan, Muhammadiyah kini telah telah menjelma bak perusahaan profesional, dengan ribuan amal usaha yang cenderung mementingkan aspek komersil.
baca juga opini lainnya : Selalu Ada Alasan untuk Mencintaimu
Tak pelak, keberhasilan Muhammadiyah dalam bidang amal usaha tidak lantas membuat kalangan mudanya terpuaskan. Tak terelakkan pula, gesekan-gesekan kaum muda Muhammadiyah dengan fakta sosial yang terus mengglobal menjadi pendorong geliat keintelektualan mereka. Wacana-wacana anyar yang dimunculkan oleh anak-anak muda Muhammadiyah itu. Misalnya, terekam dalam “Kolokium Pemikiran Islam; Semangat Tajdid dan Ijtihad Muhammadiyah di Era Milenial” yang dimotori Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), KORKOM IMM UMY, dan Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) UMY.
Acara yang berlangsung 12-13 April 2018 lalu, itu lebih merupakan ekspresi keprihatinan kaum muda Muhammadiyah soal pergeseran peran sosial Muhammadiyah. Mereka melihat kalangan elite Muhammadiyah lebih berkutat pada hal-hal yang bersifat administratif. Selain itu, kegiatan semacam tadarus pemikiran tersebut diharapkan dapat menggali pemikiran-pemikiran baru seputar Islam dan Muhammadiyah, terutama di kalangan muda Muhammadiyah.
Mengutip pandangan Nurcholish Madjid (1990). Muhammadiyah memang terbilang sukses dalam pembaruan amaliah dan menjadikannya sebagai organisasi Islam terbesar di dunia Islam. Namun Nurcholish memberi catatan, pembaruan amaliah memerlukan pembaruan pemikiran, sehingga mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan kekinian yang sangat kompleks. Sementara Muhammadiyah dinilai miskin dalam pemikiran klasik akibat sikap puritannya terhadap hal-hal yang dipandang tradisional.
Dalam pemikiran keagamaan. Misalnya, Muhammadiyah sangat berorientasi pada pendekatan bayani (tekstual) sekaligus kurang apresiatif terhadap hal-hal yang bersifat irfani (intuitif, spiritual). Banyak hal disikapi secara organisatoris sekaligus ketarjihan, sehingga mengabaikan hal-hal yang bersifat sosiologis. Fenomena inilah yang sudah lama disuarakan oleh sebagian kalangan mengingat Muhammadiyah yang “kering” dalam pemikiran dan apresiasi kebudayaan.
baca juga opini lainnya : Perempuan Tangguh itu Bernama IMMawati
Gara-gara kuatir terhadap sufisme, orang Muhammadiyah lalu menjadi kering spiritualitas. Karena cemas terhadap kultus individu, kemudian melahirkan sikap tidak hormat kepada pemimpin. Sebab takut terseret pada kemusyrikan. Warga Muhammadiyah jarang ziarah kubur, kendati itu merupakan sunnah Nabi. Bahkan banyak yang tidak tahu di mana kuburan pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan. Fenomena yang kering seperti inilah yang dikritik Max Weber tentang modernitas, yakni sebagai gejala hilangnya pesona dunia kemanusiaan.
Untuk mengusung “pemikiran Islam baru”, kaum muda Muhammadiyah tampaknya hendak melengkapi dirinya dengan seperangkat ilmu berkenaan dengan semangat perlunya melakukan pembongkaran terhadap teks-teks suci yang telah ditafsir oleh generasi sebelumnya. Baik oleh para mujtahid Islam masa lalu. Mengutip salah satu tokoh muda Muhammadiyah Zuly Qodir, dalam beberapa kesempatan, teks senyatanya diposisikan sebagai objek kajian kritis untuk kemudian dilakukan reinterpretasi hingga menemukan interpretasi baru yang lebih memadai. Masih menurut Zuly, pembongkaran teks sekaligus ingin menghilangkan adanya hegemoni atas tafsir kitab suci.
Setelah dilakukan pembongkaran hegemoni atas teks, gerakan yang dilakukan kaum muda Muhammadiyah tampaknya hendak mengarah pada gerakan sosial yang mencerminkan secara riil sebagai gerakan sosial baru. Gerakan sosial baru yang lahir dari lingkungan keislaman sebagai sebuah respons atas kemandegan pemikiran teologis yang selama ini dipahami sangat teosentris, sehingga tampak kurang humanis.
Sebagai wadah gerakan pembaruan dengan pemikiran yang bisa dibilang progresif-liberatif, para pemikir muda Muhammadiyah kini kian terang akan tanggung jawab sosial mereka. Hal ini tampak jelas pada isu-isu yang diangkat. yaitu tentang keberpihakan, kemiskinan, serta ketertindasan. Apapun perspektif yang digunakan oleh aktivis muda Muhammadiyah, dan bagaimanapun model pemikirannya, tujuan utamanya adalah memihak kaum yang terpinggirkan secara sosial. Bentuk pemihakannya juga tidak bersifat karitatif, misalnya dengan memberi secara material, tapi lebih pada penyadaran, pencerahan dan pemberdayaan di tengah tantangan dunia global.
Pertanyaannya, akankah obor intelektualisme Muhammadiyah kembali bersinar di bawah geliat anak-anak muda Muhammadiyah?. Sejarahlah yang akan menjadi saksi dan mencatatnya. Jika diberi dukungan yang memadai, bukan hal yang mustahil, sepuluh tahun ke depan kaum muda Muhammadiyah sekarang akan berkiprah di pentas global secara signifikan dan membawa peran Muhammadiyah lebih mendunia. Wallahu alam.
baca juga opini lainnya : Pantaskah Bicara Kesetaraan?
Oleh : Ahmad Fatoni (Kaprodi Pendidikan Bahasa Arab Universitas Muhammadiyah Malang)