Bukan Per-empu-an!

bukan perempuan

Feminis adalah sinopsis dari konstruksi besar ketidakadilan. Hanya pada pengalaman perempuanlah seluruh praktik deskriminasi membekas. Seorang perempuan tidak lahir merdeka. Ia lahir dalam stigma: bahwa ia bekedudukan di bawah laki-laki. Bahwa ia bukan penyandang hak politik. Bahwa ia bukan pengucap ayat-ayat surga. Bahwa ia bukan pemikir rasional. Bahwa ia harus submisif. Bahwa ia bukan dirinya!

(Rocky Gerung)

Modernis.co, Malang – Stereotype perempuan tentang 3M (masak, macak, manak) hari ini menjadi olok-olok masa lampau yang mulai pudar di era modern ini. Pasalnya, kini banyak perempuan yang mulai menembus ranah domestik dan mulai tampil di ranah publik. Menjadi anggota dewan misalnya.

Saya pikir itu hanya kebanggaan sementara bagi kaum Hawa yang justru menimbulkan tanya, Apakah dengan munculnya perempuan di ranah publik menaikkan grade kaum perempuan, atau justru menjerumuskan perempuan?

Tidak bisa dipungkiri realita menunjukkan bahwa tubuh perempuan adalah objek seksual. Bahwa lensa infotainment adalah mata laki-laki. Bahwa APBN bukan urusan perempuan. Wakil rakyat yang berjenis kelamin perempuan itu tidak lebih sekedar pemenuhan kuota partai di lembaga legislatif.

Kita yang katanya sedang memajukan demokrasi. Membangun institusi-institusinya. Tetapi kultur politik yang dibangun justru tumbuh dalam suasana patriarki dan feodalistik. Feminisme adalah pikiran tentang keadilan, perempuan telah menempuh jalan panjang dalam sejarah.

Peradaban telah berbuat curang kepada setengah umat manusia, hanya karena ia bukan laki-laki. Coba kita perhatikan, setiap 2 jam sekali telah terjadi pelecehan seksual terhadap 3 orang perempuan. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari budaya visual saat ini yang seakan membentuk pola berpikir masyarakat bahwa perempuan yang cantik ialah dia yang berbadan tinggi semampai, berkulit putih, hidung mancung, serta rambut hitam dan lurus.

Padahal hal tersebut akan menjadikan masyarakat terjebak pada fantasi sensual tentang perempuan yang berlebihan sebagai hiperrealitas yang disebut sebagai proses seksualisasi. Seksualisasi yakni proses pemindahan ruang real pada ruang fantasi wajah, tubuh, payudara, tungkai kaki, bahkan jari kaki memiliki penekanan untuk menarik minat, hasrat, dan keinginan para penontonnya.

Dalam proses ini tubuh perempuan akan dimutilasi sesuai dengan produk yang ingin dijual, sebagai contoh ketika ingin menjual produk cat kuku, maka jari-jari perempuan akan dimutilasi dan diolah secara digital dengan airbrush supaya terlihat sempurna dimata kamera.

Atau ketika ingin menjual produk kecantikan wajah, maka noda-noda hitam dan jerawat di wajah sebisa mungkin akan dipercantik dan diperhalus oleh air –brush untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan dapat menarik para konsumen. Proses tersebut dinilai sebagai “dehumanisasi kecantikan”.

Kecantikan yang berasal dari kekurangan, kecacatan, dan kebohongan ditransformasi menjadi kecantikan yang sempurna tanpa noda, jerawat, putih mulus tidak ada kecacatan sedikitpun. Kecantikan mengandaikan sebuah keidealan. Dan iklan mengajari para pembelinya untuk menjual mimpi keidealan.

Padahal kecantikan yang ideal- putih mulus, bersih tanpa dosa sejatinya tidak ada. Penipuan menjadi retorika sehari-hari dimasyarakat dan konsumen menjadi tergila-gila pada mimpi bohong.

Mimpi tentang keidealan sebuah kecantikan yang palsu akan berdampak pada hilangnya eksistensi perempuan. Tak ayal banyak perempuan yang rela kelaparan karena membenci perutnya yang gendut tapi tak berdaya untuk membuatnya kurus, anak-anak yang berwajah hitam lebih banyak menghindar dari cermin karena membenci raut mukanya.

Anak-anak yang berambut ikal sibuk untuk meluruskan rambut yang katanya menjijikkan. Demikian pemaknaan cantik yang menjalar sebagai wabah yang mematikan. Perempuan tidak hanya diajari untuk membenci dirinya dan tubuhnya, tetapi juga membunuh eksistensi perempuan itu sendiri.

Disisi lain, problematika yang dialami perempuan yakni perdagangan perempuan dengan label “TKW (tenaga kerja wanita)”. Mereka sengaja diberikan kemudahan oleh tenaga penyalur tenaga kerja luar negeri dalam mengurus administrasi demi memberikan keuntungan yang besar terhadap penyalur jasa TKW yang ilegal.

Tenaga kerja wanita yang notabenenya pahlawan devisa yang berjasa dalam menambah devisa negara malah diperlakukan tidak wajar di tempat ia bekerja. Kasus pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan dalam bentuk fisik sering dialami oleh tenaga kerja wanita yang bekerja di luar negeri.

Tuntutan ekonomi yang semakin menjerat, serta lapangan pekerjaan yang kurang ramah terhadap perempuan. Merupakan salah satu desakan perempuan untuk memilih jalur menjadi TKW dengan segala konsekuensi dan resiko yang ada. Sesungguhnya semua ketidakadilan menempel pada tubuh perempuan. Ekonomi, politik, sosial dan budaya.

Oleh: Rizqi Amaliya Mashluucha (Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment