Epistemologi Gerakan Kaum Feminis

epistemologi feminisme

Modernis.co, Malang – Filsafat telah menjadi perangkat untuk berkomunikasi dengan kelompok yang terpinggirkan. Lambat laun filsafat kaum perempuan mulai membedakan diri dengan filsafatnya kaum laki-laki dan membentuk epistemologi yang khas feminis.

Selain bersifat politis dan menghendaki perubahan, yang paling utama adalah bagaimana filsafat mereka mampu mengubah kesadaran sejarah yang misoginis. Gerakan feminisme yang banyak dilakukan pada paruh kedua abad 19 semuanya bersifat politis dan menghendaki terjadinya perubahan mendasar.

Buku The Second Sex (dipublikasikan secara luas pada 1949) karya Simone de Beauvoir (1908-1986) adalah inspirasi utama bagi gerakan yang dilakukan para feminis itu. Kehadiran Beauvoir sebagai seorang filsuf feminis tentunya sangat berpengaruh bagi berkembangnya diskursus gerakan feminisme.

Karena sebelum kehadirannya, tidak banyak filsuf perempuan yang dikenal sepanjang lebih dari 30 abad sejarah filsafat. Bukan berarti para filsuf perempuan itu tidak ada, namun lembaran sejarah tidak banyak yang membincangkan mereka dalam setiap perdebatan filosofis.

Hingga kini, para filsuf perempuan yang dikenal dalam studi kefilsafatan hanyalah mereka yang tergolong modern. Catherina Cockburn, Mary Wollstonecraft, Rosemary Putnam-Tong, Allison Jaggar, Marilyn French, bahkan Simone de Beauvoir adalah para filsuf perempuan yang lahir pada masa yang belum lama ini.

Sangat sedikit yang mengenal para filsuf perempuan zaman awal dalam kisaran waktu antara abad sebelum Masehi hingga masa awal tahun Masehi. Hypatia (370-415 M) misalnya, sebagai seorang filsuf perempuan paling populer pada awal sejarah filsafat, tidak dikenal sebagai penganut filsafat Neoplatonis.

Sejarah lebih mengenalnya sebagai seorang filsuf yang mati mengenaskan, sehingga lupa akan konsentrasi kefilsafatannya. Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins dalam A Short History of Philosophy (1996) menyebutkan bahwa kemungkinan tidak dibahasnya filsuf perempuan dalam sejarah filsafat lebih disebabkan oleh tidak adanya pembedaan antara filsuf laki-laki dan filsuf perempuan.

Karya filsafat perempuan dianggap sama dengan filsafat laki-laki, sehingga tidak perlu dikaji secara khusus tentang kekhasan filsafat kaum perempuan. Bahkan sekalipun feminisme telah dimasukkan dalam studi kefilsafatan misalnya, sesungguhnya yang dibutuhkan dari gerakan feminisme bukanlah itu.

Para feminis lebih mengharapkan adanya “filsafat kaum perempuan” atau “filsafat kaum feminis” yang dimiliki secara khusus oleh kaum perempuan sebagai epistemologi dan metodologi gerakan mereka. Terbukti misalnya, ketika philosophy of man lebih diartikan oleh para feminis bukan sebagai “filsafat manusia” melainkan “filsafat kaum laki-laki”.

Para feminis berlandaskan pada perspektivisme-nya Nietzsche, di mana sebenarnya kaum perempuan memiliki perspektif sendiri dalam studi kefilsafatannya. Mereka berupaya menghadirkan dimensi baru pada filsafat dengan dalil bahwa gender telah mempengaruhi manusia dalam mempersepsi dunia.

Feminisme dalam filsafat menurut para feminis itu bukannya melahirkan feminisme sebagai bagian dari kajian filsafat, tapi lebih melahirkan “filsafat yang berbeda”. Alasannya, bagaimana mungkin sebuah teori filosofis yang dihasilkan mengabaikan perspektif yang mendasarinya? Begitu pula perspektif gender serta situasi biologis yang menurut para feminis tidak bisa serta-merta diabaikan.

