Korelasi Korupsi Politik dan Hukum di Negara Modern

Abdurrahman Irham

Modernis.co, Sepeken Fenomena “ketegangan” antara kekuasaan hukum dan tuntutan pembangunan ekonomi seperti dikemukakan oleh Jochen Ropke berkorelasi dengan ideologi pembangunan di Indonesia. Pada masa Orde Baru, trilogi pembangunan Indonesia yaitu pertumbuhan, stabilitas dan pemerataan. Dari kacamata yang dipakai Ropke itu terllihat adanya fenomena yang terlalu banyak menonjolkan pertumbuhan ekonomi dan kurang memperhatikan kegunaan hukum sebagai elemen perekat kohesi nasional.

Dari kebijaksanaan seperti itu, muncullah fenomena kolusi dan korupsi yang mengabaikan prosedur legal dan kaidah moral, demi keuntungan ekonomi dan politik dengan berlindung di bawah alasan pembenaran dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Padahal fenomena-fenomena semacam itu dapat meruntuhkan tatanan sosial politik dan perekonomian negara, seperti halnya yang secara historis telah dialami oleh banyak negara, baik negara kapitalis, sosial komunis, maupun negara seperti Iran pada zaman Rezim Pahlevi.

Dalam era globalisasi korupsi telah menjadi fenomena kejahatan yang menyangkut hubungan multilateral dan internasional. Apalagi yang berkualifikasi korupsi politik modus operandi dan implikasinya lebih komplek dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh orang biasa yang tidak memiliki kekuasaan politik.

Korupsi politik yang dilakukan oleh pejabat tinggi di suatu negara juga terjadi di berbagai negara di semua benua. Korupsi politik memiliki dampak negatif yang merusak tata kehidupan negara dan melanggar hak dasar rakyat di negara yang bersangkutan. Salah satu respon hukum terhadap masalah perekonomian bangsa kita adalah dengan memberlakukan undang-undang yang adil dan berspirit kerakyatan dalam pendistribusian kekayaan nasional. Juga akan merupakan rekayasa etis dan sekaligus menjadi pelumas bagi sendi-sendi tatanan sosial ekonomi nasional yang adil.

Dalam arti pula, hukum dituntut untuk berwawasan lebih luas yaitu hukum dalam konteks sosial (law in social concept) suatu kejelasan interaksi antara hukum dan masyarakat (interaction of law and society). Begitu pula kasus terungkapnya KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme), pada masa reformasi di akhir tahun 1998, menunjukkan betapa keberadaan konstitusi dan norma hukum menjadi tidak berarti manakala banyak terjadi korupsi politik.

Monopoli yang dimiliki oleh pemerintah dalam hal menyangkut Bulog dan Pertamina di sini lalu menjadi institusi yang dililit penyakit korupsi karena tidak transparan pertangunganjawabnya kepada publik, karena DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) pada masa Orde Baru itu tidak berdaya secara politik. Betapapun Harian Indonesia Raya, yang rajin mengkritik kinerja, manajemen dan akuntabilitas Pertamina, tidak mendapat perhatian politik secara serius dari DPR dan tidak mendapat tanggapan yuridis dari penegak hukum. Akibatnya, timbullah korupsi politik yang kronis.

Selain banyak pendukung dan “antek” Orde Baru, kritik yang lahir dari rahim rakyat tidak banyak, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang tergabung dalam Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) nyaris sendirian sebagai oposisi legal terhadap praktek pelaksanaan kekuasaan yang represif dan korup yang dilakukan Orde Baru.

Tema perjuangan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang dikampanyekan YLBHI sering dianggap aneh di tahun 1970 sampai 1980-an. Tradisi politik Amerika, sebagaimana dibedakan antara masalah yang bersifat politis dan oleh karenanya berada di bawah pengawasan pemerintah, dan masalah yang menyangkut ekonomi dan oleh karenanya berada dibawah pengawasan swasta.

Membedakan antara hal-hal bersifat politis dengan yang hal berada dalam bidang ekonomi, dalam bidang pengawasan seperti yang dipraktekkan di negara liberal seperti Amerika Serikat, menunjukkan kurangnya campur tangan politik pemerintah dalam hubungan individual seperti kontrak dagang, transaksi jual beli dan sejenisnya. Tradisi politik di negara kapitalis seperti Amerika Serikat itu berbeda secara diametral dengan tradisi politik di negara komunis, Nazi, maupun Fascis dimana pemerintah ikut campur tangan secara mendalam dalam kehidupan individu dan bidang ekonomi.

Dalam perspektif hukum dan kejahatan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1970-an tersebut, konsep tentang white-collar crime tersebut berada dalam lingkaran antara penggelapan, korupsi dan suap. Dalam dekade tersebut, negara kita Indone-sia sedang dilanda wabah korupsi yang sulit dicarikan obatnya. Terapi secara yuridis telah dicoba yaitu dengan memberlakukan UU No. 3 Tahun 1971 yang mengancam koruptor dengan pidana maksimal seumur hidup penjara.

Tetapi, terapi yuridis tersebut hingga saat ini tidak menunjukkan adanya efektivitas politik kriminalnya, karena kejahatan korupsi dengan berbagai corak dan variasinya masih menjadi penyakit sosial kronis sampai saat ini. Pembenahan sistem penegakan hukum harus melalui pemberlakuan asas legalitas secara ketat dan prinsip persamaan di hadapan hukum secara konsekuen.

Untuk itu perlu adanya pencabutan “hukum yang korup” karena hal ini menjadi variabel penghambat pemberantasan korupsi. Hukum yang korup adalah hukum yang menghilangkan atau merampas hak-hak strategis yang dipunyai rakyat seperti halnya beberapa hukum yang diberlakukan pada masa penjajahan Belanda, Orde Lama dan Orde Baru. Antara lain adalah aturan hukum yang menyangkut haatzaai artikelen, undang-undang subversi, dan lain sejenisnya. Perangkat hukum yang korup adalah instrumen penguasa yang diwujudkan dalam bentuk aturan; yang hal itu tidak mengandung nilai positif bagi rakyat dan peradaban bangsa.

Jadi perlu adanya gerakan “pembersihan norma hukum dari nafsu kekuasaan” yang menyelinap dalam perangkat hukum. Dari proses penyidikan dan penuntutan, perlu adanya spirit maksimalisasi hukuman bagi koruptor di kalangan penegak hukum baik pengacara,polisi, jaksa dan hakim.

Di samping tuntutan pemberlakuan asas transparansi bagi penyelenggaraan peradilan, dalam arti dibukanya pintu “dissenting opinion” terutama dalam perkara korupsi. Keterlibatan peran negara atau pemerintah dalam tata hubungan perekonomian secara intensif seperti yang terjadi di negara komunis dan negara otoriter lainnya banyak menimbulkan korupsi secara sistemik.

Salah satu bentuk campur tangan negara dalam dunia ekonomi oleh negara adalah monopoli usaha oleh negara. Dalam kondisi seperti ini bisa muncul berbagai corak kepentingan individu, keluarga, kelompok dan kroni, yang menempel bersembunyi dan berlindung dibalik kekuasaan monopoli negara itu. Akibatnya lalu terjadi keadaan dimana tidak bisa dipisahkan antara kepentingan individu, keluarga, kelompok dan kroni dengan kepentingan negara. Dari hal itu timbullah suatu sistem yang eksploitatif dimana kepentingan pribadi dan kelompok menjadi benalu bagi kekayaan milik negara.

Dalam arti negara dirugikan secara sistematis akibat adanya kekuasaan politik yang curang dan mengeksploitasi harta kekayaan negara. Sejak dulu dalam sejarah evolusi dan revolusi kehidupan masyarakat manusia, kekuasaan selalu cenderung diperluas dan diperbesar oleh pemegangnya. Ketidakseimbangan antara proses membesarkan kekuasaan pemegangnya dan membesarnya kontrol, senantiasa menimbulkan korupsi kekuasaan.

Perilaku korupsi politik merupakan tindakan merampas kehidupan rakyat, sehingga banyak rakyat kehilangan hak strategisnya untuk hidup layak dan mematikan harapan masa depannya. Korupsi politik merusak sumber daya ekonomi dan berdampak luas terhadap kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan munculnya berbagai macam kerentanan massal yang merendahkan derajat kemanusiaan. Korupsi politik merampas hak rakyat kebanyakan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, dan menimbulkan kesenjangan ekonomi dan pendidikan.

Oleh : Abdurrahman Irham (Penasihat GERMAKS)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Leave a Comment