Menyoal Efektivitas OJK

Modernis.co, Surabaya – Kasus PT Jiwasraya yang mencuat sebulan ini membuat berbagai pihak mulai menyoroti efektivitas peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam mengawasi lembaga jasa keuangan. Salah satunya datang dari Andreas Susanto Ketua Umum (KETUM) DPD IMM JATIM 2020 yang menganggap bahwa kasus Jiwasraya ini menjadi bukti bahwa OJK gagal dalam mengawasi aktivitas investasi Jiwasraya.

Ia menambahkan kegagalan OJK dalam melakukan pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan yang pada awalnya OJK ini diharapkan untuk menjadikan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, malah mengakibatkan negara mengalami kerugian yang sangat besar.

Bagaimana tidak, negara saat ini ditengarai mengalami kerugian sebesar Rp. 13,7 triliun per Agustus 2019. Tidak hanya itu dengan produk saving plan-nya Jiwasraya gagal bayar klaim pilis seebesar Rp. 12,4 triliun kepada nasabah pada tahun 2019.

Parahnya lagi saat ini jiwasraya sedang terbelit masalah tekanan likuiditas. Menejemen Jiwasraya menyebut ekuitas perseroan negatif sebesar Rp. 23,92 triliun per september 2019. Padahal liabilitas perseroan mencapai Rp. 49,6 triliun, sedangkan asetnya hanya Rp. 25,68 triliun.

Seharusnya OJK sudah mengetahui hal ini sejak awal atau sejak saat OJK beroprasi. Jika sudah tahu keuangannya buruk, Jiwasraya seharusnya tidak bisa mengeluarkan produk saving plan. Karena tidak mungkin Jiwasraya mengeluarkan sebuah Produk tanpa seizin OJK. Andreas menduga ada oknum dari OJK dibalik kasus Jiwasraya tersebut.

Tidak selesai pada kasus Jiwasraya saja, persoalan baru terjadi di PT. Asabri dimana menurut laporan keuangan 2017 mencatat rasio solvabilitas (RBC) 63,35 persen. Bahkan seperti dilansir di media Mahfud MD mendengar ada isu korupsi di Asabri yang mungkin tidak kalah fantastisnya dengan kasus Jiwasraya. Sebesar di atas Rp. 10 triliun, imbuhnya.

Mundur sedikit ke belakang, OJK juga memiliki pekerjaan rumah (PR) terhadap AJB Bumiputra. Memang kinerja Bumiputra yang menunggak pembayaran klaim ialah warisan dari lembaga sebelum OJK. Tetapi penyakit menahun Bumiputra pun tak kunjung sembuh.

Menanggapi dari beberapa kasus yang mencuat, Andreas mengusulkan agar fungsi OJK dikembalikan ke Bank Indonesia (BI). Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi hal tersebut; Pertama: Dengan adanya OJK semakin tidak stabilnya dan tumbuh secara berkelanjutan sistem keuangan. Dikarenakan lalainya OJK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Kedua: kalau diperhatikan secara seksama terjadi tumpang tindih tugas serta wewenang antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan OJK dalam hal pengawasan.

Hal itu bisa kita lihat dalam UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK dan UU NO. 21 Tahun 2011 tentang OJK. Dalam UU tentang BPK dijelaskan dalam BAB III Pasal 6 Ayat 1 bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara yang dilakukan oleh pembaga negara atau lembaga keuangan negara misalnya Badan Usaha Milik Negara. UU ini bersifat khusus yaitu objek pemeriksaan hanya terbatas kepada lembaga keuangan negara saja.

Sedangkan dalan UU tentang OJK dijelaskan dalam BAB III Pasal 6 dijelaskan bahwa memiliki tugas pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan. Pasal ini bersifat umum baik lembaga jasa keuangan milik negara maupun bukan.

Dalam kasus PT Jiwasraya ini, yang memiliki status lembaga milik negara yg bergerak disektor perasuransian. Baik BPK dan OJK sama-sama meliki tugas dan wewenang di lembaga tersebut. Sehingga terjdi tumpang tindih antara dua lembaga tersebut.

Untuk menghindari banyaknya perangkat namun minim fungsi alangkah baiknya jika fungsi dari OJK dikembalikan ke awal yaitu ke BI. (Za)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Leave a Comment