Para feminis merasa perlu menghadirkan filsafat yang khas feminis. Ciri dari filsafat kaum feminis “yang berbeda” itu adalah keberpihakan terhadap yang periphery. Ini disebabkan oleh sejarah filsafat yang menurut mereka selalu meletakkan perempuan di luar mainstream.

Filsafat yang dilahirkan para feminis dengan demikian bernuansa perlawanan terhadap keadaan tertentu yang dianggap hegemonik dan telah melahirkan ciri-ciri kolonialisme dan feodalisme dalam cara berfikir. Sepanjang sejarah filsafat, perempuan telah dicirikan sebagai jenis kelamin yang tidak perlu diperhitungkan.

Dalam kutipan dari literatur milik para filsuf laki-laki mulai dari Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Francis Bacon, Immanuel Kant, Arthur Schopenhauer, Frederich Nietzsche, hingga Jean Baudrillard, ditemukan sindiran yang ditujukan pada kaum perempuan.

Memang masih perlu dipertanyakan, apakah sindiran itu merupakan bagian dari filsafat mereka yang misoginis, atau budaya misoginis yang telah menghantar mereka berpikir begitu? Yang pasti, begitulah cermin dari sejarah filsafat yang telah melahirkan kesadaran luas di kalangan feminis modern untuk melakukan perlawanan.

Titik terang dari perlawanan itu adalah lahirnya gelombang gerakan feminisme yang mulai banyak diperbincangkan sejak dipublikasikannya buku milik Beauvoir berjudul The Second Sex pada 1949. Namun tidak mudah merubah cara pandang masyarakat dunia yang sudah terlanjur membentuk perempuan sebagai manusia kelas dua.

Untuk itu, gerakan feminisme gelombang kedua lahir dengan tujuan utama membebaskan kendala-kendala sosial dan psikologis yang masih terdapat dalam cara pandang manusia ketika itu.

Para feminis berupaya membangkitkan rasa persaudaraan (sisterhood) di kalangan perempuan untuk membedakan diri dengan persaudaraan (fraternity) laki-laki yang dibawa oleh para filsuf Pencerahan ketika mengilhami lahirnya Revolusi Prancis. Beberapa perempuan bahkan menyarankan lahirnya separatisme feminis sebagai pengembangan tatanan sosial alternatif yang akan diatur sepenuhnya oleh perempuan.

Sebagai gerakan yang membela kaum periphery, maka para feminis yang ketika itu memimpin gerakan tidak ingin agar apa yang mereka lakukan bersifat monolitik, artinya hanya membela kepentingan para pemimpin gerakan yang notabene adalah perempuan kulit putih kelas menengah.

Mereka tidak ingin justru menciptakan kaum periphery baru yang terdiri atas perempuan kulit hitam dan perempuan yang bukan kelas menengah. Fenomena ini menginspirasikan lahirnya gelombang ketiga gerakan feminisme yang menawarkan perbincangan tentang “perempuan” dan “gender” sebagai kategori lintas-budaya.

Gerakan ini secara khusus menaruh perhatian pada mereka yang termasuk dalam kelas-kelas sosial-budaya yang marjinal dan kurang beruntung. Dengan demikian, gerakan feminisme tidak saja membela kaum perempuan secara umum, namun juga perempuan yang terpinggirkan dari “lingkaran” gerakan feminisme

Ketiga gelombang gerakan itu sebenarnya merupakan manifes dari feminisasi filsafat yang dihadirkan para filsuf perempuan. Filsafat telah menjadi perangkat untuk berkomunikasi dengan kelompok yang terpinggirkan. Pada gilirannya, lambat laun filsafat kaum perempuan mulai membedakan diri dengan filsafatnya kaum laki-laki dan membentuk epistemologi yang khas feminis.

Selain bersifat politis dan menghendaki perubahan, filsafat kaum feminis selalu dicirikan dengan pembelaan terhadap yang marjinal dan periphery. Yang paling utama adalah bagaimana filsafat kaum feminis mampu mengubah kesadaran sejarah yang misoginis itu. Bisa jadi para filsuf perempuan zaman awal tidak menemukan penulisnya. Tidak semujur Sokrates yang bisa menemukan Plato.

*Oleh: Subhan Setowara (Inisiator Muslim Milenial dan Founder Peace Link)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment