Nalar Keindonesiaan

nalar keindonesiaan

Modernis.co, Malang — Di tengah dinamika bangsa yang kian tidak menentu, narasi kebencian yang beredar, fitnah yang menyerang di mana-mana. Belum lagi dengan maraknya hoax yang silih berganti beredar di media. Situasi seperti ini kita tentu merasakan keresahan yang begitu luar biasa.

Disamping kita menginginkan kehidupan yang damai, saling menghargai dan menerima satu sama lain tanpa melihat perbedaan demi hidup yang tentram, tapi kita justru dihadapakan oleh berbagai macam narasi publik yang mengancam ketentraman berwarga Negara.

Fenomena ini tidak hanya menjangkit lingkungan masyarakat dalam kapasitas mikro. Sudah merambat pada kapasitas makro. Kita bisa menyaksikan bagaimana fenomena ini mencapai titik klimaks pasca perhelatan Pilkada DKI yang menghasilkan berbagai narasi kebencian yang tidak kunjung usai.

Betatapun banyak juga yang berusaha membentenginya dengan menganjurkan untuk tidak ikut dalam arus. Namun belum mampu menghadang sepenuhnya, karena narasi kebencian masih terlalu kuat untuk dilawan.

Publik tentu perlu berbenah, agar situasi yang diharapkan bisa diwujudkan dan menciptakan situasi bernegara yang stabil dan damai. Keadaban publik harus dibangun dan dirawat dengan cara apapun. Menghadirkan narasi tidaklah cukup, menyikapi fenomena ini harus dengan kesadaran kolektif yang diwujudkan dalam bentuk gerakan kolektif juga. Bayangkan betapa banyak saudara-saudara kita yang bertikai akibat termakan isu yang tidak jelas asal-usul dan kebenarannya.

Narasi kebencian yang bertransformasi ke berbagai model tindakan seperti hoax, fitnah, beserta kawanannya harus dilawan dengan cara apapun yang sesuai dengan etika sosial yang berlaku.

Menghadirkan Narasi Perdamaian

Perilaku manusia banyak dipengaruhi oleh pemikiran yang terbentuk baik dari lingkungan maupun interaksi sosial yang ia lakukan. Lingkungan dalam hal ini sudah mencakup tradisi dan kebudayaan yang berlaku di suatu tempat di masyarakat tinggal.

Indonesia adalah salah satu Negara yang dikenal dengan persebaran ujaran kebencian yang besar. Puluhan hingga ratusan kasus sudah menjadi bukti betapa mirisnya adab public yang terbangun selama beberapa tahun terakhir.

Oleh sebab itu, menghadirkan berbagai narasi perdamaian adalah upaya yang bisa kita lakukan sebagai bentuk perlawanan, sekaligus membenahi adab publik selama ini runtuh. Tentu peran media sangat penting mengingat masyarakat saat ini begitu dekat dan hamper setiap berinteraksi dengan media, khususnya media sosial.

Stereotype terhadap media sosial yang selama ini menjadi jembatan ujaran kebencian harus dihilangkan melalui gerakan dengan menghadirkan narasi perdamaian yang massif. Kita tentu tidak ingin media sosial hanya menjadi jembatan bagi banyak orang untuk saling menyalahkan, menjatuhkan atau bahkan saling menuding satu sama lain.
Hadirkan Gagasan, bukan Ujaran Kebencian

Saya kira semua orang di belahan dunia manapun setuju bila suatu bangsa harus dibangun dengan sebuah gagasan yang transformatif. Gagasan merupakan hal yang sangat substansif, mengingat Indonesia masih sebagai Negara yang relative muda dan dalam tahap proses pengembangan. Sehingga pentingnya sebuah gagasan tidak boleh dinafikkan, meskipun dengan kondisi politik yang serba tidak menentu dan sarat akan konflik baik personal maupun kelompok.

Dengan menghadirkan gagasan kita bisa menekan apa yang selama ini menjadi problem bangsa, yaitu ujaran kebencian.
Menilik sejarah sebelum Indonesia lahir, masyarakat berbondong-bondong menyuarakan persatuan demi merebut kemerdekaan. Persatuan menjadi spirit utamanya, yang kemudian mampu memborbardir barisan pertahanan penjajah kala itu.

Pasca itu, tokoh-tokoh bangsa rela meninggalkan segala urusan pribadi demi merumuskan gagasan bernegara yang saya sebut sebagai gagasan untuk Indonesia. Pancasila dan Undang-Undang 1945 adalah bukti dari diskursus gagasan yang lahir dari pemikiran para tokoh-tokoh bangsa saat itu. Hingga sekarang kita masih megamini gagasan tersebut sebagai pondasi dalam berbangsa dan bernegara.

Di era saat ini, menghadirkan gagasan adalah substansi yang harus banyak didiskusikan bersama baik sebagai warga Negara maupun sebagai pemerintah. Gagasan itu perlu diturunkan dala berbagai lini kehidupan masyarakat, seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, budaya dan politik. Pemerintah atau bahkan calon pemerintah harus banyak mendiskusikan hal semacam ini disamping mengkampanyekan setiap program yang akan dilaksanakan nantinya.

Oleh sebab itu, agar ujaran kebencian tidak menjamur, maka menghadirkan gagasan ber-Indonesia harus dilakukan secara masif dan berkelanjutan demi menjaga Indonesia agar sesuai dengan apa yang telah dicita-citakan diawal republik ini berdiri.

Oleh sebab itu, karena momentumnya adalah pilpres dan pileg, sehingga sangat menarik kita tunggu visi dan gagasan apa yang akan dibawa oleh kedua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada pertarungan di Pilpres 2019 mendatang begitu juga dengan para calon legislatif.

Masyarakat tentu berharap ada visi dan gagasan baru yang bisa dipresentasikan dan diuraikan dalam bentuk progam nyata yang terukur untuk memajukan Indonesia, menyejahterakan rakyat dan menegakkan keadilan. Sudah saatnya kita tidak lagi bertarung untuk meningkatkan citra diri dihadapan rakyat. Karena dalam sebuah kepemimpinan, citra diri dan identitas bukanlah hal yang substansial untuk diperdebatkan.

*Oleh : Nur Alim Mubin MA, S.Psi. (Sekretaris Umum IMM Malang Raya 2017-2018)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Leave a Comment