Menggugat Sikap Ambigu Politik Muhammadiyah

politik muhammadiyah (1)

Modernis.co, Malang – Tahun politik sudah di depan mata, beragam cara digunakan para politisi untuk menggaet masa. Mulai dari kampanye melalui media, blusukan, hingga upaya mempolitisasi agama atau menggunakan simbol-simbol agama sebagai motif politiknya. Posisi Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia tentunya memiliki potensi besar untuk dilirik partai-partai politik.

Memang jika menengok ke belakang, seringkali dalam dinamika politik di Indonesia suara ormas Islam terbesar di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah banyak menjadi pusat perhatian dan rebutan para politisi.

Hal yang tidak diinginkan ialah saling klaim suara bahkan memanfaatkan ormas sebagai sebagai sasaran politik identitas. Secara kelembagaan memang Muhammadiyah dapat dikatakan cukup konsisten dalam menentukan sikap politik, dalam artian selalu menjaga jarak dengan partai-partai politik.

Muhammadiyah patut berbangga sekaligus waspada jelang kontestasi politik di bulan April 2019 mendatang. Pasalnya pada gelaran pesta demokrasi kali ini banyak kader-kader Muhammadiyah yang terjun ke dunia politik praktis, bahkan menjadi bagian penting dalam pemenangan capres-cawapres baik dari kubu partai petahana maupun oposisi.

Hal ini patut di apresiasi lantaran kesadaran akan pentingnya jihad dalam dunia politik sudah mulai terbangun dalam paradigma kader-kader Muhammadiyah. Pada sisi yang lain Muhammadiyah juga patut waspada agar tidak terjadi perpecahan antar kadernya. Menjadi hal yang merugikan apabila kader Muhammadiyah terbawa arus pendek dari gelaran pesta demokrasi lima tahunan ini.

Tantangan Muhammadiyah di Tahun Politik

Persoalan klasik yang dihadapi Muhammadiyah dalam panggung politik yakni Muhammadiyah selalu terlihat gagap dalam mempersiapkan kader terbaiknya untuk tampil gagah dalam kontestasi politik. Dalam artian kader-kader Muhammadiyah yang terjun ke dunia politik praktis masih belum terorganisir secara rapi. Hal ini turut disinggung oleh Zuly Qodir dalam bukunya , Ijtihad Politik Muhammadiyah (2015) bahwa memang setiap menghadapi kontestasi politik, kader Muhammadiyah selalu berjalan sendiri-sendiri.

Demisioner Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur M. Abduh juga mengatakan hal yang sama pada saat menyampaikan materi di Baitul Arqam Madya PW PM Jatim yang diselenggarakan di Malang (22/12/18). Abduh mengatakan bahwa kader-kader Muhammadiyah yang turun di kontestasi politik tahun ini masih belum ter-manage dengan jelas, sehingga ujung-ujungnya saling tengkar dan menyalahkan. Maka dibutuhkan kordinasi yang jelas antara Pimpinan dan kader yang turun di arena politik. Sehingga strategi politik yang dirumuskan lebih memiliki arah dan bisa di evaluasi.

baca juga opini lainnya : Ekspresi Pendidikan di Era Revolusi Industri 4.0

Persoalan di atas sangat jelas bahwa memang dalam tubuh Muhammadiyah sendiri kurang memperhatikan aspek politik praktis dalam memperjuangkan Islam dan Kebangsaan. Selain itu peran Pimpinan Muhammadiyah dalam menangani persoalan politik masih terlihat setengah-setengah.

Keluh kesah juga disampaikan oleh Pradana Boy ZTF salah seorang kader muda terbaik Muhammadiyah yang saat ini menjadi Asisten Staf Khusus Presiden RI bidang keagamaan Internasional pada saat menyampaikan materi di Baitul Arqam Madya PW PM Jatim (22/12/180, Boy mengatakan bahwa memang kader-kader Muhammadiyah seringkali terlihat lugu ketika berhadapan dengan persoalan politik.

Kemungkinan kader-kader Muhammadiyah bersikap lugu tersebut menurutnya lantaran dipengaruhi oleh sikap puritan yang mengakar dalam Muhammadiyah. Lebih jauh lagi beliau mengatakan bahwa memang kader Muhammadiyah ketika sudah berada pada posisi strategis dalam pemerintahan, baik di tataran eksekutif maupun legislatif, masih sangat kokoh dengan idealismenya. Satu sisi ini merupakan hal yang baik, namun juga tidak selamanya harus dipertahankan karena memang realitas politik di negeri ini cukup mengerikan. 

Melihat berbagai macam paparan para tokoh di atas maka dapat ditarik sebuah konklusi, bahwa memang dalam tubuh Muhammadiyah sendiri kurang melakukan pemetaan sumber daya kader bahkan kurang massif dalam mengorganisir kader yang berjuang di ranah politik praktis.

Sejalan dengan hal itu Muhadjir Effendy dan Asep Nurjaman (2015:44) mengatakan bahwa kunci utama Muhammadiyah dalam membangun peradaban pada prinsipnya dibutuhkan kemampuan dari ormas Islam berlogo matahari ini untuk mengoptimalkan, mengkoordinasikan dan mensinergikan seluruh potensi kadernya. Persoalan demikian haruslah menjadi perhatian serius bagi Muhammadiyah. Jika tidak, bisa dipastikan pada kontestasi politik ke depannya kader Muhammadiyah akan gigit jari.

Peneguhan Ideologi Kader Muhammadiyah

Terjunnya kader-kader Muhammadiyah dalam dunia politik praktis khususnya yang maju dalam kontestasi politik 17 April mendatang harus memiliki komitmen yang kuat terhadap ideologi Muhammadiyah. Hendaklah selalu dikedepankan aspek moral politik seorang kader Muhammadiyah secara substansial. Hal ini penting karena merupakan nilai-nilai  utama bagi seorang kader Muhammadiyah.

Melalui moralitas itulah yang mampu membedakan antara kader Muhammadiyah dan bukan. Selain itu nilai yang dimaksud sejalan dengan yang ditulis oleh Pradana Boy dalam kolom geotimes ”Refleksi Milad Muhammadiyah ke 105: Dahulukan nilai di atas identitas” (17/11/17),  bahwa pada intinya dalam ranah Eksternal Muhammadiyah tidak boleh berkutat untuk mengedepankan identitas, maka yang paling utama adalah moralitas seorang kader Muhammmadiyah.

Pesan yang disampaikan Asisten Staf khusus presiden tersebut jika diterjemahkan dalam konteks sosial politik saat ini, maka terdapat dua hal. Pertama, Kader Muhammadiyah harus memiliki nilai dan visi yang jelas ketika terjun ke dunia politik. Nilai yang dimaksud disini yakni nilai integritas, kejujuran, dan keberpihakan terhadap kepentingan rakyat.

Kedua, tidak menjadikan Muhammadiyah sebagai alat untuk melegitimasi politik identitas. Karena peristiwa demikian sangat mungkin terjadi manakala kader-kader Muhammadiyah tidak memiliki idelogi yang kokoh. Sejarah kelam Muhammadiyah dengan persoalan politik identitas sudah pernah terjadi, hendaknya hal itu menjadi pijakan bagi kader-kader Muhammadiyah untuk tidak memanfaatkan Muhammadiyah untuk kepentingan tertentu.

Maka patut direnungkan bersama pidato Milad 106 Muhammadiyah oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir yang mengangkat tema ”Ta’awun untuk Negeri”. Dalam konteks kebangsaan pada poin yang kedua, bahwa memasuki tahun politik saat ini berpotensi besar untuk menimbulkan gesekan bahkan konflik antar sesama. Maka hendaknya dilandasi nilai ”Ta’awun” untuk ”saling peduli dan berbagi” layaknya satu tubuh di keluarga bangsa. Perbedaan politik tetap dilandasi oleh rasa persaudaraan agar tidak menimbulkan pertikaian sehingga merugikan bangsa ini.

*Oleh : M. Ibnu Rizal ( Peneliti di PeaceLiteracy Network (PEACELINK) )

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment